Jumat, 17 Februari 2017

Keputusan Menyusui dan Tidak Menyusui pada ibu Hamil HIV+

sumber : pexels.com
Satu bulan terakhir ini saya dibuat bingung setengah mati, oleh dokter, oleh kebijakan pemerintah dan tentunya bingung oleh diri sendiri. Kebingungan ini mengenai keputusan menyusui dan tidak menyusui yang hingga tulisan ini diposting di blog, saya masih berusaha membulatkan hati. 

Pasti banyak yang bertanya-tanya kenapa saya sebingung itu? Alasan utamanya Karena saya hidup dengan virus HIV selama 8 tahun terakhir ini. Maka segala keputusan yang saya ambil terkait urusan kesehatan, dan kebaikan orang lain yang terdampak (dalam hal ini bayi saya nanti) harus saya putuskan sebaik dan sematang mungkin.

Mungkin banyak juga yang kemudian bertanya, memangnya kalau sudah terinfeksi HIV gitu boleh hamil? Terunya kalau sudah hamil memangnya boleh menyusui, bukankah nantinya akan menularkan kepada bayi yang dikandungnya? Jawabnya bisa dan boleh, boleh hamil.. boleh menyusui.. TAPI, syarat dan ketentuan berlaku ya. Maksudnya, ada persyaratan khusus yang wajib dipenuhi oleh sang ibu dan dan pasangannya, saat hendak merencanakan untuk mempunyai anak. Persyaratannya diantaranya adalah yang terinfeksi HIV wajib untuk menjalani terapi ARV minimal 6 bulan, tidak dalam kondisi AIDS (memiliki banyak penyakit penyerta), jumlah kekebalan tubuh / CD4 nya diatas 350 dan jumlah virus HIV dalam tubuhnya tidak terdeteksi. Pastikan kita mengkonsultasikan semua hal yang saya jelaskan di paragraph ini kepada dokter, jangan mentang – mentang sudah baca dan paham.. main ambil keputusan sendiri ya.

Baca ini dulu yuk : A healthy pregnancy is possible for people with HIV (Maap bahasa Inggris)

Singkat cerita, saya dan pasangan saya yang (alhamdulilah) tidak terinfeksi HIV ini merencanakan dengan baik dan matang kehamilan saya. Karena kami menginginkan keluarga yang sehat dan berkualitas, saya sebagai yang terinfeksi HIV tetap sehat, suami dan anak tidak tertular HIV dan juga tetap sehat tentunya. Saat ini, usia kehamilan saya sudah memasuki 23 minggu, hampir 6 bulan ya. Kalau ditanya rasanya ya sama persis seperti ibu hamil lainnya, yang membedakan hanya saya harus mengkonsumsi Anti Retroviral Terapi untuk menjaga agar bayi saya tidak tertular HIV semenjak di dalama kandungan hingga lahir nanti.

Lalu bagaimana dengan Keputusan Menyusui dan Tidak Menyusui tadi? Nah itu dia. Sebetulnya dalam pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak yang dibuat oleh kementerian kesehatan, tertulis dengan jelas bahwa boleh ibu HIV menyusui bayinya jika ibu menjalani terapi ARV, tidak dalam kondisi AIDS (memiliki banyak penyakit penyerta), jumlah kekebalan tubuh / CD4 nya diatas 350 dan jumlah virus HIV dalam tubuhnya tidak terdeteksi. Disamping itu, bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV nantinya akan diberikan profilaksis (obat pencegahan berupa, 1 jenis ARV) selama masa penyusuan dilakukan yang mana tidak boleh lebih dari 6 bulan, serta tidak boleh di mix dengan makanan dan susu formula.

Lalu apa yang bikin bingung? Kami (saya dan suami) tentunya bukan hanya mempersiapkan kehamilan ini dengan baik, tapi juga mau memberikan yang terbaik bagi si bayi yang akan dilahirkan nanti. Salah satunya adalah kami ingin sekali anak kami mendapatkan ASI, meskipun hanya 6 bulan lamanya. Lalu dalam rangka mempersiapkan yang terbaik, kami datang ke kelas laktasi yang diselenggarakan salah satu klinik di Bandung. Kami mencari informasi sebanyak – banyaknya sampai kami rasa yakin betul, bahwa segala sesuatunya akan berjalan aman dan lancar.

Kemudian kami juga bertemu dengan beberapa dokter yang biasa menangani HIV di Kota Bandung, mulai dari dokter anak dan dokter tempat kami biasa curhat untuk meyakinkan diri kami lagi bahwa tekad kami bulat untuk memberikan ASI kepada si bayi. Keraguan muncul saat ternyata diluar dugaan saya, dokter anak tidak merekomendasikan pemberian ASI, dia tidak ingin ada resiko sekecil apapun meskipun kondisi si ibu baik. Malamnya setelah bertemu dengan sang dokter saya menangis, sambil memeluk suami saya. Saya sedih sekali Karena saya berharap dokter tersebut tidak sepemahaman dengan apa yang saya pelajari, dan bahkan sudah menjadi ketentuan dari kementerian kesehatan. Lalu kami bertemu dengan dokter lainnya, yang memberikan pencerahan bahwa dia mendukung penuh keputusan saya. Karena pada dasarnya, jika semua persyaratan medis diikuti dijalani dengan benar, dan saya memastikan metode pemberian ASI dilakukan dengan tepat, maka semestinya tidak ada keraguan lagi. Hati saya sedikit tersenyum dan lega dengan kabar ini.

Suami meskipun sudah ikut kelas laktasi terlihat masih sedikit bingung, tapi mendukung keputusan saya dengan segenap hati. Sampai hari ini kami sama – sama berusaha mempersiapkan yang terbaik bagi bayi kami saat lahir nanti, termasuk komunikasi dengan dokter terkait profilaksis ARV yang akan dikonsumsinya setelah dilahirkan nanti. Bahkan dokter saya menyarankan saya untuk menjalankan shalat istikharah agar keputusan yang saya ambil nanti, siring dengan ridho Sang Maha Pencipta. Ahhh, bismillah ya man teman.. semoga kami bisa mengambil keputusan yang paling baik buat si jabang bayik nanti. 

Nah, bagi kawan - kawan perempuan yang hidup dengan HIV, yang (kebetulan) baca blog saya, jangan pernah lupa kalau kita punya kesempatan yang sama meskipun tetap memiliki resiko yang sangaaattt kecil. Kunci terpenting dari semuanya adalah kepatuhan ARV, sehingga kondisi kekebalan tubuh kita stabil dan dapat memproteksi tubuh dari bahaya virus HIV, dan juga si virus tentunya tidak akan terdeteksi. Komunikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan keputusan kesehatan anda dengan dokter ya, saya bukan dokter soalnya. Thanks for read!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar