Rabu, 04 Juni 2014

Selamat Jalan Aa!

Ada sesuatu tentang kematian yang gak pernah bisa cukup diungkap dengan kata kata. Ada kalanya ini akan menjadi kata yang menakutkan dan menyediahkan setiap insan. Atau sesuatu yang kemudian menyadarkan seseorang bahwasannya hidup ini hanyalah sementara. Kehidupan paling nyata adalah kematian itu sendiri. ini adalah tulisan kesekian saya tentang kematian, setelah saya kehilangan kembali seorang sahabat.

Begini ceritanya. Namanya Aziz. Saya biasa memanggilnya aa, itu karena usianya yang sangat jauh dari usia saya. Aa yang adalah anak ke 8 dari 9 bersaudara merupakan pribadi yang sangat baik dan ramah. Aa selalu menjadi tempat yang menyenangkan untuk bercerita dan bercengkrama. Saya mengenal aa karena kami sama sama hidup dengan HIV. Kelompok dukungan sebaya mempertemukan kami. Aa seringkali memberikan saya penguatan untuk selalu bersemangat menghadapi kehidupan. 9 tahun hidup dengan HIV tidak menyurutkan semangatnya untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik.


Aa masih sempat menghadiri pernikahan saya. Kami juga masih sempat bertemu di Bandung saat Rumah cemara mengadakan kegiatan lari. Sayangnya kami tidak pernah berfoto bersama. Sekalipun tidak pernah. Sejak tahun 2010 saya mengenalnya, bekerja bersama dan menjadikan telinga kami untuk saling bercerita. Tapi say atidak punya foto bersama aa.

Sampai suatu hari saya dengar aa sakit. Sakitnya serius. Sampai dia harus berbaring dirumah dan tidak melakukan aktifitas apapun. Saya berinisiatif untuk menelfonnya dan menanyakan kabarnya. Saat itu hampir pukul setengah 12 malam. Dia berbicara banyak. Saya mendengarkan dan menjawab saat dia bertanya. Berkomentar saat dibutuhkan. Dan kemudian juga bercerita balik padanya karena dia bertanya. Dia benar benar sakit. Aa bilang, jarak terjauh dia berjalan hanya dari kamar ke kamar mandi. Dia sudah tidak sanggup mengendari motor vespa kesayangannya. Dia sudah tidak bisa pergi kerumah sakit sendirian. Saya sedih mendengarnya. Dia bilang dia lelah. Dia berkali kali bertanya, menurut saya apa yang terjadi padanya. Saya bilang saya tidak tahu, kamu lebih baik tanya pada dokter. Saya takut salah memberikan pendapat, karena saya bukan dokter dan tidak bisa memberikan diagnosa. Akhir pembicaraan kami tutup dengan candaan dan pesan untuk saya supaya selalu menjaga kesehatan.

Kontak selanjutnya terjadi 2 minggu setelahnya. Kami berkirim pesan melalui whatssap messenger. Aa bertanya mengenai literatur obat. Dia bertanya lebih detail tentang efek samping obat. Saya yang geregetan kemudian memutuskan untuk menelfonnya. Saat itu pukul 5 subuh. Dia bertanya sudahkah saya shalat subuh. Saya tersenyum dan menjawab sudah. Lalu kami melanjutkan pembicaraan. Suaranya lebih lemah dari pembicaraan kami ditelfon terakhir. Saya bilang dia harus segera kembali ke dokter. Dia bilang dia lelah. Terlalu lama menahan banyak kesakitan. Saya bilang saya sedih jika dia kehilangan semangat seperti itu.

Beberapa hari kemudian aa masuk rumah sakit. Saya tahu setelah dia 2 hari sudah dirawat disana. Saya menangis melihat fotonya di facebook. Dia terlihat sangat kurus. Hanya tulang berbalut kulit. Saya menangis di kantor memandangi laptop saya dan halaman facebook yang kemudian ramai. Saya memutuskan untuk berangkat kerumah sakit keesokan harinya. Saya tidak menangis. Saya berjanji pada diri saya untuk tidak menangis. Aa sudah tidak bisa berfikir. Kata yang keluar dari mulutnya adalah apa yang ada di alam bawah sadarnya. Dia tidak merencanakan atau memikirkannya. Tapi kata kata itu begitu saja keluar. Saat itu aa masih bisa tertawa. Saat diingatkan akhirnya dia bisa mengenali satu persatu teman yang datang. Tapi kondisinya menyedihkan. Yup, membuat saya sedih.

Beberapa hari kemudian saya kembali ke rumah sakit. Saya bertanya tentang hasil ct scan nya. Dokter bilang, virus toksoplasmanya sudah membuat pangkalan udara di otak. Bagian otak kanannya sudah mengalami pembengkakan dan itu bisa sangat membahayakan nyawanya. Rambut, alis mata dan mulut bagian luar dan dalam sudah penuh jamur. Aa saya sedih. Saya bertanya kepada keluarga apa saja obat yang diberikan oleh rumah sakit, apa saja tindakan yang sudah dilakukan dokter. Mereka semua tidak paham. Terlalu medis katanya. Ah saya sebal. Saya berharap bisa menjaga aa. Tapi itu tidak mungkin. Sebelum memutuskan untuk pulang. Saya usap kepalanya dan saya berbisik. “a,dokter sudah memberikan obat. Mereka semua berjuang dengan cara mereka untuk ngembaliin kondisi lu. Lu juga berjuang ya a. Gw juga berjuang a. Gw berdoa dan minta sama Tuhan yang terbaik buat lu.” Lalu dia mengenggam erat tangan saya. Lalu saya menangis dalam pulang saya.

Ternyata itu adalah kali terakhir saya bertemu dengan aa. 2 hari setelah saya datang, Jumat 30 Mei 2014, pukul 11 siang aa meninggal.  Saya saat itu sedang dalam perjalanan menuju jakarta dari bandung. Saya tidak bisa berkata kata. Saya sedih tidak bisa mengantar aa hingga peristirahatan terakhirnya. Saya menangis sepanjang perjalanan dan tertidur karena kelelahan. Malamnya, selesai semua urusan pekerjaan saya di Jakarta, saya memutuskan untuk ke Cipete. Menuju rumah aa. Saya mau bertemu emak. Memeluk dan mencium tangannya. Tangan ibu yang sudah merawat putranya lebih dari 30 tahun. Saya tahu saya tidak lagi akan menjumpai aa dirumah tersebut. 

Gang Damai No III Cipete. Rumah itu sangat ramai. Banyak sanak keluarga yang berkumpul dan bercerita satu sama lain. Ada hal baik lain yang saya dapat dari sebuah kematian. Bahwa kematian bisa mengumpulkan energi positif dari sebuah keluarga, mengumpulkan mereka dan mengajak semua bercerita tentang hal hal baik yang terjadi dalam hidup si  mati. Saya merasakan atmosfir keluarga yang mencintai aa. Saya tidak banyak bercerita. Saya bahkan tidak cerita bahwa saya mimpi. Saya mimpi sedang berbincang dengan aa dan dia bilang dia ingin shalat jumat. Dan itu adalah jumat terakhirnya.

Saya juga terharu dan bahagia. Saat salah satu kerabat mengatakan. “nanti kalau aa kenapa kenapa tolong bilangin sama 3 orang ini kondisi aa. Mereka adalah sahabat yang selalu dengerin aa dalam susah ataupun senang.” 3 orang itu kemudian adalah ombuds, endy dan saya. Saya menitikan air mata dan tersenyum. Alhamdulilah kalau aa menganggap hubungan kami memiliki makna. Persahabatan ini akan selalu saya kenang dan akan saya ceritakan pada anak cucu kelak. Saya akan sampaikan bahwa ada sahabat yang berjuang melawan AIDS selama 9 tahun hidupnya. Dan meninggal dalam damai, bukan dalam kehinaan. Dia wafat sebagai seorang yang sangat saya banggakan karena kebaikan hatinya dalam persahabatan. Al fatihah Muhammad Aziz Akbar. I love you brother!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar