Senin, 12 Maret 2018

Berdamai dengan Diskriminasi HIV di Masa Lalu

Sembilan tahun lalu suami saya meninggal karena infeksi tubuh karena virus HIV yang sudah terlambat kami tangani. Beberapa bulan sesudahaa kepergiannya saya menjadi kosong dan tidak tahu harus melakukan apa. Infeksi HIV yang juga kemudian ada dalam tubuh saya ini membuat saya benar - benar bingung. Kebingungan ini tentunya berhubungan dengan kondisi saya sepeninggal suami, saya kembali tinggal bersama kedua orangtua saya dan saya tidak memiliki pekerjaan. Awalnya saya masih saja bergantung pada mama dan papa pada banyak hal, sampai akhirnya saya merasa malu dan berfikir saya harus bekerja. Tapi kemampuan apa yang saya punya? tidak ada. Kebetulan saya memiliki sahabat yang rumahnya tidak jauh dari rumah ibu saya tinggal. Dia adalah kakak kelas saya yang adiknya adalah teman seangkatan saya.

Angga banyak membantu pemulihan saya secara psikologis, He knows me so well sampai entah bagaimana tanpa saya minta dia menawarkan sebuah pekerjaan di tempatnya bekerja. Sebuah sekolah musik yang kebetulan membutuhkan admin. Tugasnya tidak berat, tapi juga tidak bisa dibilang mudah. Saya adalah garda depan sekolah musik di cabang Pamulang itu. Saya menerima tamu, mempromosikan sekolah ini, harus hapal product knowledge, mengurus administrasi iuran bulanan siswa, mengurus daftar kehadiran guru dan murid, dan banyak lagi tugas saya yang setelah saya tuliskan ternyata banyak ya Hahaha. And yes its not easy, but I get used to it! Saya mulai bekerja tidak lama setelah suami saya meninggal. I believe I'm a fast learner.

Hari hari berjalan dengan baik dan menyenangkan. Saya pribadi yang mudah membaur, meskipun lingkungan musik bukan hal yang lazim bagi saya. Namun Angga sahabat saya banyak memberikan saya masukan dan informasi penting yang bisa saya gunakan sebagai acuan dan pegangan. Dengan cepat saya mengenal semua murid, orangtua serta guru - guru yang menjadi komponen yang saling berkaitan satu sama lain di sebuah akademi atau sekolah. Kepolosan saya pada saat itu membuat saya menjadi pribadi yang apa adanya dan bercerita pada banyak pihak tentang situasi saya itu. Soal kematian suami saya, soal saya yang terinfeksi HIV dan lain sebagainya. Saya tidak merasa bahwa itu sebuah kebodohan, karena saya pikir HIV tidak menular dengan mudah dan membahayakan jadi saya tidak merasa bahwa cerita dan keberadaan saya di sekolah tersebut menjadi sebuah petaka.

Beberapa guru, termasuk Angga yang sebelumnya sudah mengetahui sama sekali tidak bermasalah dengan situasi ini. Mereka dengan santainya tetap ngobrol dengan saya, berinteraksi layaknya manusia dengan manusia lainnya, bahkan tidak jarang kami nongkrong bareng dan berbagi makanan atau sekedar jabat tangan dan pelukan antar teman kerja. Sampai petaka yang tidak saya duga itu akhirnya datang.

Setelah kurang lebih sembilan bulan saya bekerja disana dengan gaji yang tidak banyak namun cukuplah untuk saya memulai hidup. Ternyata saat saya mulai merasa nyaman dengan situasi yang cukup tersebut, sekolah mengetahui bahwa karyawannya ini terinfeksi HIV. Dengan segera mereka memanggil saya pada suatu kesempatan setelah semua kelas berakhir. Hingga hari ini saya tidak mampu melupakan kejadian itu.

"Ayu nanti setelah selesai kelas terakhir, kami dari Management mau berbicara dengan kamu ya."

Saya yang merasa santai dan tidak curiga dengan kondisi apapun mengiyakan. Angga dan office boy yang saat itu sudha menjadi CS saya tersebut juga berada di sana. Gelagat mereka terasa sangat aneh namun saya tidak sadar dengan gelagat tersebut saat itu. Mengambil tempat di salah satu ruangan semua berkumpul disana, ada kepala cabang, manager (yang juga adalah istri dari kepala cabang), Angga serta sang Office Boy.

"Sebelumnya kami memohon maaf atas pertemuan yang tiba - tiba ini. Tapi kami merasa perlu untuk melakukan ini." sang kepala cabang membuka pembicaraan sambil sesekali menatap sang istri atau sang manager.

"Kami mengetahui bahwa kamu sakit ayu. HIV ya. Kami menyesal dengan hal itu, namun kami dari management cabang memiliki kebijakan. Demi kebaikan bersama, kenyamanan murid untuk belajar dan para orangtua serta guru yang bekerja disini, Ayu tidak bisa bekerja disini."

Suasana hening, semua terdiam. Saya diam, oksigen di ruangan tersebut perlahan menipis membuat perut saya skait dan mata saya menghasilkan butiran butiran air yang saya tahan agar tidak tumpah. Saya belum berkomentar, atau lebih tepatnya saya tidak tahu harus berkomentar apa. Sang kepala cabang melanjutkan pembicaraan.

"Kami tidak mau memecat kamu, jadi sebaiknya setelah akhir bulan kamu bisa mengajukan surat pengunduran diri."

Mereka cuci tangan, tidak mau dilihat buruk karena telah mendepak seorang karyawannya yang terinfeksi HIV. Karyawannya yang dianggap membahayakan dan membuat tidak nyaman semua orang yang berada di sekolah musik tersebut. Air mata saya tidak tumpah, saya bertahan dan mengiyakan semua permintaan management. Angga, sang sahabat saya memeluk saya erat dan mengantarkan saya pulang sampai kerumah. Dia juga tidak banyak bicara. Saya sadar dia hanya pekerja yang tidak memiliki banyak kekuatan untuk memperjuangkan keberadaan saya. Saya pulang kerumah dan menangis dalam dekapan bantal. Saya tidak berani bercerita kepada bapak dan ibu saya sampai hari ini. Yup, sampai tulisan ini dibuat kedua orangtua serta saudara saya dirumah tidak mengetahui bahwa sembilan tahun lalu anaknya pernah mendapatkan diskriminasi di tempatnya bekerja.

Saya rahasiakan hal itu selama berbulan - bulan sampai akhirnya saya mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai pendamping / Buddies bagi satu LSM HIV AIDS di Jakarta. Disana saya percaya bahwa saat satu pintu tertutup, Tuhan pasti memiliki alasan yang begitu kuat mengapa pintu tersebut ditutup. Ada alasan yang jauh lebih baik, lebih besar menanti saya di depannya. Bergabungnya saya menjadi salah satu team buddies yang menolong banyak orang terinfeksi HIV saat itu menjadi pintu gerbang kehidupan saya yang lebih baik hingga ini. Selain saya banyak belajar dan menolong sesama, saya juga mengumpulkan pundi pundi kekuatan baru untuk membangun tembok kehidupan saya yang satu persatu tengah runtuh. Saya bangkit, dan kembali menjadi manusia yang lebih kuat.

Sama seperti kejadian pintu kesempatan yang tertutup bagi saya tersebut, sembilan tahun setelahnya Alam semesta yang terus berputar in seketika berhenti dan memandang saya lirih. Memberikan saya kesempatan lagi untuk maju kedepan dengan perasaan damai. Malam tadi saya diajak untuk belajar kembali makna memaafkan diri sendiri dan memaafkan orang - orang yang telah menyakiti saya di masa lalu tersebut.

Persahabatan saya dan Angga tidak berhenti meskipun saya sudah tidak bekerja bersamanya di tempat yang sama. Angga kini sudah menikah dengan seorang perempuan yang baik hatinya yang tentunya juga kemudian menjadi sahabat saya. Setelah beberapa tahun menikah mereka dianugerahi seorang putra yang sangat lucu dan menggemaskan. Dawai namanya, nama yang layak di sematkan pada seorang anak dari seorang bapak yang menggilai alat musik gitar. kami termasuk rutin bertemu, karena mereka tinggal di Pamulang (masih di rumah yang sama) dekat dengan kediaman ibu saya. jadi jika ada kesempatan saya pulang, saya pasti akan main kesana.

Kemarin secara tiba - tiba Tya, istri Angga menghubungi saya melalui whatsapp dan mengatakan bahwa mereka sedang ada di Bandung. Saya dengan semangat mengajak mereka bertemu, saya tidak berhenti berputar putar dengan pertanyaan kalian nginep dimana, mau kemana aja, sama siapa aja, naik apa, pulang kapan, dan pertanyaan terakhir adalah ajakan untuk bertemu. Meskipun kemarin jadwal saya dan febby cukup padat.

Tya yang saya yakin juga semangat dengan kehadirannya di Bandung tersebut menjawab pertanyaan saya dengan perlahan karena beberapa jawabannya rasanya tidak mengenakan karena ternyata mereka datang ke Bandung dalam rangka refreshing sekolah musik tempat Angga bekerja. Tempat yang sama dimana smebilan tahun lalu saya pernah mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan. Saya sempat berfikir dan menimbang banyak hal, apakah saya harus menemui Angga dan Tya, toh saya bisa menghampiri mereka dirumahnya saat saya pulang ke Bandung. Di hati saya yang lain mengatakan, ayolah yu.. masa orang-orang yang menyakiti kamu masih mampu melemahkanmu setelah sembilan tahu ini. Hingga akhirnya semua pikiran yang berkecamuk tadi meruntuhkan tembok keangkuhan dan keegoan saya.

"Pap nanti setelah urusanmu beres, kita ke Dago Pakar Utara ya. Ada Angga, Tya dan anaknya... dan teman - teman dari sekolah musik xxx."

Suami saya mengiyakan tanpa tedeng aling - aling, dia berusaha supportif terhadap istrinya meskipun dalam perjalanan saya sempat menyampaikan keraguan saya, kemarahan dan kebencian saya pada dua orang yang akan saya temui disana. Sang kepala cabang dan sang Istri. Tapi sebuah pemberian Abet tujuh belas tahun silam mengingatkan saya, this is the right time to Forgive, Ayu. 

Kami berangkat dari tempat suami bekerja sekitar pukul sembilan, saya membawakan tiga belas buah kopi khas Kozi sebagai hantaran silaturahmi. I dont know how I act my self when I meet them, but I try my best to be nice. Lokasi mereka menginap lumayan jauh dari tempat kami berangkat ataupun dari rumah kami , yakni di Dago Pakar Utara. It takes 30 minutes to get there with no traffic. Sesampainya di sana, Angga dan Tya menyambut kami. Pintu dibuka dan semua orang sedang berkumpul di ruang tengah Villa tersebut. Wajah - wajah yang familiar dalam ingatan saya tersenyum dan menyambut kami dengan hangat. Jantung saya berdegup kencang dan saya melihat sosok keduanya. Dua orang yang saya bicarakan sejak awal artikel ini. Saya melangkahkan kaki, menyambut uluran tangan mereka dan menyapa mereka.

That second, I can finally forgvie them.

Pagi ini saya terbangun dengan kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata, rasanya berat mengangkat badan untuk turun dari tempat tidur kalau bukan untuk membantu Malika mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Kami baru tiba dirumah sekitar pukul 12 malam dan malam tadi adalah salah satu malam baik yang akan saya ingat. Rasanya saya harus membuat daftar orang-orang yang harus saya ajak bertemu untuk mendamaikan diri saya. Have you forgive yourself today?

Ps. Sekolah Musik dan nama - nama yang bersangkutan saya tidak di sebutkan demi kebaikan dan kenyamanan bersama. I know that things arent goin well none years ago, I know I have to fight for my rights but I decide not to do that. Hari ini saya memaafkan semua yang terjadi di masa lalu saya dan akan hidup dengan lebih baik. 

1 komentar:

  1. Ahh, Teteeh.
    Buat aku ini beraaaaaat.
    Akupun ingin berdamai, tapi...... :(

    BalasHapus