Kamis, 13 Agustus 2015

Sebuah Kekuatan Maaf

sumber : google image
Hari itu jatuh pada 1 Syawal 1436 hijriah penanggalan umat Islam, masyarakat Indonesia menyebutnya dengan tradisi lebaran, dalam kitab suci Al-Qur'an disebut sebagai Idul Fitri. Sebelumnya, 30 hari lamanya, umat Islam menjalankan ibadah puasa. Makna puasa pun kemudian diartikan banyak oleh setiap insan. Namun secara hakiki, berpuasa yang dimaksud adalah menahan segala hawa nafsu, melatih diri untuk dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Sehingga makan dan minum yang tentunya dilakukan dengan sebuah hawa nafsu pun sebaiknya dihindari, termasuk segala aktifitas berbumbu nafsu, atau keinginan manusia. Tahun ini saya tidak berpuasa sebulan penuh. 6 hari karena rutinitas bulanan haid, dan 24 hari-nya karena kondisi tubuh yang tidak memungkinkan untuk berpuasa.

Namun, apakah tanpa berpuasa, saya lantas tidak ikut berlatih untuk memperbaiki diri. Well, itu rahasia saya sama Tuhan, gak akan saya tulis di blog ini. Tapi saya dapat merasakan indahnya bulan suci Ramadan, dengan mengurus anak dan suami yang alhamdulilah sebulan penuh, menjalankan ibadah tersebut dengan khusyu. Meski tidak berpuasa, nuansa ramadan tidak hilang dalam gubuk kecil kami.

Pada malam terakhir ramadan, saya dan suami serta anak menggunakan mobil travel pulang kerumah orangtua saya di daerah Pamulang, Tangerang Selatan. Tradisi mudik yang dilakukan bangsa Indonesia sejak lama, terpelihara dengan sungguh indah, juga kami jalani. Pulang. Kepulangan saya tahun ini, bukan yang pertama. Karena jarak Bandung - Pamulang yang tidak jauh, ada beberapa kali kesempatan kami pulang. Namun pulang kali ini, ada tujuan besar, saya ingin memaafkan diri saya sendiri. Selama 6 tahun lamanya, saya menyimpan marah yang tidak terluapkan. Marah yang kemudian sedikit mereda menjadi rasa tidak ingin tahu atau bisa saya bilang acuh. Kepada siapakah gerangan rasa marah itu?

Adalah sebuah keluarga yang saya kenal sekitar tahun 2001, saya kenal mereka, karena saya dan sang putra kesayangan mereka saling mencintai. Benih cinta itu terus tumbuh, hingga kami memutuskan untuk menikah di tahun 2005. Perjalanan cinta kami tidaklah dapat dibilang mulus, begitu banyak drama romantika ala remaja dan pahitnya hidup. Meski saya sadar, rasanya ada restu yang tidak tulus dari banyak pihak memandang pernikahan kami. Singkat cerita, 2007 saya melahirkan anak perempuan yang hebat dan luar biasa. Lalu pada tahun 2009, pria ini meninggal karena sakit. Sebuah drama kehidupan yang masih membuat saya terperangah. Begitu cepat dan tidak bisa ditebak kemana arahnya.

Hari ini, 6 tahun setelah kepergian pria yang menjadi sahabat saya dalam hidup selama 8 tahun lamanya, saya kemudian memutuskan untuk memaafkan. Bukan pria itu. Melainkan memaafkan keluarganya. Memaafkan sang ayah dan ibu, mertua saya. Yang selama 6 tahun begitu acuh, begitu dingin, entah mengapa. Seperti ada batu besar di pundak mereka, setelah kepergian putra kesayangannya. Saya tidak pernah bertanya mengapa mereka menjadi sebeku kutub utara dan selatan. begitupun mereka. Sekalipun mereka tidak pernah menyampaikan alasan mengapa mereka diam. Tapi saya ikhlas. Karena hari itu, akhirnya saya memutuskan untuk membuka pintu maaf saya, bagi mereka, dan bagi diri saya sendiri.

Kami berkunjung ke rumah mereka yang tidak jauh dari rumah orangtua saya. Sebelumnya saya sudah mengatur janji dengan anak perempuan mereka, kakak ipar saya. Saya katakan padanya, bahwa kami bertiga akan datang kerumah di hari kedua lebaran. Pertemuan itu membuka hati dan pikiran saya. begitu banyak yang berubah dari Keluarga ini. Ternyata mereka sudah pindah rumah. masih di komplek perumahan yang sama, namun rumah ini jauh lebih kecil dari istana mereka sebelumnya. usut punya usut, saya dengar rumah besar berkamar banyak itu telah mereka jual untuk membayar hutang-hutang keluarga, yang saya tidak pernah tahu. Selain rumah, sang ayah, bapak mertua saya, kini sakit-sakitan. Beberapa tahun silam, dia menjalani operasi Jantung di RS Harapan kita, Jakarta. Dulu saya tahu, namun saya tidak peduli. Kini, sang bapak nampak lebih kurus dan lebih bahagia. Wajah yang saya tidak pernah saksikan sebelumnya. Dulu wajahnya begitu dingin, hingga kepergian putranya, wajahnya sedingin es. Menusuk begitu ngilu sampai ke hati saya setiap menatap wajahnya. Namun kedatangan saya hari itu, bersama cucu-nya, anak dari anak laki-laki nya, mencairkan kebekuan itu.



Kami bersalaman, lalu berpelukan. Saya menahan tetes air mata di ujung mata saya. Hari itu saya merasakan nikmatnya maaf. Terlebih bagi diri saya sendiri dan masa lalu yang selalu menghantui. Saya percaya, rasa maaf ini, akan menjadi awal yang baik bagi kehidupan kami kedepan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar