Jumat, 15 Mei 2020

Cinta yang Mengubah Hidupku #12

Berhari hari aku dilanda kebingungan. Opi kini mengisi kehidupanku. Meski tidak ada pernyataan cinta seperti kebanyakan orang pada umumnya, tapi ciuman di bioskop itu seperti sebuah petunjuk dan ungkapan cintanya. Perhatian yang kerap dilontarkannya setiap saat baik melalui pesan singkat ataupun telfon juga sudah cukup buatku. Bukankah dia memang orang yang selama ini aku nantikan sejak lama? Bukankah dia cinta semasa kecil yang menjadi nyata? Aku kini sering mempertanyakan perasaanku.

“Kenapa sih kok kayak gak bersemangat gitu?” Tanya Opi suatu hari.
“Gak apa – apa kok” balasku singkat saat dia menelfon.
“Kita baik baik aja kan?”
“Iya tenang aja.” Jawabku singkat yang kemudian langsung mengalihkan pembicaraan.

Opi tidak tahu bahwa semenjak kejadian di kolam renang, aku kembali berhubungan dengan Abet melalui SMS. Aku memutuskan untuk bertemu dengannya setelah hari itu dan mendengar penjelasannya kenapa dia menghilang dan siapa perempuan di ujung gang yang dulu sempat mendatangiku bersamanya. Tapi aku tidak sanggup menyampaikan ini pada Opi karena mungkin aku terlalu egois, itu saja.

Persis beberapa hari setelah pertemuan tak terduga di kolam renang, Abet datang ke rumahku. Seperti biasa tanpa aba aba dan pemberitahuan terlebih dulu. Dia masih ingat jadwalku berangkat sekolah dan pulang sekolah. Dia selalu mengirim pesan di saat ku sengang atau ya dia tau aku tidak mungkin tidak membalas pesannya.

Baca Cerita sebelumnya di sini

Mobil fiat birunya sudah terparkir di ujung gang rumahku. Kali ini bukan mobil sedan putih milik perempuan bertato cicak di kakinya. Langit sudah gelap dan azan maghrib masih terdengar berkumandang dari masjid di ujung jalan. Aku yang kelelahan sepulang sekolah seperti mendapat energy melihat benda tua berwarna biru itu. Ada seorang laki laki yang kepalanya diletakan di setir bersandar pada kedua tangannya. Aku menghampiri dan mengetuk kacanya.

“Udah dari jam berapa di sini?”
“Baru setengah jam lah. Tadinya mau jemput ke sekolah. Tapi ketiduran sampai sore. Ya tunggu di sini aja deh”
“Oh”
“Ngobrol yuk. Tapi sambil jalan. Naik sini!”
“Hmm, aku capek banget baru pulang.”
“Kan di mobil aja ga kemana mana. I need to talk”

Seperti tersihir, aku patuh dan naik ke mobil tanpa pendingin itu. Kubuka jendelanya sekuat tenaga dengan memutar kenop yang agak tersendat. Setelah kurasa angin cukup untuk masuk ke dalam, aku melempar tasku ke bangku belakang. Tidak ada seat belt, jadi aku meletakan kedua tanganku di paha. Mesin mobil menyala dan kami meninggalkan ujung gang. Abet tidak berubah dari terakhir kali kami bertemu persis di tempat yang sama. Rambut ikalnya, matanya yang selalu terkesan menyipit di balik kaca mata kotaknya, bibirnya selalu tampak memerah kontras dengan kulit di rahang pipinya yang sungguh putih. Parfumnya aku masih ingat bau ini. Sialan, batinku dalam hati kenapa aku jadi memperhatikan dia.

Kami lalu tiba di pinggir danau sebuah komplek di Pamulang, gelap hanya ada lampu jalan yang sepertinya sudah bertahun tahun tidak ditanggi bohlamnya. Dia mematikan mesin mobil dan menyalakan rokok lalu menoleh kepadaku.

“Gimana sekolah?”
“Masih ada di situ belum pindah?”
“Yeeee….”
“Lho? Bener kan jawabannya?”
“Iya salah. Maksudnya gimana kamu di sekolah?”
“Sekarang aku ketua OSIS.”
“Wah, keren! This is my girl!”

Cara dia berbicara padaku seperti tidak ada apa. Seperti tidak pernah ada bulan bulan dia meninggalkanku, sepertinya dia tidak ingat sama sekali terkahir kali kami bertemu dia mengisyaratkan selamat tinggal. Gawat, sepertinya ada yang salah dengan isi kepalanya atau ada yang salah dengan isi hatiku.

“Tadi katanya mau ngomong. Nanti aku dibawelin mama karena pulang sekolah kemalaman”
“So, kamu tau kebiasaan ‘make’ku ya?”

Aku mengangguk.

“Waktu kita terakhir ketemu, aku sama perempuan namanya Firni. Dia partner aku untuk make drugs. Kami ga ada apa apa, tapi sepertinya dia menganggap kami ada hubungan. Aku butuh dia karena dia punya stok yang cukup untuk aku selalu pakai drugs. Jadi aku ga perlu beli”
“Kenapa sih kamu harus pake drugs?”
“Sebentar dulu. Biar aku cerita dulu oke?”

Aku terdiam mulai kesal karena dia mengungkit kejadian yang lalu.

“Setiap aku mulai nyasar lagi dan gak bisa control kebiasaan make aku, aku akan jadi orang yang berbeda. Dan di saat itu aku merasa aku ga bisa ada di sekitar kamu karena aku akan membahayakan kamu atau aku akan jadi pengaruh buruk buat kamu. Itu kenapa aku pergi dulu.”

Aku masih menunggunya melanjutkan ceritanya.

“Setelah aku dan Firni ke rumah waktu itu, aku berangkat ke Bali. Aku kerja di sana, siaran radio. Hidupku lebih stabil, di Bali aku ga tau cari drugs dimana.. aku bisa maintain dan manage kecanduanku. Aku harus pergi dulu Yu, aku ga bisa ngerusak kamu”

Lalu dia memegang tanganku, menatapku dalam.

“Now I’m back and I need you. Hanya tiga yang bisa membuatku berhenti pake narkoba yu, Polisi, Tuhan dan Kamu”   

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar