Jumat, 26 Mei 2017

Apakah Harus Hidup Dalam Batasan?

Disclaimer : Tulisan ini merupakan curahan hati penulis dan tidak mewakili orang banyak, tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk menyinggung siapapun dan pihak manapun. Jangan baca jika anda sedang butuh motivasi hidup, karena tulisan ini.. mungkin malah membuat anda semakin terpuruk.

Ini adalah hari ke 29 pasca kepergian putera kami Sir Miguel Arkananta. 40 Jam saja umurnya di dunia ini. Dan sampai hari ini, saya masih belum dapat melakukan banyak aktifitas yang akan melibatkan saya dengan banyak orang. Saya hanya baru mampu mengerjakan aktifitas sehari - hari yang ruang lingkupnya dalam keluarga saja. Berkumpul dengan Malika serta ayahnya adalah obat bagi saya, meskipun tidak banyak yang dapat saya lakukan.. hanya mengamati mereka berdua yang sibuk sendiri saat main bola atau melakukan hal lain, bagi saya itu sudah cukup. Dan ini adalah tulisan ketiga yang saya sangat upayakan, Bayangkan betapa sulitnya mencoba merangkai kata - kata yang biasanya lancar mengalir di kepala. Padahal begitu banyak cerita yang bisa dituliskan.

Dalam 2 minggu terakhir, saya berusaha keras untuk tidak menghabiskan waktu di kamar dengan pintu tertutup dan tidur-tiduran saja. Sebisa mungkin saya mengikuti saat suami beraktifitas, atau mengunjungi kerabat dan mencari hiburan dengan makan di tempat tempat baru. Dan kemarin untuk pertama kalinya saya kemudian menjadi benci pada diri saya sendiri. Mengapa? 

Minggu ini saya bertemu dengan seorang perempuan luar biasa yang baru saja melahirkan bayi-nya. saya tidak begitu mengenalnya, hanya tahu saja. Dia bercerita tentang bagaimana perjuangannya selama proses mengandung, hingga persalinan selesai, hingga lahirlah seorang bayi laki - laki yang sangat tampan dan menggemaskan. Sang bayi lahir dengan sehat dan selamat, begitupun sang ibu. Cerita mengenai pengalamannya memberikan banyak masukan dan penguatan, namun ada setitik keresahan dan kekecewaan terutama untuk diri saya sendiri.   

Dalam ceritanya, dia berbagi mengenai begitu pentingnya afirmasi positif dalam proses kehamilan, menikmati setiap rasa dan perjalanan 9 bulan bersama sang Janin. Bagaimana berkomunikasi dengan Janin menjadi salah satu kekuatan besar, sehingga alam semesta serta Tuhan Yang maha Esa akan dengan kekuatan yang tidak kita duga akan mengalirkan lebih banyak kekuatan. Meskipun tidak jarang dia juga menemukan kesulitan dan tantangan dalam proses mengandung. Sayapun mengalaminya, mengandung seorang bayi bukanlah hal yang mudah. And I did that, saya berafirmasi dan berkomunikasi. Maka dalam ceritanya dan begitu banyak artikel yang saya baca mengenai proses persalinan, ibu - bayi dan alam semesta akan menemukan jalan terbaiknya untuk melahirkan.

Singkat cerita dia dan banyak ibu lainnya, bisa memilih untuk melahirkkan secara normal, bersama bidan.. bahkan dapat dilakukan dirumah.. atau melahirkan cesar dengan pelayanan terbaik dengan rumah sakit yang dipilihnya. Mereka dapat dengan bebas memilih mau berkonsultasi dengan dokter atau bidan, di rumah sakit atau klinik bersalin. Dapat memberikan ASI yang memiliki manfaat yang luar biasa untuk sang bayi. Dan pada akhirnya, pasangan pun dapat bernafas lega dan bersyukur karena memiliki super women yang menjadi partner hidupnya.

Bagaimana dengan saya.. perempuan yang hidup dengan HIV? Can I easily think the same.. do the same..  Apakah saya bisa berfikir yang sama dan melakukan hal yang sama? Lalu kenapa saya menjadi benci pada diri sendiri?


Sejak awal kehamilan, hal tersulit adalah Mencari Dokter dan Rumah Sakit yang biasa, bisa dan mau menangani serta memeriksa perempuan yang hidup dengan HIV. Pada fakta-nya saya tidak bisa menemukan solusi-nya. Tidak banyak dokter kandungan yang punya satu paket tadi. Biasa  dan bisa menangani dan membantu perempuan HIV, tentunya beliau harus memahami persoalan HIV dengan benar. Kemudian apakah rumah sakit yang menjadi satu paket dengan sang dokter bisa menerima persalinan perempuan HIV. That's one thing. Saya bertanya kepada begitu banyak dokter yang menangani persoalan HIV saya, dan semua merujuk kepada satu nama dokter kandungan saja. Bayangkan, SATU orang dokter saja di sebuah kota. Can we go to other doctor, who not related to HIV? Saya gak yakin. 

Lalu, apakah kami bisa bebas melahirkan di semua rumah sakit atau klinik bersalin, yang tidak biasa melakukan penanganan pada perempuan HIV. Try it? Jika sudah siap dengan penolakan, maka jawabannya adalah tidak. Akan ada banyak alasan, seperti SOP rumah sakit, tidak adanya dokter yang menangani, sampai peralatan medis yang tidak ready untuk membantu persalinan HIV (kebanyakan RS akan memberi biaya ekstra yang dilimpahkan kepada pasien, karena peralatannya hanya sekali pakai). Hanya rumah sakit yang menjadi rujukan pemerintah untuk menangani HIV saja yang bisa menjadi rumah terbaik untuk para ibu HIV melahirkan bayinya.

So akhirnya saya memutuskan untuk konsultasi ke dokter tersebut (sudah mencoba ke dokter lain, but failed - they dont understand HIV clearly), dan 'memaksakan' diri ke rumah sakit ibu dan anak yang bukan menjadi rujukan pemerintah untuk HIV, itupun karena sang dokter berpraktik di RS tersebut. Beruntung karena RS tersebut sudah terbiasa menangani ODHA. The other fact is, if you don't have money.. and you just depend on your national health insurance, and you are living with HIV, say bye to good quality of care and treatment in your hospital. (*Saya akan menulis tentang ini lebih detail segera).

Padahal, setiap manusia.. berhak mendapatkan penanganan terbaik.. dan terlahir dengan baik..

Setelah bayi terlahir, ASI merupakan salah satu anugerah yang Tuhan berikan kepada manusia. Sudah ada landasan dan hasil penelitiannya, jika memenuhi syarat medis serta mematuhi aturan dan pengawasan yang ditetapkan, Ibu yang hidup dengan HIV sangat aman memberikan ASI kepada bayi-nya tentunya didampingi dengan pemberian profilaksis ARV kepada bayi, dan tidak mix feeding (ASI dan PASI). Fakta yang saya hadapi adalah, sadly I don't get any support and permission from all doctor in this town. Pasca persalinan selesai, Suami harus menandatangani surat pernyataan atas kemauan sendiri, agar saya dapat memberikan ASI kepada sang bayi. Yes I have my own right, but I don't get that support.. the doctor don't want to take any responsibility to help and asisst me during the breastfeed process. Walaupun pada akhirnya Miguel tidak sempat menyusu pada ibunya, dan meninggal dunia setelah gagal nafas. Saya tidak akan lupa bahwa di kota ini saya kehilangan dukungan untuk menjadi ibu hanya karena saya terinfeksi HIV.    

Lalu, apakah Afirmasi positif akan berguna saat saya tidak punya pilihan-pilihan. Bahkan saat keyakinan tersebut telah tertanam, dan percaya bahwa ada koneksi antara ibu - bayi - alam semesta, bahwa saya telah 'Merencanakan semua dengan sangat matang dan mengikuti aturan yang berlaku'. Lantas semua pupus karena HIV akhirnya menciptakan semua batasan yang dibentuk oleh sistem, yang tidak berani memperjuangkan hak dan kehidupan seseorang. Kemarin saya kembali kehilangan kepercayaan pada diri saya sendiri karena HIV dan batasan - batasan tersebut, lalu saya merasa kota tempat saya hidup sekarang tidak bisa memberikan dukungan kepada saya dalam hal medis dan penanganan kehamilan dan persalinan pada perempuan HIV.

I know this article is bad, so bad.. that's why I warn you.

Saya percaya setiap ibu punya kesempatan terbaik untuk hidup, mendapatkan hak nya, menyehatkan dirinya, bahkan memiliki anak dengan spesial. Saya yang terinspirasi dari banyak ibu, meskipun mereka tidak terinfeksi HIV. Kini yang perlu saya lakukan selain memulihkan diri dan menjaga kesehatan mental, saat ini saya sedang membangun kembali kepercayaan tersebut. Entah butuh berapa lama waktu untuk kembali yakin pada diri saya sendiri, jika pada akhirnya dukungan dukungan teknis tersebut tidak ada. Maybe now, I only need time.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar