Selasa, 14 Maret 2017

Menjadi Ibu Yang Tidak Sempurna

sumber : pexels.com
Pagi ini saya super galau, karena nilai pelajaran Matematika Malika yang jelek, sehingga harus mengulang ujian pagi ini. Padahal sebelumnya saya tidak pernah terlalu ambil pusing dengan berapa angka pada lembaran - lembaran kertas yang dibawa pulang oleh Malika dari sekolah. Jika nilainya bagus, artinya dia mampu mengerjakan soal dengan baik, hanya saja saya harus memastikan bahwa mampu saja tidak cukup, tapi dia harus paham apa yang dipelajari. Sebaliknya jika nilainya jelek, saya tidak pernah marah atau memberikan hukuman. Kami biasa meng-evaluasi dan melihat kembali, kenapa nilainya bisa jelek. Apakah ada kesulitan yang dihadapi Malika di sekolahnya. Tapi pagi ini berbeda, rasanya kesedihan saya bertambah - tambah karena saya merasa tidak mampu membantu Malika untuk dapat memahami pelajaran Matematika, which I hate so much since I was a kid.

Saya tidak ingin Malika seperti saya saat kecil, yang cenderung cuek terhadap apapun yang disuguhkan oleh guru di sekolah saya. Padahal jika saya ingat - ingat, sekolah tempat saya belajar masih jauh lebih baik daripada sekolah negeri tempat Malika menempuh pendidikan saat ini, yang kecenderungan guru - gurunya tidak begitu memperdulikan masing - masing individu. Harusnya saya bersyukur saat itu, tapi nyatanya saya termasuk ke kategori anak yang malas dan tidak suka dengan pelajaran di sekolah. Saya hanya ingin Malika jauh lebih baik dari saya, tidak harus berprestasi dengan menempati 10 nilai terbaik di kelas, atau memenangkan olimpiade Matematika. Saya hanya ingin Malika lebih baik dari saya.

1 Dekade Bertumbuh Bersama Malika Sang Pemberani

Dear Malika, my very brave girl..
Saya mengenalmu sudah cukup lama, dan mengenalmu dengan cukup baik. Yup, kamu adalah seorang gadis cilik, bernama Malika. Ya, gadis cilik yang umi kandung selama 9 bulan dan umi lahirkan melalui operasi cesar. kamu tumbuh pesat, secepat angin bertiup di kala musim hujan mulai datang. kamu telah menjadi sumber kekuatan terbesar sepanjang saya hidup sepuluh tahun terakhir ini. kamu bahkan mengajarkan banyak hal yang tidak diajarkan oleh kedua orangtua dan guru-guru bahkan masyarakat di sekitar.

Awalnya Umi menginginkan lahirnya anak laki - laki, entah kenapa.. bukan karena Umi tidak menginginkan anak perempuan. Namun setelah kamu lahir, mata ini akhirnya kemudian dibuka oleh kehadiranmu. Dimana anak laki - laki dan perempuan tidak ada beda, mereka sama sama mahluk yang layak untuk bertumbuh, berbahagia, menjadi dirinya sendiri, serta mendapatkan cinta dan kehidupan yang layak.

Sejak kamu dilahirkan, kamu hidup dalam kesederhanaan. Saat itu kita tidak memiliki rumah sendiri, kita menumpang di rumah orangtua Abi, almarhum ayah-mu. Dan kami bersyukur untuk itu, meskipun hidup bersama - sama begitu banyak orang tidaklah mudah untuk dijalani. Disitulah kehidupan-mu pada akhirnya dimulai.

Kamis, 02 Maret 2017

Mencari Pasangan Yang Mau Menerima Status HIV Kita

source : pexels.com
Salah satu kekhawatiran terbesar seseorang yang terinfeksi HIV adalah mencari pasangan. DIsaat kebanyakan orang mengkhawatirkan status social, pendidikan, harta, relasi dan banyak hal lain. Kami yang terinfeksi HIV lebih khawatir tentang persoalan penerimaan status kesehatan. Kebanyakan, termasuk saya, pasti worry banget ditolak atau ditinggal Karena status HIV.. tapi kayaknya ada juga sih yang cuek – cuek aja, mungkin dia gak segalaw saya yang haus akan jodoh (apaan sih, Hahahahaha).

Dulu saat baru mengetahui bahwa saya terinfeksi HIV, saya memutuskan untuk tidak terlalu focus dengan urusan percintaan. Eh, emang dasar ya manusia.. “Aku tak apaaa.. tanpa cinta..” nyatanya, diperhatiin dikit sama orang lain, langsung baper (kebawa perasaan). Saya mulai menjalin hubungan dengan 3 orang pria di 3 tahun awal saya mengetahui status HIV. And guess what, saya memilih untuk berhubungan dengan mereka yang hidup dengan HIV saja. Main aman bahasanya mah, saya gak perlu khawatir dengan adanya penolakan, saya juga gak perlu mengajari mereka apa itu HIV AIDS dan lain sebagainya Karena mereka pun menjalani hidup yang sama dengan saya.