Sabtu, 09 Januari 2021

Rest In Peace Tina

Saya tidak pernah lupa saat Tina pertama kali mengetuk pintu rumah kami di Bukit Pamulang Indah 12 tahun lalu. Rambutnya panjang, tubuhnya tinggi kurus. Dia datang sendiri, dengan sebuah mobil kijang kotak jaman dulu berwarna biru kalau saya tidak salah ingat. Saya memandang Tina dengan tatapan setengah tidak percaya, dan itu wajar. Karena siapa yang bisa kupercaya saat itu, informasi mengenai HIV dan AIDS yang kumiliiki, nol besar.

Malam hari sebelum pertemuanku dengannya, Abet baru mendapatkan diagnose HIV di RS Puri Cinere. Sayangnya dia tidak bisa mendapatkan perawatan di sana karena di th 2009 tidak banyak rumah sakit yang memahami penanganan pasien HIV. Kami pulang paksa, dan aku bingung setengah mati. Tapi kemudian Tina datang.

Dia mengaku bahwa dirinya adalah junkie, persis seperti Abet. Pakai putauw, disuntikkan dan kecanduan. Meskipun begitu, Tina tidak pernah memakai putauw bersama Abet. Dia tau Abet, junkie dari Blok F. Tina kalau tidak salah anak Blok C. Selain mengakui dirinya adalah Junkie, dia juga mengaku bahwa dirinya terinfeksi HIV. Sama seperti Abet dan saya. Tatapan tidak percayaku padanya runtuh mendengar pengakuannya. Posisi dudukku berubah dan aku mendengarkan nasihatnya.

Kamis, 31 Desember 2020

Refleksi Akhir Tahun 2020

Hidup dengan HIV tentunya tidak pernah menjadi pilihan setiap orang. Beberapa orang terinfeksi karena memiliki aktifitas seksual yang tidak aman, beberapa lainnya menggunakan narkoba suntik secara bergantian tapi ada banyak juga yang tidak tahu bahwa dirinya berada dalam lingkaran resiko; yakni para ibu rumah tangga yang tertular dari pasangannya. Kesemuanya memiliki bayang – bayang yang sama, setelah dokter menyampaikan diagnosa HIV kepada mereka. Itu adalah stigma dan diskriminasi.

Ketakutan itu nyata, karena stigma dan diskriminasi secara tidak sadar telah menjadi bagian dari diri masyarakat Indonesia. Anggapan bahwa HIV adalah vonis kematian, bahwa orang yang terinfeksi HIV adalah aib bagi keluarga dan masyarakatnya, serta seseorang yang terinfeksi HIV tidak lagi layak mendapatkan hak yang sama untuk hidup karena ia menular dan berbahaya.

Tanpa kita sadari, stigma inilah yang kemudian membunuh orang dengan HIV secara perlahan; bukan virusnya. Stigma membuat kami takut untuk datang ke layanan kesehatan, takut untuk menjadi diri sendiri, takut untuk pulih dan mengkonsumsi Anti Retroviral secara teratur. Karena apalah artinya sehat saat kami tidak bisa kembali menjadi bagian dari masyarakat. Stigma dan diskriminasi sangat nyata dan lebih berbahaya dari pada virus HIV itu sendiri. HIV memang membuat kekebalan tubuh kami melemah dan menjadi rentan akan segala jenis penyakit. Namun Stigma diskriminasi memiskinkan kami, membuat kami tidak mampu dan kehilangan kehidupan.

Kamis, 06 Agustus 2020

Cinta Yang Mengubah Hidupku Part #28

Sekarang setiap kali jam istirahat kuliah, Baskoro selalu menghampiriku ke kelas. Dan dia akan mengikutiku ke kantin, makan di sebelahku dan berusaha untuk terus mendekatiku. Bukan kali pertama dia mencoba sekuat tenaga karena dia melakukannya hampir setiap saat. Sebetulnya aku bisa saja menolaknya dengan halus, tapi Baskoro tidak melakukannya dengan cara yang membuatku jengah. Dia laki laki yang sangat sopan dan teman yang menyenangkan untuk diajak ngobrol.

Aku memutuskan untuk membuka diri untuk menjadi temannya. Dia adalah seorang Taurus yang menghabiskan waktu remajanya di Bogor. Perawakannya tinggi kurus, terlalu tinggi dan terlalu kurus sehingga kalau aku berjalan di sisinya terlihat sangat aneh. Baskoro kemudian aku panggil dengan awalan Mas karena tentu dia seniorku di kampus dan nampak sangat berwibawa meskipun saat semakin lama sering jalan bareng dia suka cengegesan juga.

Aku mulaia memberi sinyal positif untukk berteman dengannya dengan mengijinkannya mengantarkanku pulang ke rumah meski dengan motor tuanya yang kurang begitu nyaman aku naiki. Ya, aku takut motor itu tiba tiba ambruk atau mogok. Aku juga mulai membalas pesan singkatnya meskipun tidak begitu antusias. Aku merasa aku masih berhubungan dengan Abet dan aku tidak ingin mengkhianati hubungan kami.

Rabu, 05 Agustus 2020

Cinta Yang Mengubah Hidupku Part #27

“Hei” suara di kejauhan sana terdengar sangat ku kenal baik.
“Lho, ABET??”

Aku mencubit lenganku sendiri untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan mimpi. Aw sakit! Ternyata bukan mimpi, karena suara di seberang sana kembali memanggil.

“Hei, aku ga punya banyak waktu nih. Kamu lagi ngapain?”
“Lagi tidur-tiduran di kamar. Hmm kamu kabarnya gimana?”
“Menurutku kalau di  penjara kabarnya gimana?”
“Ih kok gitu jawabnya?”
“Ya masa aku bilang baik? Apa iya dipenjara aku bisa baik-baik aja. Eh, selamat ulang tahun ya. Sudah terima suratku?”
“Eh, iya. Makasih ya. Sudah.. kenapa sih suratnya pakai bahasa inggris terus?”
“Supaya gak bisa dibaca sipir penjara atau napi lain kalau ketahuan. Gak akan dimarahin sih tapi malu aja. Masa dipenjara mellow”

Selasa, 04 Agustus 2020

Cinta Yang Mengubah Hidupku #26

Di kampus aku sangat menikmati hari hariku yang baru. Jarak antara aku dan Abet, meskipun dalam kondisi yang tidak begitu menyenangkan ternyata cukup menyehatkan pikiranku. Aku sangat menikmati materi pelajaran yang diberikan, meskipun tidak lebih mudah dari pelajaran semasa SMA. Tapi paling tidak, aku tidak menggunakan seragam dan tidak berada di tempat ini seharian. Aku bebas berekspresi dan merasa telah masuk ke dalam gerbang pendewasaan diriku.
Meskipun begitu, kebingungan tidak lantas hilang dan tenggelam. Keberadaan Baskoro yang sungguh baik pribadinya cukup menganggu pikiranku. Aku tidak membalas pesan singkat yang dikirimkannya kemarin. Aku juga tidak menulis surat untuk Abet yang biasanya langsung kuberikan kepada Uni untuk diberikan saat kunjungan keluarga mereka di minggu berikutnya.

Saat jam istirahat kuliah tiba, aku tidak bernafsu makan. Rasanya aku tidak ingin keluar kelas, mungkin aku bisa membaca buku yang aku bawa di tas. Tapi sayangnya kelas ini sungguh dingin dan AC-nya tidak boleh dimatikan karena beberapa saat lagi akan ada perkuliahan. Bisa kena marah petugas kampus jika aku main mematikan AC di ruangan.

Lantas dengan langkah yang berat, aku turun menuju ke kantin dan aku menemukan Baskoro yang membawa sepiring kue dengan lilin. Di sekelilingnya kudapati teman – teman seangkatanku tersenyum manis. Ah ya, aku bahkan baru ingat ini tanggal 13 Oktober. Setelah meniup lilin, aku berjabat tangan dan meladeni cipika cipiki dari semua temanku. Aku duduk dan menikmati sepiring kue yang sebelumnya kuambil dari tangan Baskoro. Dia duduk di sampingku. Aku merasa berhutang jawaban sms.