Sabtu, 11 Juni 2016

[Review Buku] Kerumunan Terakhir, @OkkyMadasari

Sejak kecil saya tergila-gila dengan membaca. Setiap kali melihat buku bacaan, tangan saya tergerak tanpa diperintah untuk mengambil dan membacanya. Dulu saya memiliki banyak sekali ensiklopedia, saya gemar membaca tentang langit dan bumi, planet serta pegunungan dan hewan. Lalu kebiasaan membaca saya terus terpelihara hingga hari ini, saat usia saya hampir tiga puluh tahun. Namun sayangnya, porsi membaca saya perlahan-lahan mulai berkurang. Saya membaca jika ingat kalau saya memiliki buku yang baru saja saya beli, atau kebetulan saya ingat belum membacanya. Rasa antusiasnya berkurang, tidak seperti tahun-tahun dimana saya belum memiliki telfon pintar.

Ya, smartphone dan media sosial merubah kehidupan saya. Cara-cara berfikir saya, pergaulan saya, cara saya memandang orang lain, cara saya menempatkan diri sampai membuat figure diri saya yang baru. Smartphone dan media sosial menyita 90% kehidupan saya. Rasanya waktu seperti tersedot masuk kedalam layar telepon pintar dan laptop saya. Saya tidak hidup, jika tidak masuk ke dunia yang konon disebut maya., tapi nyatanya tidaklah maya. Hidup terasa lebih hidup, jika kita berada dalam kerumunan media sosial.

***

Itu yang kemudian terjadi dengan saya dalam dunia Facebook, twitter, Instagram, dan kini Path. Rasanya jika sehari saja tidak mengabarkan apa yang saya lakukan, saya berada dimana, saya hang out dengan siapa, saya mendengarkan lagu apa, saya menonton film apa.. saya merasa seperti ada yang hilang dalam hidup saya. Maka uang seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu rupiah pun menjadi penopang kehidupan saya di media sosial, untuk membeli paket data internet, agar dunia saya tidak mati.

Sosok Ayu Oktariani pun tidak banyak yang mengenal, 80% orang-orang di dunia Internet mengenal saya sebagai @ayuma_morie sang aktifis HIV. Saya hanya mengganti nama, tanpa merubah sedikitpun kehidupan yang saya gambarkan. Mengapa? 5 tahun yang lalu saat saya memulai semuanya, alasannya hanya satu, saya tidak ingin tidak banyak orang mengetahui bahwa Ayu Oktariani adalah ayuma morie yang mengidap HIV. Sungguh alasan yang menyedihkan.

Lambat laun hidup saya mulai berubah, makin banyak orang yang mengapresiasi sosok Ayuma_morie. Mereka bisa berkonsultasi dengan saya di dunia Maya, bertanya mengenai pengalaman hidup saya, dan bagaimana saya bertahan dengan kondisi HIV ini. Orang-orang mengenal saya, sebagai Ayuma Morie yang kerap berjuang untuk mereka yang menghadapi ketidakadilan karena kondisi HIV mereka.

Tidak jauh dari tempat saya berselancar di dunia internet, saya mendengar suara tertawa mengikik. Saya lalu melihat, ternyata suami saya sedang asyik juga dengan telepon pintarnya. Saya mencoba mengabaikannya. Namun senyum dan tawanya, terus mengembang dan terdengar lantang. Saya mulai terusik. Ada kebahagiaan seperti apa yang dia selami di layar telepon pintarnya. Mengingat suami saya adalah sosok pendiam, dia tidak pandai bercerita meskipun dia adalah pendengar yang baik. Tawa yang sangat mahal harganya, dan dengan mudah dia dapatkan dalam dunianya, dunia internet.

***

Jika anda kemudian ingin tahu apa yang ditulis oleh Okky Madasari dalam buku kelima-nya Kerumunan Terakhir, kurang lebih seperti apa yang saya gambarkan. Tentu tulisan mbak Okky jauh lebih baik dari apa yang saya coba gambarkan. Namun fakta apa yang saya dapat sesaat setelah saya menutup buku mbak Okky? Dunia Internet yang dalam buku Kerumunan terakhir disebut sebagai Dunia Baru, pada akhirnya merenggut semuanya.

Media sosial merebut kebersamaan saya dan keluarga, citra demi citra kerap saya tampilkan sempurna di hadapan semua orang, namun pada kenyataannya sangat renta dan rapuh, jauh dari kesempurnaan. Tidak jarang saya dihancurkan oleh perasaan saya sendiri, karena larut dalam kerumunan kerumunan yang dapat menjadi apa saja, para hakim, para ulama, para polisi moral.

Saya ingat pernah sampai menangis keras, saat dihujat oleh kawan yang tidak begitu saya kenal di media sosial. Saya dianggap sebagai salah satu orang yang amoral hanya karena saya mendukung penuh kelompok LGBT untuk mendapatkan akses informasi pencegahan dan pengobatan HIV AIDS.

Lantas Dunia macam apa ini?
Begitu menyakitkan berjalan dan berkeliling didalamnya.

Tapi kecemasan dan kekhawatiran saya sedikit berkurang, secercah sinar nyatanya juga nampak jauh di sudut ruang media sosial. saat begitu banyak orang yang bahu membahu, saling memberi pertolongan saat ada kesulitan menimpa, saat ada musibah di belahan Indonesia lain, saat nomer-nomer rekening donasi dengan cepatnya bergerak dari satu halaman ke halaman lain, Saat mengirimkan uang secepat cahaya bisa dilakukan hanya dengan akses internet.

Dalam Kerumunan Terakhir, mbak Okky memberi gambaran nyata yang belum pernah dituliskan oleh penulis manapun di bumi Indonesia tentang pahit getirnya dunia baru, dunia Internet. Maka generasi milenial, Kerumunan Terakhir akan menyodorkan pertanyaan saat anda menutup lembaran terakhir bukunya, Apa yang hendak anda lakukan dan mau menjadi apa anda di dunia baru, Dunia Internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar