Rabu, 11 Maret 2015

Rumah Sakit; Rumah Untuk Sehat Bagi Sang Sakit

sumber : google.com
hayoo, saya mau tanya, Siapa yang pernah berada di Rumah Sakit lebih dari 12 jam (setelah subuh, hingga matahari akan terbenam) atau harus bolak balik ke rumah sakit seumur hidup? Nah, pertanyaan ini tentunya bukan untuk mereka yang dirawat inap ya? Melainkan untuk yang sedang pengobatan atau Rawat Jalan. Mungkin beberapa dari teman teman akan mesem mesem senyum, karena merasa pernah merasakan hal yang sama. Atau mungkin langsung menggeleng karena biasanya ke Rumah sakit hanya untuk mengantar keluarga yang mau berobat saja, lalu langsung pulang, tidak sampai menunggu seharian. pengantar saja bisa lelah, apalagi pasien yang harus mengantri, lalu menunggu, diperiksa

sumber gambar : google.com

Pengalaman itu saya rasakan ketika mengetahui saya terinfeksi HIV 6 tahun yang lalu, dan saat saya masih tinggal di Tangerang Selatan dan berobat di Jakarta. it feels not good, trust me, rasanya gak enak banget. tentunya pengalaman yang saya bagi di tulisan kali ini, mungkin juga dirasakan oleh banyak pasien dengan penyakit tertentu, yang harus datang ke dokter spesialis dengan pemeriksaan yang banyak serta antrean yang super panjang. Dan mungkin juga banyak teman ODHA lainnya yang sepakat dengan tulisan saya. sesekali menganggukan kepala sambil bergumam, "iya, saya juga pernah begini"

ok. Here's the story.  Sewaktu masih tinggal di rumah mama, Saya berobat 'setiap bulannya' di sebuah Rumah Sakit pemerintah di bilangan Jakarta Selatan. Rumah Sakit tersebut merupakan satu satunya rumah sakit pemerintah yang menyediakan layanan HIV AIDS. Kalau di wilayah Jakarta lainnya, bisa ada 3 sampai 4 RS, di Jaksel ini sayangnya cuma ada satu. Dan, kami yang tinggal di Tangerang Selatan, Ciputat, Pamulang Bintaro dan sekitar sana, sangat tidak mungkin mengakses layanan HIV ke RSUD di tangerang karena jaraknya yang begitu jauh. Sejak tahun 2009 saya menjadi anak asuh dokter dokter di RSUP Fatmawati (ah, disebut juga deh). Saya sebetulnya suka sekali dengan RS ini, karena lingkungan RS yang bersih dan nyaman untuk pasien datang berobat. Namun ada beberapa kekurangan di beberapa pelayanan. ehem, sebelum saya melanjutkan, tulisan ini sama sekali gak ada maksud menjatuhkan siapapun ya. Mereka (cs cs saya) yang berobat ke RS ini, pasti ngalamin hal yang sama, tapi gak ditulis aja.

Biasanya saya harus bangun pagi pagi buta, berangkat pukul 6, karena jarak dari Tangsel menuju RS yang letaknya di Cilandak, Jakarta Selatan itu sekitar satu jam (dalam kondisi macet). Sehingga saya harus tiba pukul 7 atau maksimal pukul 8, supaya bisa daftar tanpa antri. Daftar untuk pasien tunai terbilang sangat mudah, karena tentunya dengan kocek yang kita miliki, kita bisa langsung menikmati layanan yang kita mau. Tapi bayangkan kalau harus menggunakan Jaminan ini dan itu. Mereka sudah ada di halaman Rumah sakit, sebelum RS itu buka. Tempat pendaftaran pasien berada di Gedung Poliklinik. Setelah mendaftar, pasien HIV (saya) akan mendapatkan lembar yang ditujukan untuk membayar. Tempat Pembayarannya terletak di gedung yang berbeda, tidak jauh memang, hanya jalan kaki 2 menit, sampai. Biaya yang harus dibayarkan untuk 1 pasien, saat itu sebesar 67 ribu rupiah. Biaya itu digunakan untuk konsultasi 1 orang dokter saja. Jadi kalau pasien HIV punya masalah tambahan seperti Tuberculosis atau toksoplasma dan harus bertemu dengan dokter spesialis TB atau penyakit dalam, akan dikenakan biaya yang sama, dikalikan berapa orang dokter yang akan kita temui. Setelah membayar, barulah saya melangkahkan kaki ke klinik HIV yang gedungnya berbeda lagi, tidak jauh, hanya 1 menit perjalanan, yaa..kalau jalannya agak lambat bisa makan waktu 7 menit seperti kultum.

Setelah membayar, kita akan mendapat bukti pembayaran 2 rangkap. Yang berwarna putih akan dipegang oleh saya sebagai pasien, rangkap selanjutnya berwarna hijau diberikan kepada suster yang menjaga di meja depan di klinik tempat saya berobat. Setelah itu kita akan diminta menunggu, karena harus menunggu berkas / buku status pasien datang, dan tentunya menunggu sang dokter tiba. tapi jarang kok, dokter datang terlambat. Biasanya pukul 9 tepat, dokter kami sudah memulai layanannya. Persoalannya adalah, tempat penyimpanan berkas pasien berada di Ruang Arsip, yang terletak di Poliklinik, dan suster di klinik HIV harus menunggu sekitar 30 menit hingga 1 jam, jika berkasnya tidak sulit dicari. Tidak jarang juga, berkas lama datangnya, seperti jodoh. Nah, biasanya setelah saya tiba di RS, mendaftar, membayar dan tiba di klinik, itu memakan waktu selama 1 jam. sehingga biasanya pukul 8.30 saya sudah siap bertemu dokter.

Jika Berkas tiba dengan cepat, pukul 9 tepat kita sudah bisa bertemu dengan dokter. lagi lagi, Sayangnya hanya ada 1 orang dokter yang menangani puluhan pasien, saya sempat berfikir, mengapa tidak ada 2 atau 3 dokter, sehingga pasien pasien tertentu yang tidak membutuhkan konsultasi panjang lebar, dapat dilayani dengan lebih cepat. tapi kan saya bukan direktur rumah sakitnya. Jadi, bayangkan, kalau kita datang kesiangan, kita bisa bertemu dokter lebih siang lagi, karena menunggu antrian pasien yang minimal curhat dengan dokter sekitar 15 - 30 menit. Biasanya, kalau semua lancar sejak awal, saya sudah bisa mendapat resep antiretroviral (ARV) sekitar pukul 10 atau maksimal 11 siang. Sehingga, saya bisa langsung meluncur ke apotik yang letaknya di gedung poliklinik, untuk mendapatkan ARV tersebut. ARV ini gratis ya gaess, kita gak perlu bayar 1 rupiah pun. yang harus dibayar hanya jasa konsultasi dokter sajah.


Persoalan selanjutnya. Apotik untuk pasien tunai hanya ada 1 di RS kesayangan kita semua itu. Semua pasien dari seluruh poliklinik yang membayar tunai akan mengambil obat di tempat ini. Bayangkan jika kita terlambat sedikit saja, sudah ratusan manusia yang mengantri untuk dilayani. Nah, jika pukul 11 saya menaruh resep ARV saya di apotik (plus kartu register nasional HIV yang juga harus diserahkan), biasanya saya akan menerima obat, minimal, 1 jam kemudian, saya pernah baru mendapatkan ARV (yang tidak diracik) pukul 3 sore, artinya saya menunggu sekitar 4 jam lamanya . Sampai hari ini saya tidak tahu jawabnya, kenapa mereka melayani kami begitu lama. Sehingga sampai suatu hari saya merasa, saya berada di RS dari pukul 8 pagi hingga 4 sore (hitung hitung, 8 jam lamanya). Kalau saya harus menebus obat bentuknya racikan untuk anak, jangan harap kita bisa dapat di hari yang sama, kita harus kembali esok hari. Saya mulai merasa tidak sehat mendapat layanan seperti ini. Hingga akhirnya Tuhan menjawab doa saya, dan mempertemukan saya jodoh yang berdomisili di Bandung, dan akhirnya kami semua pindah ke bandung.

Dengan ijin dokter, dan proses administratif perpindahan pasien yang harus wajib saya lalui, akhirnya saya pindah resmi dari RS tersebut ke Bandung. 1 bulan pertama di bandung saya masih memiliki stock obat. Sehingga saya masih memiliki waktu berfikir, kira kira saya mau akses ARV dan mendapat konsultasi rutin ke RS apa ya? lalu saya memutuskan untuk ke RS Hasan Sadikin.
 
