Minggu, 07 Agustus 2016

Cinta Sang Larasati (1)

Lara tidak pernah menyangka hidupnya sepilu ini. Dia berkali kali kehilangan orang - orang yang dicintainya, sepertinya panah dewa asmara selalu melesat jauh melaluinya. Dia lebih sering menyebut dirinya apes. Bukan tidak ada orang yang mau mencintai Lara, tapi kisahnya selalu kandas di tengah jalan. Berbagai hal terjadi, seperti ada sesuatu yang selalu berupaya membuat Lara kehilangan cintanya. 14 tahun waktu yang tidak sebentar untuk Lara mengalami semua ini, hingga Lara merasa sangat lelah, dan memutuskan untuk tidak mau mencintai siapapun lagi.

Lara memutuskan untuk melanjutkan hidupnya dan menyelesaikan pendidikannya. Pengalamannya dalam bidang pengelolaan sampah membuatnya sibuk. Sibuk mengadakan diskusi dan kegiatan dengan kelompok - kelompok pengelola sampah di banyak kota,  sibuk melatih ibu-ibu PKK di komplek-komplek tentang bagaimana mengolah sampah rumah tangga sampai di minta oleh sekolah-sekolah dan perusahaan-perusahaan besar untuk menjadi narasumber. Sampah menjadi sahabat terbaiknya, sampai ia lupa akan cinta. Cintanya pada sampah, membuatnya lebih hidup.

Ayah dan Ibu Lara tidak pernah tahu apa yang terjadi pada anaknya. Mereka hanya tahu bahwa Lara bahagia, Lara yang enerjik, ceria, pandai bergaul dan selalu memberi manfaat pada orang lain. Ayah dan ibunya yakin, bahwa Lara baik-baik saja dengan hidupnya. Hingga suatu hari mereka merasa ini adalah waktu yang tepat bagi Lara untuk menikah. Usianya sudah matang, pengalamannya mengarungi hidup sudah terlalu lama dijalaninya sendiri, mereka yakin pernikahan akan membuat Lara lebih bahagia.

"Nduk, bapak dan ibu mau bicara" Ujar sang ayah di suatu sore.

"Ada apa to pak, bu.. kok serius banget gini.." Jawab Lara sedikit bingung.

"Rapopo, kami hanya mau ngobrol.. tanya tanya bagaimana aktifitasmu.. kehidupanmu.. baik-baik saja to?" Ibu menjelaskan sedikit maksud obrolan mereka sore itu.

"ohh, hahaha kirain ada apa. Alhamdulilah bu, pekerjaan lancar.. urusan pengelolaan sampah ini membuat hidup Lara bahagia. Lara senang bisa membantu lebih banyak orang, bermanfaat bagi lebih banyak orang. Bahkan Lara bisa membantu ibu-ibu di beberapa desa mengembangkan industri kecil yang berasal dari sampah rumah tangga mereka lho bu!" Lara menjawab tanpa jeda, begitu bersemangat.

Senyum Bapak dan ibu merekah, mereka senang mendengar cerita sang putri.

"Wah, alhamdulilah kami bangga sekali padamu nak!" Ujar bapak.
"Tapi, apa kamu ndak kesepian nduk?" Lanjut beliau.

"Kesepian? kesepian gimana pak?" Tanya lara polos, padahal dia sudah menduga arah pembicaraan ini.

"Iya, maksud bapakmu, apa kamu ndak kepingin menikah. Mencari suami, berumah tangga, memiliki momongan. gitu lho nduk.." Ibu menjelaskan dengan detail.

Lara terdiam sejenak, lalu tersenyum 

"Pak, buk.. Lara baik-baik aja.. teman Lara kan banyak. Kegiatan Lara ini butu konsentrasi bu, belum bisa membagi waktu dan pikiran untuk urusan cinta dan urusan yang lebih serius seperti berumah tangga. Tapi bapak dan ibu ndak usah khawatir, Lara akan berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan diri Lara, juga bapak dan ibu"

Bapak menghela nafas, terpancar sedikit kecewa, namun dia kembali tersenyum tidak ingin menyakiti hati putrinya.

"Baiklah, kalau begitu. Kami hanya mengingatkan saja, usiamu sudah 30 nduk. Kami sudah ingin momong cucu. Kami ingin melihatmu ono sing ngurus.. ndak kesana kemari sendiri." Kata kata bapak menunjukan bahwa dia gusar.

Lalu Lara memeluk bapak dan mencium tangan ibu.

"Lara akan baik baik pak, buk. Mohon doa restu bapak dan ibu, agar Lara bahagia selalu. Maafkan Lara belum bisa mengabulkan permohonan kalian dalam waktu dekat. Percayalah, Gusti Allah ndak tidur, Dia pasti sedang memilihkan jodoh untuk Lara."

***

Dewa asmara dari kejauhan melihat momen indah di teras rumah Lara, dia menyesal menjadi dewa yang sangat buruk. Harusnya dia berlatih lebih keras, untuk bisa menancapkan panahnya pada Lara, dan pada pria yang dirasa pantas untuknya. Sang Dewa sadar, kandasnya kisah asmara Lara karena panahnya tidak pernah terhunus tepat pada Lara, hanya pada sang pria saja. Lalu, sang Dewa bertekad keras akan memberikan panah terbaiknya pada Lara, gadis sebaik Lara tidak boleh bersedih karena tidak memiliki Cinta.

***

Hari itu, Lara disibukkan oleh persiapan Seminar Akbar Pengolahan Sampah Rumah Tangga.  Sebagai salah satu panitia, Lara tidak mau kegiatan ini berantakan. Dia memastikan semua ada pada tempatnya, semua terlaksana dengan baik. Meski cenderung ceroboh, tapi pada dasarnya Lara perfectionist, dia tidak mau acaranya berantakan dan mengecewakan para tamu undangan serta para peserta kegiatan.

Sore ini, Lara akan menghubungi sejujmlah wartawan media cetak, televisi dan media online untuk meliput kegiatannya. Dia mengecek semua list Pers dan media yang sudah disiapkan oleh Ratna, lalu mulai menyusun draft email serta undangan yang akan disebarkannya. Kehadiran wartawan dalam kegiatannya sangat penting untuk membantu mensosialisasikan keberhasilan pengolahan sampah rumah tangga, dalam mengurangi menumpuknya sampah di negara ini.

Pikirannya yang penuh dengan sampah itu mendadak beku saat melihat nama 'Aria Sena (Majalah Lingkungan Kita)' pada selembar kertas yang berisi daftar wartawan tersebut. Otaknya langsung kosong, tergantikan gambar-gambar di masa lampau saat dia dan Aria dekat 5 tahun silam. Disana terpampang jelas kontak Aria, nomor telepon dan alamat surelnya. Tanpa berfikir dua kali, Lara langsung mengambil telepon genggamnya dan memencet tombol angka yang tertera pada kontak Aria.

Nada sambung membuatnya gelisah, jantungnya berdegup kencang, senyum kecil tersungging di ujung bibirnya. Lalu sebuah suara terdengar di ujung saluran teleponnya.

"Halo.." suara nya tegas dan lantang

Lara semakin gugup

"Halo, dengan Aria Majalah Lingkungan Kita?" Lara berusaha bicara dengan tenang

"Iya betul, dengan siapa saya bicara?"

"Saya Lara"

***

BERSAMBUNG...

1 komentar: