Jumat, 10 Agustus 2012

Kematian, kehidupan Sebenarnya


sebuah ungkapan hati di waktu subuh.. menulis menemani santap sahur saya.

bismillah, mohon curhat tentang kematian..

Setiap manusia yang dilahirkan selalu mempunyai arti dalam tujuan kelahirannya. telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta. Walaupun dalam praktiknya manusia suka merubah makna dan membentuk jalur kehidupannya sendiri yang akan berkembang seiring dengan pertumbuhan sang manusia dan terpengaruh oleh masyarakat, adat dan budaya. Manusia pun sadar bahwa ia terlahir untuk mencapai kehidupan abadi, yakni kematian. lalu bagaimana manusia ini kembali menyadari bila kehidupannya yang abadi bukanlah kehidupan melainkan kematiannya. membahas kematian hanya akan membuat manusia menyangkal akan kehidupannya yang lebih nyata. manusia bisa menangis dan bahkan menolak bila esok dia mati. bila menanyakan saya? begitupun saya. Kematian yang jelas kita tahu, dan kita sadar bahwa sifatnya abadi ini tak terelakkan hakikatnya.

ini kutipan yang saya ambil dari Tulisan Quraish Shihab

Manusia,   melalui   nalar  dan  pengalamannya  tidak  mampu 
mengetahui hakikat kematian,  karena  itu  kematian  dinilai
sebagai  salah  satu  gaib nisbi yang paling besar. Walaupun
pada  hakikatnya  kematian  merupakan  sesuatu  yang   tidak
diketahui,   namun  setiap  menyaksikan  bagaimana  kematian
merenggut nyawa yang hidup manusia semakin  terdorong  untuk
mengetahui  hakikatnya  atau,  paling tidak, ketika itu akan
terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika  ia  pun  pasti
mengalami nasib yang sama.
 
Manusia  menyaksikan  bagaimana  kematian tidak memilih usia
atau tempat, tidak  pula  menangguhkan  kehadirannya  sampai
terpenuhi  semua  keinginan.  Di  kalangan  sementara orang,
kematian menimbulkan kecemasan,  apalagi  bagi  mereka  yang
memandang  bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja.
Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai  kehidupan
ini  sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu,
mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan  menghindari
sedapat  mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan
jalan melakukan apa saja secara bebas  tanpa  kendali,  demi
mewujudkan  eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari
segala sesuatu? Kilah mereka.
 
Sebenarnya akal dan perasaan  manusia  pada  umumnya  enggan
menjadikan  kehidupan  atau  eksistensi mereka terbatas pada
puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa  mereka
harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia
bukan berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian
sebagai  kepunahan  tercermin antara lain melalui penciptaan
berbagai cara  untuk  menunjukkan  eksistensinya.  Misalnya,
dengan  menyediakan  kuburan,  atau  tempat-tenapat tersebut
dikunjunginya dari saat ke  saat  sebagai  manifestasi  dari
keyakinannya  bahwa  yang telah meninggalkan dunia itu tetap
masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.
 
Musthafa  Al-Kik  menulis  dalam   bukunya   Baina   Alamain
bahwasanya  kematian  yang dialami oleh manusia dapat berupa
kematian mendadak seperti serangan  jantung,  tabrakan,  dan
sebagainya,  dan  dapat  juga merupakan kematian normal yang
terjadi melalui proses  menua  secara  perlahan.  Yang  mati
mendadak  maupun  yang normal, kesemuanya mengalami apa yang
dinamai sakarat al-maut (sekarat)  yakni  semacam  hilangnya
kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.
 
Dalam  keadaan  mati  mendadak,  sakarat  al-maut  itu hanya
terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa
sangat  sakit  karena  kematian  yang dihadapinya ketika itu
diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada  dalam
kapas,  dan  yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir
menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang
mencabut  nyawa  dengan  keras)  (QS  An-Nazi'at  [79]:  1),
sebagai isyarat  kematian  mendadak.  Sedang  lanjutan  ayat
surat     tersebut     yaitu    Wan    nasyithati    nasytha
(malaikat-malaikat yang mencabut ruh  dengan  lemah  lembut)
sebagai   isyarat   kepada   kematian  yang  dialami  secara
perlahan-lahan.3
 
Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang  dinyatakan
oleh  ayat  di  atas  sebagai "dicabut dengan lemah lembut,"
sama keadaannya dengan proses yang  dialami  seseorang  pada
saat  kantuk  sampai  dengan  tidur. Surat Al-Zumar (39): 42
yang  dikutip   sebelum   ini   mendukung   pandangan   yang
mempersamakan  mati  dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan
bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa  yang
diajarkan  Rasulullah  Saw.  untuk  dibaca  pada saat bangun
tidur adalah:
 
     "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami
     (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami
     (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan
     (kelak)."
 
Di  sisi  lain,  manusia  dapat  "menghibur"  dirinya  dalam
menghadapi   kematian  dengan  jalan  selalu  mengingat  dan
meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak  seorang
pun  akan  luput  darinya,  karena  "kematian  adalah risiko
hidup."

Keyakinan  akan  kehadiran  maut  bagi  setiap  jiwa   dapat
membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti
diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam  kegembiraan,
semakin   besar   pengaruh   kegembiraan   itu   pada  jiwa;
sebaliknya,  semakin  banyak  yang  tertimpa  atau  terlibat
musibah, semakin ringan musibah itu dipikul."
 
Kehilangan dan menghadapi kematian membuat kita manusia dewasa ini untuk berfikir. bahwa Kehidupan adalah tempat untuk mencari bekal menuju kematian. Melihat banyak kematian kadang membuat saya sedih. apa yang saya siapkan untuk kehidupan abadi saya. apa yang sudah saya siapkan untuk berkumpul dengan keluarga saya di kehidupan abadi bernama kematian itu. 

Abet, Mas Adi, Ibu dan Bapak, Eyang kakung dan Eyang Uti, sahabat sahabat yang meninggal dengan HIV, keluarga yang meninggal karena sakit atau kecelakaan. mereka yang sudah sampai ke dalam kehidupan abadi mereka. ingin bertanya pada mereka, Bagaimana kehidupan setelah kematian..

Apakah dengan mengingat Kematian setiap saat membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dalam mempersiapkan sang kematian itu? Seharusnya iya! jangan menjadi momok di dalam hati dan menghancurkan segala aktifitas dengan kegundahan tentang kematian. Lalu saya bertanya kepada saya? apakah saya sudah siap. belum. apakah saya sudah menyiapkan kematian saya? belum.

sungguh saya menangis menulis ini. bukan kemampuan hebat dapat mengutarakan isi hati perihal kesiapan kematian. melainkan semakin hari semakin berfikir setiap kali kematian datang menjemput manusia lainnya. kematian tidak memandang usia, jenis kelamin, pangkat dan kedudukan. dosa atau pahala siapa yang lebih banyak, jika kematian sudah siap hadir menjemput, datanglah dia. Semoga kita semua menjadi bagian dari orang orang yang mati dalam keadaan yang baik. semoga kematian kita tidak menimbulkan kebencian dari orang orang yang kita tinggalkan. semoga proses kematian kita tidak menyusahkan ayah dan ibu kita, sahabat dan saudara saudara kita. 

Dear Death..


*pict from google

2 komentar:

  1. Seharusnya manusia jangan pernah mempermasalahkan bagaimana cara ia mati, tetapi bagaimana ia menjalani kehidupan ini agar layak mati .. ;)

    BalasHapus
  2. betul.. saya sepakat.
    mari mempersiapkan diri untuk bertemu kematian yang baik.. :')

    BalasHapus