Selasa, 22 Januari 2019

Its Okay To Be The Lonely Clown

Dalam sebuah kesempatan berharga, saya dan teman - teman Kokomang diundang oleh Sundea untuk dapat menghadiri pertunjukan musikal bertajuk The Lonely Clown yang diselenggarakan oleh Bandung Philarmonic, The Red Nose foundation yang diadakan di Bandung Independent School. Karena lokasinya cukup jauh dan di daerah rawan kemacetan, maka saya, Yessy dan Malika berangkat lebih awal. Kekhawatiran saya soal acara yang diadakan sore akan selalu terhalang hujan deras terbukti, it is rain. Tapi hujan, jauh dan macet gak bikin kami patah arang. Kami tiba di BIS tepat waktu dan bertemu dengan teman lainnya yang sudah janjian di sana juga, ada Kiki, Andrea beserta mamanya.

Pertunjukan ini dibuka dengan nada nada yang mengalun dari Bandung Philarmonic. Its very nice to hear a beautiful sound after such a long time. Lalu kemudian, munculah tokoh - tokoh dalam pertunjukan ini, ada Clubithia, Balkie, Ring a ding dan red notes. Keempatnya adalah badut badut yang dibekali dengan alat alat yang menjadi kemampuan dan bakatnya masing - masing. Sayangnya red notes tidak sepakat bahwa benda yang dimilikinya mampu memberikannya kemampuan atau bakat tertentu. Hanya sebuah stick panjang, tak ada guna. Selain itu, red notes adalah satu - satunya badut yang tidak berhidung merah. Hidungnya biru. Satu - satunya warna merah yang menempel di tubuhnya adalah lambang nada di bagian dada. He is a different clown

Tidak ada alasan bagi red notes untuk tidak bersedih. Melihat kemampuan kawan kawan badut lainnya, red notes sempat berkecil hati. Tapi kemudian dia bangkit dan berusaha mempelajari apa yang teman - temannya mampu lakukan. Niat baik si badut berhidung biru pun pupus saat niat baiknya tersebut malah berubah menjadi petaka, setiap apa yang dilakukannya mengacaukan aktifitas teman - temannya berlatih. Red notes kembali bersedih. Namun, dalam kesedihannya, red notes menemukan bahwa tongkat panjang yang diberikan oleh peri sirkus adalah sebuah terompet. Maka sejak itu, kepercayaan dirinya kembali. Dia dapat tetap berada di sekeliling badut lainnya tanpa merasa minder karena disaat semua beraksi, red notes dapat memainkan alat musik sebagai pengiring.

Saya, kamu dan kita semua adalah the lonely clown sejak terlahir di dunia ini. Ada yang berbeda dari setiap kita. Mungkin orang orang di sekeliling kita memiliki rambut yang lurus namun kita keriting, atau yang lain bertubuh langsing kita malahan bertumbuh gempal. Kita semua adalah the lonely clown. Di tengah kemampuan semua arsitek di dunia ini, mungkin kitalah si juru masak. Atau di tengah para pelari super cepat, kita adalah sang ballerina dan musisi. Kita semua adalah the lonely clown dengan semua perbedaan yang kita miliki sejak lahir. Ciri fisik, bentuk wajah, golongan darah atau bahkan hal hal yang disematkan oleh orangtua kita sejak lahir seperti agama dan orientasi serta ekspresi gender. Kita semua adalah the lonely clown dan tak apa merasa sendiri pada awalnya.

Namun, ada kalanya kita belajar untuk berbesar hati melihat perbedaan baik pada diri kita sendiri maupun pada orang lain. The lonely clow mengajarkan kita untuk melihat potensi baik yang ada pada diri setiap orang serta mengajarkan kita untuk menghargai setiap perbedaan yang dimiliki orang lain. Bukan sebagai pembeda, namun justru perbedaan adalah kekayaan yang mungkin tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Perbedaan adalah ragam, begitu banyak pilihan, begitu banyak cerita serta pengalaman. Jika kita bisa mengindahkan setiap beda, kenapa harus selalu sama.

Terima kasih Dea, Yessy, anak - anak serta orangtua yang mendampingi. The Lonely Clown menjadi kado yang sangat manis untuk saya dan Malika di awal tahun 2019.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar