Minggu, 08 Juli 2018

Bayangan Kematian Orang yang Terinfeksi HIV

Dalam sebuah rekaman video, ayah Ginan mengatakan telah membelikannya tanah untuk kelak digunakan saat dia meninggal. Video tersebut diunggah oleh seseorang pada tahun 2011, saat Ginan baru pulang dari Prancis dalam laga Homeless World Cup 2011. Sang ayah membeli tanah pemakaman tersebut tidak lama setelah mengetahui anaknya terinfeksi HIV. Bayang - bayang kematian meliputi siapapun yang didiagnosa terinfeksi HIV. Tidak hanya Ginan dan keluarganya, begitupula saya.

Dua minggu yang lalu Ginan yang namanya tersohor di seantero negeri meninggal dunia karena serangan jantung. Seiring dengan diterimanya berita kematian Ginan, tiga hari berturut turut dada saya sesak setiap kali mengingat wajahnya atau membayangkan tingkah polahnya yang lucu dan menyenangkan. Jantung saya juga ikut berhenti berdetak beberapa detik saat mencoba mencerna dua kata yang saya terima dalam sebuah pesan singkat di handphone "Ginan Meninggal".


Kematian Ginan merupakan pertanyaan dan keresahan untuk saya. Saya takut, apa yang akan terjadi ketika saya mati. Kalimat di paragraf kedua ini bisa jadi bahan cemoohan orang lain. Kok takut mati? Lha wong yang paling pasti dalam kehidupan adalah kematian. Iya saya masih belum siap. I'm not a good person and I'm afraid to die.

Sembilan tahun saya mulai bersahabat dengan kematian orang - orang di sekeliling. Sepertinya HIV membuat segalanya menjadi lebih mudah. Dengan informasi yang sangat minim, seseorang yang beresiko terinfeksi HIV akan menjadi cuek dan abai pada kondisi kesehatannya dengan alasan tidak tahu harus mencari pertolongan kemana. Atau dengan begitu kencangnya stigma dan diskriminasi, membuat seseorang yang beresiko terinfeksi HIV enggan datang ke rumah sakit untuk memeriksakan diri atau melakukan perawatan. Dan cepat atau lambat mereka semua akan meninggal dalam ketidaktahuan atau dalam belenggu stigma dan diskriminasi.

Namun Ginan, adalah satu dari banyak orang yang memutuskan untuk mencari pertolongan dan melakukan perawatan serta pengobatan atau infeksi HIV yang ada dalam dirinya. Begitupula dengan saya yang masih diberikan kesempatan hidup hingga hari ini. Ya, saya dan Ginan menjalani kehidupan sebaik mungkin setelah mengetahui diagnosa HIV. Kami rutin datang ke rumah sakit untuk kontrol dan berobat. Kami mengkonsumsi Antiretroviral Terapi agar virus HIV di dalam darah dapat ditekan dan kami dapat hidup lebih produktif.

Tapi pada akhirnya, sekeras apapun usaha yang dilakukan kematian akan tetap datang menghampiri.

Karena Tuhan sang pemilik kehendak tentunya gak bisa kita negosiasi tentang jadwal kematian. Yang bisa saya lakukan adalah menjaga kondisi saya sebaik mungkin. Hingga waktunya nanti tiba, saya ingin meninggal dalam kondisi yang baik. Tidak menyusahkan siapapun, tidak sakit - sakitan atau harus dirawat di rumah sakit dengan biaya yang membludak. Saya yang masih takut dengan mati ini, ingin meninggal dan tidak membuat orang lain sedih.

Terinfeksi HIV tidak membuat seseorang pasti mati. Sembilan tahun yang lalu meski terbesit bayang kematian, saya optimis bisa sehat dan bertahan hidup. Tapi mati itu lah yang pasti akan datang dan Tuhan yang punya kewenangan atas itu semua.

Semoga semua saudaraku yang terinfeksi HIV diberikan kesehatan, kekuatan serta semangat untuk tetap melanjutkan kehidupannya. Gengs, I also afraid to die But trust me your life is worth. Jangan cari dimana kematian, tapi bersiap untuk kedatangannya saya rasa adalah hal yang bijak. Peluk hangat semuanya, terimakasih sudah membaca tulisan hari ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar