Rabu, 08 April 2020

Story about My Big Brother in Heaven (Part 2)

Tulisan ini adalah kelanjutan dari cerita sebelumnya tentang almarhum kakak saya. Baca yang sebelumnya dulu ya. ini link - nya klik di sini!

Dalam proses pemulihannya pada narkoba, saya mengetahui bahwa kekasih kakak saya yang juga dibantu proses pemulangannya oleh papa sedang hamil. Tentunya anak kakak saya, dalam kondisi ala kadarnya kedua keluarga memutuskan untuk menikahkan keduanya sambil kemudian kembali pemulihan di rumah masing – masing hingga mereka layak untuk hidup bersama setelah pulih. Perempuan yang kemudian menjadi kakak iparku orangnya sangat baik tapi agak nyentrik. Saya gak perlu menyebutkan namanya demi kenyamanan. Dari keduanya saya kemudian punya seorang keponakan laki – laki yang sekarang sudah duduk di bangku kuliah. Wajahnya mirip betul dengan sang ayah, sama persis.

Setelah pulih, menikah dan punya anak. Mas Adi ikut dengan papa ke Probolinggo untuk bekerja di PLTU. Di sana hidupnya jauh lebih baik dan lebih sehat karena bekerja, makan dan istirahat teratur bersama papa. Tapi sayangnya Tuhan punya rencana lain pada mas Adi. Sebuah rencana yang saya tidak pernah menyangka terjadi pada dirinya dan pada keluarga kami.

Saat itu, papa sudah tidak lagi bekerja di Probolinggo. Dia sudah kembali ke rumah kami di Pamulang. Suatu hari, papa mendapat telfon yang mengatakan bahwa kakak laki laki saya jatuh pisang dalam sebuah acara kantor setelah minum segelas alcohol. Dia dilarikan ke rumah sakit umum di Probolinggo. Esok harinya, papa dan kakak saya yang kedua berangkat dengan menggunakan kereta atau travel (saya lupa) ke sana. Kondisi kakak saya tidak sadar dan dalam keadaan seperti itu papa memindahkannya ke Surabaya agar mendapatkan perawatan dan penanganan yang maksimum. Saat itu, saya tidak tahu apa yang terjadi kakak saya… apa penyebabnya jatuh sakit.

Yang saya ingat, kakak saya jarang sekali sakit. Hanya saja, beberapa bulan sebelumnya saat Ibu (nenek saya) meninggal dunia kakak saya mengatakan dirinya sedang terkena herpes dan tidak mau memeluk saya takut saya ketularan herpes. Saya tidak tahu apakah kondisi tersebut berhubungan atau tidak. Tapi tidak lama dirawat dan ditangani di Surabaya, kakak saya meninggal di hari Jumat tidak lama setelah bapak saya menyelesaikan rakaat terakhir solat Jumat. Jenazah kakak saya kemudian berangkat bersama kakak dan papa saya kembali ke Pamulang menggunakan ambulance karena biaya pesawat yang sangat mahal untuk membawa peti jenazah.

Perjalanan satu hari dari Surabaya ke Pamulang dihabiskan dan jenazah langsung dimakamkan setibanya di rumah keesokan paginya. Wajah papa saya begitu lelah tapi juga ikhlas. Saya tahu betul betapa badungnya kakak saya itu dan betapa papa saya menyayanginya sampai rela mengorbankan banyak hal dalam hidupnya. Sehari setelah pemakaman selesai, papa mengajak kami semua duduk dan mulai bercerita tentang penyebab sakit dan kematian Mas Adi.

Saat menulis ini, saya berdoa semoga almarhum mas Adi diampuni segala dosa – dosanya dan diberikan pahala atas segala kebaikan dan kasih sayangnya selama hidup. Kakak laki – laki saya didiagnosa terkena HIV dan meninggal karena gagal fungsi organ tubuh, rupanya dia sudah masuk fase AIDS dimana kondisi pelemaham daya tahan tubuh membuka gerbang pada segala jenis kerusakan yang lain.

I don’t have idea saat itu. Saya yang sedang mengandung anak saya Malika bersama almarhum suami saya yang juga masih hidup kala itu sama sekali tidak tergerak hatinya untuk berfikir bahwa kami (saya dan suami) memiliki resiko yang sama akan penularan HIV. Almarhum suami saya kala itu adalah pengguna heroin suntik dan telah menikah dengan saya selama setahun. Keluarga kami pun sama sekali tidak ada yang berfikir jernih, semua masih diliputi duka mendalam setelah kepergian Mas Adi.

Saya berusaha berfikir keras pasca saya terinfeksi HIV, mengurutkan kembali potongan cerita, gambar dan pengalaman yang saya lihat sejak kecil tentang sosok kakak saya. Bukan hanya perkara diagnose HIV-nya. Tapi bagaimana saat itu, kami bukanlah keluarga yang sempurna. Gak ada keluarga yang sempurna. Dan kakak saya menjadi salah satu tantangan terbesar bagi keluarga. Sama seperti semua keluarga yang memiliki anak seorang pecandu. Hal tersebut kemudian juga membawa saya jauh ke belakang dimana, kakak saya adalah sosok manusia yang sangat baik, penuh kehangatan dan kasih sayang. Di luar daripada imagenya yang tukang nyolong dan menjual barang – barang keluarga, pengguna narkoba, penuh tato dan piercing. He is my brother. Dia pernah sangat menjaga saya dengan segala keterbatasanya. Dan dia pula yang kemudian mengingatkan saya untuk bangkit setelah terinfeksi HIV, bahwa hidup itu bukan hanya soal saya juga saya dapat dan pelajari dari dirinya.

Dear mas Adi, its been 14 years after you passed away. And I miss you since then. Aku beberapa kali bertemu dengan Raja (putranya), and he is look like you.. the face. I hope not your attitude tough.. hahaha. But I hope he is gonna be a great guy! In your birthday, I would love to send you my pray. Al Fatihah Adi Prianto bin Eko Mulyono, I hope you rest in peace in heaven..

Ini adalah akhir dari artikel Story about My Big Brother in Heave ya. Semoga kalian semua bisa mendapatkan hal baik dari cerita ini. Semoga kondisi kita semua di Indonesia semakin membaik dari COVID19 dan sampai itu terjadi stay at home please kalau ga ada kerjaan banget. Stay Safe dan Stay sane ookaay! superlove, thanks for read my blog!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar