Rabu, 05 Agustus 2015

Tentang Mencintai Sang Syukur

sumber gambar : www.namasteindiadyt.com
Saya Bersyukur. Sebuah rasa yang telah lama ada terpendam, namun kerap saya resapi maknanya. Ada banyak hal yang selalu saya syukuri dalam hidup, dan rasa syukur ternyata amatlah sederhana. Sesederhana menghirup udara di pagi hari saat terbangun, merasakan gemericik air saat hujan turun dan tetesnya menyentuh kulit, atau menikmati hangatnya mentari yang dapat mengerikan pakaian. Rasa syukur saya terus dan terus bertambah setiap hari. Disaat jutaan masalah datang mendera, ribuan caci dan cibiran mengenai perbedaan sudut pandang di masyarakat. Saya memilih mengabaikan energi negatif tersebut, dan meminta tubuh serta pikiran saya, untuk terus bersyukur. Mengapa? Karena dalam sebuah perasaan syukur, terdapat nikmat-nikmat luar biasa, yang tidak dapat saya ungkapkan dengan kata, namun terasa manfaatnya dalam kehidupan.

Disaat begitu banyak orang masih harus bergelut dengan persoalan HIV yang ada di sekitar mereka. Memelihara rasa khawatir tentang stigma dan diskriminasi HIV, tidak akan membantu. Saya memilih berdamai dengan itu semua. 6 tahun sudah saya berjanji pada sang empu tubuh, tidak akan menyakiti diri sendiri dengan stigma diskriminasi terhadap diri sendiri. Saya memilih menukar energi negatif menjadi sebuah tindakan penyembuh, yakni mendengar lebih banyak cerita, melakukan lebih banyak aksi, dan memberi lebih banyak peluk. Sehingga, setiap harinya, HIV tidak lagi menganggu saya. baik pikiran, perasaan atau raga, mereka semua telah berdamai dengan sang virus.

Seorang pria, dengan penuh keberanian dan kasih sayang, hadir dalam hidup saya. Hidup yang penuh drama dan dilema. Hidup yang kadang disertai pedih dan kelelahan tanpa akhir. Dengan uluran tangan dan sebongkah cinta, dia menerima saya sang perempuan yang hidup dengan HIV. Lantas rasa syukur macam apa yang harus saya enyahkan. Saya semakin bersyukur dan bersyukur. Pria ini, dengan kesederhanaannya, mempelajari HIV sebagai sebuah bagian dari kehidupannya yang baru. Menjajaki, dan mendalami, seperti apa hidup bersama saya yang hidup dengan HIV. Kini, pria tersebut bukan hanya telah menjadi suami saya.

doc. pribadi

Pria yang sudah menjadi sahabat, teman berpelukan, penyedia pundak di kala lara, kawan berbagi tawa ini, kemudian tidak pernah marah, tidak pernah lelah, atau terkejut dengan kejadian kejadian yang tidak biasa, yang seringkali datang silih berganti mengisi kehidupan kami. Pria ini, dengan tulus, menjaga dan mencintai saya, sang perempuan yang hidup dengan HIV. Dan hingga kini, tangannya dengan lembut, menjaga kami untuk tetap dalam rasa syukur yang sama, dan dengan terbuka.. sang tangan menerima lebih banyak kebahagiaan dari semesta. Rasa syukur ini, kini telah mengirimkan begitu banyak energi dalam kehidupan kami. Energi untuk tetap kuat dalam berdiri, untuk kencang dalam berlari, untuk sabar saat tersudut, untuk sadar saat harus berhenti, dan untuk memelihara kasih agar rasa syukur ini tetap ada. Terima kasih suamiku, terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar