Minggu, 27 Oktober 2019

Tempat Paling Aman di Muka Bumi


Warung ini tidak berbeda dengan warung lainnya yang berjejer di pelataran parkiran area pintu masuk taman nasional gunung gede pangrango. Cat kusennya berwarna biru dengan deretan display minuman, mie instant serta nasi dan lauk pauk yang bisa kita santap dengan lezat.

Perjalanan pertamaku ke Gunung Gede berakhir dengan persinggahan di warung tersebut, tapi siapa sangka bahwa dalam babak selanjutnya kehidupanku.. Abet dan saya memilih untuk juga setia singgah ke warung sederhana tersebut setiap kali kami merasa penat. Bukan hanya karena makanan – makanan super lezat dan aroma tempe goreng yang baru matang diangkat dari minyak panas… tapi karena ada sesuatu dari warung sederhana tersebut yang membuat kami merasa aman.

Pagi ini, dalam pejaman mataku aku membayangkan kembali berada di warung tersebut. Bedanya, tidak ada siapapun kecuali diriku sendiri di dalamnya. Tidak ada Abet, tidak ada sepasang suami istri yang akan bertanya hendak makan apa kami hari itu, juga tidak ada pendaki yang hilir mudik bersiap naik atau beristirahat setelah turun gunung.

Sabtu, 26 Oktober 2019

Mengucapkan Selamat Tinggal Pada Miguel

Bayi yang kulitnya mulai berubah warna ungu itu dibalut kain bedong berwarna biru. Kainnya kami beli di sebuah toko grosir peralatan bayi dua bulan sebelum kelahirannya. Miguel, nama bayi itu. Sang ayah ingin punya anak laki – laki dengan nama Amerika Latin sebuah cita – cita yang menarik. Miguel adalah harapan yang dinanti kini terbaring dalam tidur panjangnya di kasurku. Anak manis ini menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah empat puluh jam berjuang untuk bernafas dengan bantuan alat.

Dalam sesi terapiku kali ini, aku akan mengucapkan selamat tinggal padanya.

Setelah dua tahun aku selalu menangisi bayang wajah mungilnya yang hanya bisa kupandangi beberapa jam saja, kini aku siap mengucapkan selamat jalan kepadanya.

Jumat, 11 Oktober 2019

Menemui Pohon Mangga Sang Penopang Hidup

Sebuah pohon manga besar kini berdiri di hadapanku. Aku ingat betul pohon ini, pohon manga di rumah ibu (panggilan untuk nenek) di Cipulir. Pohon ini biasa kami naiki, ya… aku, kakak,sepupu – sepupu dan bahkan anak anak kampung di sekitar komplek. 

Tapi kali ini pohon ini hanya berdiri sendiri tidak ada seorang anakpun menaiki dahannya yang begitu landai. Satu satunya anak yang berada di sekitar pohon adalah gadis kecil berusia 6 tahun menggunakan dress, topi floppy straw dengan pita mengelilinginya dan sepatu pantofel dengan kaus kaki renda. Semua yang menempel di tubuhnya berwarna pink dan gadis kecil itu adalah aku.

Rabu, 09 Oktober 2019

Ruang Emosi pada Sesi Terapi Pertama

Ibu Dewinta duduk di hadapanku, ia menggunakan jilbab putih bermotif bunga. Ini pertemuan pertama kami, tapi kunjungan keduaku. Pagi itu kami membuka sesi dengan aku yang kembali bercerita tentang apa yang terjadi padaku dua tahun silam. Cerita yang tak pernah mudah, aku kembali menangis sesenggukan. Tissue yang terletak di atas meja menjadi penolong, ada kalanya aku ingin tidak terlihat selemah ini. Menangisi hidupku atau kematian anakku, it feels painfull. Tapi tidak, aku ingin berhenti dari rasa sakit ini.

Kini di hadapanku berdiri sebuah bangunan, tidak kokoh tapi juga bukan rumah tua. Ah ini rumah kedua orangtuaku. Rumah ini meninggalkan banyak kenangan manis dan pahit, tempatku tumbuh menjadi diriku yang sekarang. Tempat di mana aku jatuh cinta pertama kali pada Abet, Malika tumbuh besar dan menikmati masa kanak – kanaknya, tempat di mana aku menjadi diriku sendiri.

Rabu, 02 Oktober 2019

Joker Life isn't a Joke, You're Life too

I know since a long time ago Joker is never a joke. Ada sesuatu dari pria dengan riasan badut tersebut, cerita yang tak pernah diketahui oleh para penonton. Orang – orang hanya melihat Batman sang pahlawan dengan sejuta privilege dan gelimang harta. Keduanya menjalani kehidupan dan terluka dengan cara yang berbeda.

Each of us have “Joker” inside. Yang tidak mengetahui cerita kehidupan yang sesungguhnya, yang diabaikan oleh keluarga dan lingkungan sosial, yang diolok – olek karena cara berpakaiannya, sepatu yang terlalu besar, rambut yang terlihat aneh dan awut – awutan. Setiap Joker dari diri kita kadang ingin berteriak dan menerkam semua yang selalu menyudutkannya tapi rasanya terlalu sulit. Saat kemudian kita merasa semua terlalu terpuruk, kita tidak pernah benar – benar punya sesorang yang dapat mendengarkan cerita kita. Lantas kita menciptakan sosok sosok yang tidak terlihat untuk melengkapi kekosongan tersebut. Seorang kekasih, ibu, sahabat dan penonton yang memberikan kita tepuk tangan meriah meskipun nyatanya itu semua tidak pernah ada.

Kita lantas bisa memilih untuk menenggelamkan diri dalam sisi Joker dalam sisi kehidupan kita yang lain atau bangkit dan mencari pertolongan. Its not easy, sure. Dan ketidakberuntungan Joker membuatnya tenggelam dalam lubang kemarahan yang tak berujung. But we can do the opposite of what Joker did to himself and to others. We can try to find a help.