Kamis, 31 Desember 2020

Refleksi Akhir Tahun 2020

Hidup dengan HIV tentunya tidak pernah menjadi pilihan setiap orang. Beberapa orang terinfeksi karena memiliki aktifitas seksual yang tidak aman, beberapa lainnya menggunakan narkoba suntik secara bergantian tapi ada banyak juga yang tidak tahu bahwa dirinya berada dalam lingkaran resiko; yakni para ibu rumah tangga yang tertular dari pasangannya. Kesemuanya memiliki bayang – bayang yang sama, setelah dokter menyampaikan diagnosa HIV kepada mereka. Itu adalah stigma dan diskriminasi.

Ketakutan itu nyata, karena stigma dan diskriminasi secara tidak sadar telah menjadi bagian dari diri masyarakat Indonesia. Anggapan bahwa HIV adalah vonis kematian, bahwa orang yang terinfeksi HIV adalah aib bagi keluarga dan masyarakatnya, serta seseorang yang terinfeksi HIV tidak lagi layak mendapatkan hak yang sama untuk hidup karena ia menular dan berbahaya.

Tanpa kita sadari, stigma inilah yang kemudian membunuh orang dengan HIV secara perlahan; bukan virusnya. Stigma membuat kami takut untuk datang ke layanan kesehatan, takut untuk menjadi diri sendiri, takut untuk pulih dan mengkonsumsi Anti Retroviral secara teratur. Karena apalah artinya sehat saat kami tidak bisa kembali menjadi bagian dari masyarakat. Stigma dan diskriminasi sangat nyata dan lebih berbahaya dari pada virus HIV itu sendiri. HIV memang membuat kekebalan tubuh kami melemah dan menjadi rentan akan segala jenis penyakit. Namun Stigma diskriminasi memiskinkan kami, membuat kami tidak mampu dan kehilangan kehidupan.

 

Kerentanan Perempuan dengan HIV pada Kekerasan

Pada konteks perempuan yang hidup dengan HIV, pintu gerbang tindak kekerasan terbuka di depan mata kami.  Kami mendapat label perempuan nakal atau bukan perempuan baik – baik saat kami terinfeksi HIV. Keluarga dan masyarakat menyudutkan kami dan menganggap kamilah yang membawa malapetaka kepada keluarga, Tidak ada yang pernah tahu, bahwa banyak diantara kami para perempuan mendapatkan HIV dari pasangan; para suami.

Tindak kekerasan yang didapat bukan hanya dari keluarga dan masyarakat. Kami juga mendapat kekerasan dari pasangan karena HIV-nya. Mulai dari kekerasan fisik, psikis dan ekonomi. Dengan budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia, perempuan kemudian dianggap tidak layak mendapatkan penghormatan dan hak nya hanya karena memiliki HIV. 

Yang paling menyedihkan, kami harus memenuhi kodrat sebagai perempuan yakni menikah, melahirkan, menyusui dan menjadi perempuan yang sempurna di mata masyarakat. Sedangkan perempuan dengan HIV tidak pernah punya pilihan saat bicara tentang fungsi biologis dan ketubuhan. Sampai hari ini masih begitu banyak layanan kesehatan yang tidak berpihak pada hak perempuan HIV untuk memiliki anak, melahirkan secara normal ataupun menyusui meskipun kami sudah memenuhi syarat medis yakni menjalani terapi ARV, CD4 memiliki nilai yang sesuai dan Viral Loadnya sudah undetectable. Kebijakan Pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) yang dibuat oleh kementerian kesehatan pada akhirnya hanya menjadi wacana semata, tidak pernah benar – benar diimplementasikan di layanan kesehatan. Dan tantangan ini masih terjadi, nyaris di banyak kota kabupaten di seluruh wilayah Indonesia.

Saya dan Infeksi HIV

Terinfeksi HIV adalah fase hidup yang tidak mudah bagi saya dan keluarga. Tentu saya membutuhkan waktu untuk beradaptasi menghadapi semua perubahan yang datang. Termasuk stigma dan diskriminasi yang tidak pernah saya undang. Kini di akhir tahun 2020... menjelang tahun ke-12 hidup dengan HIV, setiap harinya saya berdamai dengan kehidupan. Karena menghadapi HIV dan berdamai dengannya jauh lebih mudah daripada melawan stigma diskriminasi masyarakat. Meski hidup tidak pernah selalu adil selama 12 tahun terakhir. Tapi saya memilih untuk melawan dan bertahan. 

Saya memutuskan untuk mengkonsumsi Anti retroviral. Terapi yang membuat hidup saya lebih baik, lebih sehat dan lebih produktif. Saya memutuskan untuk melawan semua stigma negative yang terus orang sematkan kepada kami. Bahwa kami tidak mampu, bahwa kami tidak bermoral. Saya melawan itu semua dengan membuktikan kepada semua orang bahwa saya sehat dan tidak menularkan kepada orang lain. Bahwa HIV tidak mengurangi nilai saya sebagai manusia.

Keluarga dan masyarakat di sekitar tidak lagi menjadi gangguan bagi saya. Stigma dan diskriminasi tentu tetap ada di sekitar, kita tidak akan pernah bisa benar – benar mengenyahkannya dari pandangan. Namun saya sudah tidak peduli dengan itu semua. Yang paling penting saat ini untuk kehidupan saya adalah kesehatan dan kebahagiaan keluarga. Saya kini berfokus pada apa yang bisa saya lakukan untuk keluarga dan masyarakat, bukan pada masalah yang ada di sekitar.

HIV dan Perjuangan melawan Ketidakadilan

Saya mengawali perjalanan membantu orang lain setelah terinfeksi HIV dengan menjadi pendamping sebaya bagi sesama orang dengan HIV. Ada kekuatan dan semangat besar yang luar biasa terasa saat mendampingi teman – teman odha kembali pulih serta membantu keluarganya untuk bersama menerima kondisi tersebut.

Perjalanan itu kemudian terus bergerak saat saya memutuskan untuk bergabung dengan Ikatan perempuan Positif Indonesia (IPPI) jaringan nasional perempuan yang hidup dengan HIV dan terdampak HIV; serta bekerja di Indonesia AIDS Coalition (IAC). Keduanya menjadi rumah untuk saya bertumbuh dan belajar.

Bersama IAC, saya mendapatkan ruang untuk memahami bahwa keadilan begitu mahal harganya sampai harus kita rebut dan perjuangkan. Saya mendapatkan pengalaman melakukan upaya – upaya advokasi dan berjuang bersama begitu banyak aktivis HIV untuk keadilan teman – teman odha di Indonesia.

Bersama IPPI, saya belajar memahami diri serta hak saya sebagai perempuan. Berawal dari sanalah kemudian saya memahami kerentanan perempuan akan HIV, kerentanan perempuan HIV akan kekerasan dan bagaimana penting untuk berkumpul dan melakukan upaya perubahan sebagai bentuk perlawanan. 

IPPI memberikan kesempatan kepada lebih banyak perempuan untuk memahami dirinya, kesehatan seksual dan kesehatan reproduksinya. Sesama perempuan dalam organisasi ini saling memberikan penguatan dan pemberdayaan. Sampai di satu titik kita tidak lagi hanya memikirkan diri sendiri, tapi saling memikirkan dan menolong sesama perempuan. 

Saya tidak ingin masyarakat melihat saya hanya sebagai perempuan dengan HIV yang melakukan kerja – kerja di lingkup HIV saja. Saya ingin sekali membuktikan kepada diri saya sendiri, yang mungkin akan menjadi inspirasi bagi orang lain bahwa saya juga mampu melakukan begitu banyak hal yang orang lain pikir tidak mampu dilakukan oleh perempuan dengan HIV seperti saya.

Di Bandung, saya dan suami membuka sebuah kedai kopi selama tiga tahun terakhir ini. Sebuah kedai yang bukan hanya ditujukan untuk menambah pemasukan serta meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Tapi kami setuju, bahwa kedai ini kami bangun untuk menjadi ruang yang inklusif bagi semua kelompok. Sebuah ruang yang aman, bebas dari pertentangan akan keberagaman, ruang pertemuan yang akan mengawali banyak kebaikan.

Satu hal penting yang sering terlupakan oleh semua orang yang terinfeksi HIV, keluarganya sampai kepada layanan kesehatan adalah persoalan kesehatan mental. Terabaikan karena dianggap tidak tidak terlihat dan terlalu membahayakan. Selama dua belas tahun terakhir ini, saya juga berusaha berdamai dengan kondisi kesehatan mental. Menulis di Blog dan Art Theraphy membantu proses pemulihan saya. Selama empat tahun terakhir, saya memilih untuk melakukan terapi menggunakan seni dengan menggambar mandala. Hal ini tidak hanya membuat saya pulih dari situasi penuh tekanan dalam keseharian hidup tapi juga membantu saya untuk menerima bahwa semua emosi yang saya rasakan adalah valid.  

Pada akhirnya, setelah 12 tahun saya mendapatkan kesempatan terbaik untuk melanjutkan hidup dengan produktif, dan saya tidak ingin menyia-nyiakannya. HIV memberikan saya kesempatan untuk merefleksikan diri, melihat kembali ke sekitar dan tentunya lebih menjaga kesehatan serta menghargai kehidupan. 

Hidup sebagai perempuan dengan HIV di Indonesia tidak akan mudah. Lingkungan sosial, keluarga bahkan Negara mungkin tidak pernah adil dan berpihak kepada kami. Namun tetap hidup dan berjuang adalah pilihan yang saya ambil dengan terus mengkonsumsi ARV dengan teratur, menjaga kesehatan dan menjalani kehidupan sebaik mungkin. Dan bila memungkinkan, berjuang untuk sesama. 

HIV mungkin akan terus ada di dalam darah sampai para peneliti di luar sana menemukan penyembuhnya. Tapi virus ini tidak akan mengurangi nilai saya sebagai manusia, begitupula dengan teman teman yang terinfeksi HIV di luar sana. Mungkin memang hidup kita semua akan berhenti sejenak. Mungkin akan terasa sesak dan gelap di awal, tapi kita semua pasti bisa melalui ini. Karena sesungguhnya cahaya terang itu ada pada setiap kita, dan pada proses perjalanan menemukannya kita hanya perlu duduk sejenak dan menerima bahwa ada situasi yang tidak bisa kita ubah namun bisa kita buat menjadi lebih baik.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar