Minggu, 14 Januari 2018

The Power of REAL Conversation

source : pexels.com
Judul ini saya dapat setelah melihat kawan saya Abi memposting sebuah screen shoot di intstagram story miliknya yang bertuliskan Never Underestimate the power of REAL conversation. lalu sudah tentu saya kemudian kepikiran untuk menumpahkan segala curahan hati saya yang ternyata sangat related dengan sebersit kalimat tersebut. Yup, Jangan menyepelekan kekuatan dari sebuah percakapan, kenapa? Ini saya ceritakan, mohon dibaca dengan seksama ya gaes. 

So, it started at I'm so little to know that I love to talk. Siapapun yang mengenal saya dengan cukup dekat atau pernah bertemu dengan saya pasti tahu betul bahwa saya orangnya senang sekali ngomong, ngoceh sendiri ataupun ngobrol dengan orang lain. Saya menemukan diri saya membacakan buku cerita kepada boneka - boneka semasa kecil, saya juga sempat membuka perpustakaan saking banyaknya buku dan majalah milik saya supaya say abisa bacakan cerita pada orang lain. Hal itu kemudian terakumulasi sampai hari ini, bagi saya ngobrol menjadi salah satu kebutuhan utama yang jika tidak terpenuhi saya bisa senewen setengah mati. Ditambah lagi setelah perjalanan panjang hidup dengan HIV, ngobrol selalu menjadi obat bagi saya. Ngobrol menjadi suplemen yang secara ajaib bisa membuat kondisi saya merasa jauh lebih baik.

Sayangnya ada banyak bagian dari kehidupan saya yang justru sebaliknya menganggap ngobrol bukanlah kebutuhan, yang otomatis ada ketidakseimbangan dimana saya yang hobi ngobrol jadi merasa gak di dengarkan atau tidak di prioritaskan. Sad but true. it begin with, dulu semasa kecil saya gak banyak ngobrol dengan kedua orangtua tentang kebutuhan, keinginan, kemarahan atau kebahagiaan saya. Karena keduanya adalah pekerja, sehingga waktu yang mereka habiskan dirumah bersama anak - anak lebih banyak mengevaluasi masalah pendidikan seperti ada pekerjaan rumah yang harus di selesaikan atau tidak. Selebihnya tidak ada pembicaraan mengenai hal lainnya. Saya ingat saat pertama kali menyukai seorang laki laki disaat saya berusia 9 tahun. Tentu saya tidak berani bercerita kepada siapapun, kepada temanpun saya sungguh malu karena saya sadar jika saya menceritakan hal ini kepada mereka maka yang saya dapat adalah olok olok atau marah dari kedua orangtua. And its true, bahkan saat saya tidak menceritakannya hanya menuliskannya di bagian belakang buku tulis -Ayu love Amir- yang terjadi malah saya jadi bahan cemoohan teman di kelas, dan tentu kemarahan mama yang mengatakan dengan tegas gak boleh pacaran. Saya yang saat itu tidak mengerti makna pacaran malah bingung, kan saya cuma suka sama si Amir (semoga Amir yang sudah beranak 1 itu gak baca hahaha tengsin).

Karena saya tahu saya gak bisa banyak cerita sama ibu saya, makanya sosok teman menjadi andalan saya buat tempat bercerita. Dan lagi lagi saya gak punya banyak teman berbagi, entah kenapa saya picky banget. Bisa dihitunglah teman ngobrol saya, sebutlah beberapa nama yang tahu hidup saya dahulu.. mereka adalah Angga, Nanda, Raski, Marina, Zainita, geng Duar, geng Trubus. Sampai akhirnya saya bertemu dengan Abet (almarhum ayah Malika) yang menjadi sahabat ngobrol paling luar biasa asik dan setia. Rasa rasanya Abet gak pernah absen jadi pendengar yang loyal, gak pernah menghakimi ataupun mengecewakan. he always listen and give me feedback and also give me advice when it necessary.

Persoalan muncul setelah Abet meninggal 9 tahun lalu dan saya terinfeksi HIV. Saya kehilangan kepercayaan diri untuk ngobrol bahkan bertemu orang lain pun saya tak sanggup. Maka tempat pertama saya untuk bercerita jatuh pada salah kelompok dukungan sebaya bernama Wijaya Kusuma yang saat itu base nya di Depok. Saya berhutang banyak pada mereka, keluarga pertama yang memberikan saya ruang untuk menjadi diri sendiri, meski hidup dengan HIV. Lalu tahun demi tahun berlalu Ikatan Perempuana Positif Indonesia dan Indonesia AIDS Coalition, bukan hanya menjadi ruang terbesar bagi saya untuk ngobrol. Tapi saya dapat mengekspresikan kegelisahan dan mimpi saya, dan mereka bukan hanya menjadi pendengar yang baik namun kami seringkali mewujudkan mimpi bersama berjuang untuk orang - orang yang hidup dengan HIV.

Eits belum selesai sampai disana. Back at home, sembilan tahun perjalanan kehidupan saya setelah terinfeksi HIV dan tiga puluh satu tahun hidup di dunia ngobrol tetap jadi pilihan saya untuk melepas penat dan lelah. Atau saat saya buntu gak tahu harus melakukan apa, ngobrol biasanya jadi pintu pembuka jalan saya menemukan ide atau hal yang bisa dikerjakan atau bahkan mendatangkan rejeki. 

Namun sayangnya, saya gak bisa melakukan hal paling saya suka dirumah. Yup saya gak bisa banyak ngobrol sama suami saya. He is not that kind of person who like to talk. yes againn.. Sad but true. When i use to talk with him about something, he listen.. but no feedback such as other similiar stories or any comment. So then I decide to talk outside with friend. Paragraf ini mungkin bikin kalian kaget (lho, kok kalian nampak sangat romantis di sosial media or picture) yeah.. my husband is not that ngobrol type, unfortunately. Meskipun sesekali setelah berbagai argumen tentang pentingnya ngobrol, then we will sit and talk. But most of all he just listen, quietly. Ini bukan berarti saya sebel sama pak suami ya (meski kadang sebel), I'm just try to be honest.

Jadi, apa sih The Power of REAL Conversation. Back top top paragraf, Jika dulu saya diberi ruang untuk ngobrol dengan ibu dan ayah saya mengenai cinta dan hal hal yang kemudian akan berkembang berkaitan dengan persoalan itu, seperti soal kebutuhan seksual dan informasi mengenai kesehatan reproduksi, mungkin saya tidak akan terinfeksi HIV. Tapi bukan juga kemudian saya menyalahkan keduanya.. banyak peran yang hilang di masa ini seperti sekolah dan orang orang di sekeliling saya yang sama sekali gak support soal kebutuhan dasar remaja pada masanya. So then gaes, please talk to your daughter son sister friend especially if they are teenager and they have a need that we use to judge.

Lalu The Power of REAL Conversation lainnya adalah bagaimana kemudian teman - teman saya menjadi pahlawan tanpa tanda jasa dalam kehidupan saya. Yang menjadi teman sebaik baiknya pendengar saat saya pertama kali mengetahui bahwa saya terinfeksi HIV, saat almarhum suami saya meninggal, saat saya jatuh bangun gak punya uang dan harus membesarkan anak, disaat sahabat sahabat terbaik saya satu persatu meninggal karena AIDS. Saat delapan tahun setelah saya kehilangan orang yang paling saya sayang, saya kembali kehilangan bayi yang saya kandung. oh gosh.. is it hard yu? Yes offcourse, thats was the most fuckin hard dan saya gak akan bisa cuma ekspresiin itu semua di blog kalau gak ada orang y ang bener - bener bisa diajak ngobrol langsung. Saya gak tahu, kalau gak ada mereka, mungkin saya sudah membusuk di tanah tenggelam sedalam dalamnya inti bumi karena semua kesedihan yang saya rasakan sendirian.

And the last, The Power of REAL Conversation adalah saat kita memutuskan untuk berkomitmen dengan seseorang menjadi pasangan bagi mereka. Saya gak cuma mention pasangan menikah saja ya, semua yang berkomitmen memiliki pasangan, please listen this carefully. Dalam hal komitmen, cinta memang dibutuhkan tapi cinta tanpa ngobrol itu seperti nasi goreng tanpa telor dadar tjoy, so Hambar! (perumpamaan macam apa ini). Maka belajarlah kita bisa menjadi teman terbaik pasangan kita buat ngobrolin apa ajaaaa. Mau ngegosip, ngomongin politik dan agama, ngomongin perasaan dan cinta, ngomongin posisi seks yang sama sama disuka, ngomongin masakan yang enak, restoran yang keren, film yang bikin mewek, atau apapun. Karena jika pasangan kita sudah gak nyaman ngobrol sama kita hanya karena kita bukanlah teman yang nyaman buat diajak ngobrol, its a bit scary isnt it. 

eh masih ada satu lagi nih The Power of REAL Conversation yang buat saya adalah berkah adalah saat begitu banyak orang mempercayakan saya menjadi tempat mereka ngobrol, curhat dan bercerita. Meski sadar beban tersebut tidak mudah dan seringnya sangattttt beraaattt.. yup karena kita harus bisa handle hati orang lain di saat kadangkala hati kita pun sedang tak stabil. Tapi sejak 2011 saya memutuskan untuk membagi hidup saya untuk lebih banyak orang, ngobrol dengan begitu banyak orang yang tak saya kenal sehubungan dengan persoalan HIV. Rasanya luar biasa, saya mendapatkan begitu banyak energi saat di akhir percakapan mereka bilang "Mbak, makasih ya.. saya sekarang sudah semangat lagi dan saya yakin saya juga bisa hidup sehat". Gila itu rasanya seperti saya dapat 10ribu kali lipat energi positif dari mereka. Saya kemudian jadi punya begitu banyak teman dan sudara baru yang memiliki rasa yang sama. Karena saya percaya hal sekecil apapun bisa menyelamatkan orang lain, sama hal nya saat teman - teman di kelompok dukungan membantu saya bangkit dari keterpurukan.

See, masih mau menyangsikan The Power of REAL Conversation? ngobrol yuk, or at least be the ear for person next to you.

3 komentar:

  1. Kadang kalo ngobrol sama orang dia sibuk gadget, dilematika zaman now ya kak

    BalasHapus
  2. Oh Mbak Ayu, you are very strong woman :) Semoga bisa terus ngobrol sama sahabat dan orang-orang tersayang yaa..

    BalasHapus
  3. Makasih mba ayu sharingnya. Saya ngerasa banget ketika lagi down, penting banget buat saya cerita, biar lega. Dan rasanya egois ya, kalau giliran orang mau cerita kita ngga ngedengerin, at least be the ear for person next to you, aku suka banget kalimat ini

    BalasHapus