its honestly, hmm totally different. Bahasa Jawanya, sejujurnya, sangat berbeda.. apanya? semuanya. Here's the process, begini prosesnya. Pukul 8.30 pagi Saya datang membawa surat rujukan, dan setumpuk dokumen yang saya bawa dari RS sebelumnya ke klinik yang berada di satu gedung tersendiri. Di bagian penerimaan pasien saya didata, kemudian membayar administrasi sebesar 25 ribu rupiah, lalu saya diminta menunggu. Tidak lama, sekitar 30 menit, saya dipanggil oleh petugas, untuk timbang berat badan, lalu masuk ke ruangan dokter. Ada 4 orang dokter dalam satu ruangan dengan sekat sekat pemisah. hmm, saya mulai bergumam.. persis seperti yang saya harapkan. Karena saya terhitung pasien baru, walau sudah 5 tahun menjadi pasien HIV di RS sebelumnya, saya harus mengikuti SOP (Standar Operasional Prosedur) yang berlaku di tempat tersebut. Sehingga saya harus bertemu dengan dokter lainnya, untuk wawancara awal, hanya ditanya mengenai riwayat, dan beberapa urusan yang memang sifatnya personal. Hanya sekitar 10 menit, dengan dokter, 30 menit bertemu konselor, lalu saya diberikan resep obat. Resep tersebut lalu saya berikan 'langsung' kepada petugas yang ada persis didepan petugas administrasi pendaftaran dan pembayaran. hanya hitungan detik, saya sudah mendapatkan ARV di tangan saya, dan sekitar pukul 10 saya sudah bisa sarapan pagi di sekitar RS. Dan tulisan ini hanya memakan 1 paragraf. Dan hingga bulan ini, saya paling lama, berada di klinik Teratai RS Hasan Sadikin Bandung, sekitar 1 1/2 jam lamanya. 

Saya berusaha untuk menghargai setiap tempat yang saya pijak, menghargai segala aturan dan kebiasaan yang diterapkan disana. Namun setelah pindah, saya merasa sangat diuntungkan, karena saya dapat melakukan aktifitas lainnya, seperti mengurus anak, bekerja, mengurus rumah, berolahraga serta bersenang senang. Sehingga saya selalu bermimpi, bahwa layanan HIV di Indonesia tidak menjadi berbelit belit. Memang pendataan pasien dan proses konseling tidak bisa diukur dengan waktu, harus tepat dan teliti. Namun Layanan satu pintu, mulai dari pendaftaran, pembayaran, pemeriksaan, konseling hingga pengambilan obat dapat dilakukan di tempat yang sama di waktu yang sama. Lalu, saya sebagai pasien, merasa lebih sehat dan memiliki banyak waktu untuk kembali ke masyarakat, tidak merasa, karena saya sakit, saya harus seharian berada di rumah sakit, pengecualian jika ada persoalan khusus yang mengharuskan kita menjalani pemeriksaan ini dan itu.

Jadi, jika layanan satu pintu ini dapat diterapkan. Maka Rumah Sakit dapat menjadi Rumah untuk sehat bagi sang sakit. Bukan malah Rumah yang membuat saya tambah sakit. Sekian curhatan saya, semoga setiap layanan kesehatan dapat memberikan layanan terbaik dan maksimal kepada pasiennya. Karena khususnya bagi pasien HIV, kami akan ke rumah sakit seumur hidup, sehingga sangat penting untuk menjaga konsistensi dan mood pasien, agar tetap merasa bahagia dan tidak mengeluh 'adehhh lama banget yaaa..' Karena saya sering mengukur diri saya menjadi lebih sehat, adalah saat selalu bersemangat setiap bulannya pergi ke rumah sakit.

Salam Hormat saya kepada seluruh staff dan dokter di Klinik Wijaya Kusuma RSUP Fatmawati.
Miss you all, terima kasih untuk 5 tahun yang luar biasa :)

Ps.
Maaf kalau catatan ini agak membosankan, karena hanya ada satu gambar, itupun saya comot dari google.com; jujur saya memang tidak bisa menampilkan gambar gambar layanan layanan yang saya sebut sejak paragraf pertama, karena apa.. karena saya gak punya fotonya. Hehehe *peace*

17 komentar:

  1. Salam kenal mbak. Hmm, saya tergelitik untuk berkomentar. Kebetulan saya adalah apoteker yang pernah PKL disalah satu RS pemerintah di Surabaya. Dan, memang pelayanan untuk pasien yang menebus ARV dipisah .. Tidak perlu mengantri dengan ratusan resep lainnya, itupun dalam sehari bisa puluhan ODHA yang datang. Kalau semua RS bisa seperti itu begitu nyaman ya mbak. Mungkin Mbak Ayuma bisa memberikan saran via website/blog RS F? Siapa tahu di kemudian hari bisa satu pintu juga:).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Mbak Dian.
      kebetulan selain sebagai pasien dulu saya pernah bertugas sebagai pendamping ODHA di klinik tempat saya akses laykes. Dan kami sudah mengusulkan sejak lama, namun entah kenapa pihak RS tidak menyetujui. Jadi semua ter-pusat, (Mungkin) supaya proses pelaporan mereka jauh lebih mudah atau tidak memusingkan.. namun pasien harus bolak balik ke banyak tempat mulai daftar sampai ambil obat kan lelah juga ya. Tapi saya mau coba lagi, sebagai pasien yang pernah 5 tahun jadi anak kesayangan disana, saya mau bersurat kepada direksinya ah. terima kasih sarannya mbak :)))

      Hapus
  2. Aku pernah rawat jalan pasca operasi pengambilan kista di rahim. Duuuh, Yu ternyata nunggunya aku ga seberapa, ya. Dateng jam 12 atau 13an gitu, nyerah setelah jam 15an dokter yang aku tunggu ga dateng2 karena mendadak ada operasi. Akhirnya pulang aja dan baru kontrol lagi minggu depannya. Ga nahan duduk lama-lama dengan rasa nyeri di perut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hadeuhhh.. itu pasti gak enak banget ya teh efi!
      bisa bisa pasien pada ogah balik ke RS hanya karena layanan yang memang super lama. bukannya pingin di-spesial-kan, tapi apakah ada solusi untuk itu, aku juga masih berharap.

      Hapus
  3. Aku pernah diopname di RS lantaran operasi pemasangan pen... Alhamdulillah aku belum pernah merasakan bolak-balik selama 12 jam di RS hanya untuk mengurusi administrasi dan segala sesuatunya... Nggak terbayang tuh gimana stres-nya ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak Rita, kasian sekali kalau sampai pasien yang harus opname dan mendapatkan pelayanan yang lebih serius, masih harus menunggu lama, saya takut membayangkan apa yang akan terjadi pada si pasien.

      Hapus
  4. Kenapa yah kak namanya Rumah Sakit, kenapa ngge Rumah Sehat aja? hehe

    heu, urusan ke rumah sakit ini emang nge-BT-in, akuu pernah tuh nunggu hampir seharian cuma buat konsul beberapa menit doang -__- k puskesmas juga samanyaah, kadang itu sih yang bikin males periksa kalo lagi sakit, kalo mah ngga kepaksa2 amaat..
    *ini kok jadii numpang curhat di sini, tapi sih smoga ajaah ke depannya pelayanan kesehatan lebih okee lagi..

    Alhamdulillah yah kak, pindah ke bandung selain dapet udara baru, urusannya juga dipermudah :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaaaaa, kita makanya jangan sampai sakit..
      hehehe atau pakai baju baja supaya gak ada kuman virus dan bakteri masuk ke dalam tubuh.
      ciat ciat ciat!!! hahahaha...

      Hapus
  5. Kalo pengalaman sy di RSUD lamaaa, mak.. Tapi sekarang ternyata di swasta juga ketularan lama, hehe..
    Mendingan di swasta tapi siih, karena dokternya tepat waktu..

    Salam kenal, mak. 😘 cepet sembuh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga Mak, alhamdulilah saya sehat sehat selaluu! :)
      iya RS Swasta keuntungannya adalah para dokter selalu tepat waktu. walau harus mengeluarkan kocek lebih tebal.

      Hapus
  6. Waaah ribet ya Mak. Masalahnya pilihan lain minim sekali utk beli obat dan kontrolnya. Pernah baca teman yang harus ambil surat pernyataan penyandang disabilitas di RS, ya ampun kasian deh, bolak-balik ke sana ke mari, naik tangga, turun tangga. Begitu pun pasien BPJS di sebuah RS, urusan bisa berhari2, bolak-balik, belum lagi kalo menghadapi petugas yang ogah2an. Memang ya di negara ini, layanan di RS-RS harus diperbaiki. Alhamdulillah sekarang lebih mudah ya Mak ... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya alhamdulilah saya dan keluarga dimudahkan rejekinya, sehingga tidak ada kesulitan untuk melakukan pembayaran ini dan itu. Tapi kalau lihat dari jamannya ada SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), hingga Jamkesmas, Jamkesda dan Jam jam yang lainnya.. sebetulnya memang meringankan karena pasien tidak perlu membayar, tapi menjadi lebih sulit, lebih lama, lebih ribet.. karena hal terkait administratif yang ngejelimet.

      iya mak, alhamdulilah di Bandung sekarang lebih mudah akses pengobatan :))

      Hapus
  7. wah ribet banget ya mak. tapi aku sih belum pernah mengalami seperti itu padahal aku juga berobat jalan ke rumah sakit pemerinath setelah operasi penagngkatan rahim dan pakai askes

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal mak, semoga sehat selalu dan dimudahkan pemulihan kesehatannya..
      Walau saya tahu pakai askes juga kadang kadang ngantrinya menguji kesabaran. :))

      Hapus
  8. Namanya orang sakit emang harus diberi pelayanan sabaik mungkin :))

    BalasHapus
  9. mba ayu punya wa atau no telp.
    saya mau tanya2x boleh?

    BalasHapus
  10. mba ayu punya wa atau no telp.
    saya mau tanya2x boleh?

    BalasHapus