Selasa, 08 Januari 2019

Keluarga Cemara dan Patriarki di Indonesia


Kaki keseleo adalah oleh oleh yang saya dapat seusai menonton film Keluarga Cemara bersama teman – teman CS Writers club. Saking semangatnya mendapat kesempatan nobar ini, saya sampai niat untuk membawa tripod untuk berfoto. Saya tidak ingin ada yang tertinggal dan tidak ada dalam frame. Seusai berfoto di dalam bioskop yang mana ternyata seisi studio sudah tinggal kami, maka semua bergegas pergi dan saya yang terburu – buru, membawa tripod sambil melihat hasil foto terjatuh di tangga turun. Beberapa detik saya sempat tidak bisa bergerak karena shock dan kesakitan. Lucunya ini persis dengan kondisi Abah yang juga terjatuh saat sedang bekerja di proyek. Jatuhnya abah lebih sadis, meskipun saya gak yakin apakah kaki abah patah atau hanya keseleo seperti saya.

Rasanya energy dan chemistry film ini begitu meresap sampai sampai adegan jatuh saya sandingkan. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh teman – teman termasuk saya saat di beberapa adegan kami naluriah meneteskan air mata atau tertawa akibat tingkah polah Ara yang sangat polos. Film keluarga Cemara layak direkomendasikan untuk di tonton bersama keluarga.

Film keluarga cemara awalnya adalah tayangan TV yang ditayangkan di RCTI pada tahun 1996, saat itu saya baru berusia 10tahun. Kala itu saya baru saja menjadi kakak dan sejujurnya saya hampir lupa semua ceritanya di tv. Hahahaha, rasanya film vampire china yang diputar di SCTV di setiap hari Sabtu lebih menarik dan memorable. Itu karena seingat saya tayangan keluarga Cemara di stasiun TV lebih filosofis menyampaikan soal kehidupan. Soal bagaimana Abahm Emak, Euis, Ara dan Ragil menghadapi kehidupan yang kurang lebih warna nya sama dengan kehidupan kebanyakan orang Indonesia pada umumnya.

Awal tahun 2019, tayangan tv tahun 90 an yang juga merupakan adaptasi novel Arswendo Atmowiloto tersebut akhirnya diangkat ke layar lebar oleh Visinema Pictures sebagai rumah produksi, yandy Laurens sebagai sutradara dan Ernest Prakasa sebagai penulis scenario.  Banyak hal terlintas di benak saya saat mengetahui film ini dilahirkan kembali setelah 23 tahun menjadi bagian sejarah pertelevisian. Apakah filmnya akan tetap menggunakan setting dan latar belakang desa, seperti cerita di awal? Apakah akan mengikuti perkembangan jaman dengan social media dan tekhnologi.

Semuanya terjawab kalau kamu kamu dan kamu nonton filmnya. Hahaha, karena saya gak mau spoiler film sebagus ini. Ringgo yang berperan sebagai Abah buat saya cukup piawai masuk ke dalam kehidupan yang serba susah, menjadi ayah dalam Negara yang sangat patriarki. Semua sangat tercermin bahwa Abah merasa semua beban dan kesulitan dalam keluarga merupakan tanggung jawabnya. Dan jika ada masalah, maka sumbernya sudah tentu datang dari sang ayah. Sebuah pemikiran yang sulit diterima oleh nalar saya, tapi itu adalah fakta yang terjadi di Indonesia berpuluh puluh tahun bahkan setelah Indonesia merdeka.

Emak diperankan oleh Nirina Zubir. Saat awal saya sempat meragukan kenapa sosok emak yang dipilih adalah Nirina. Tapi lagi – lagi dugaan saya salah. Nirina muncul dalam sosok ibu masa kini yang dihadapkan pada begitu banyak persoalan kehidupan dan tidak bisa banyak melakukan apapun selain menjadi sosok yang patuh pada suami dan melakukan tugasnya sebagai ibu yakni menjaga anak – anak. Geregetan gak sih. Kalau saya sudah pasti gemas. Kenapa sih kalian teh sebagai Abah dan Emak kayak jalan sendiri – sendiri. Kenapa harus memilah siapa yang lebih punya kuasa atas relasi keluarga, siapa yang hanya punya sedikit kuasa. Tapi kemudian, dalam satu momen dalam film… Euis yang diperankan oleh Adhisty Zara mempertanyakan itu semua. Kenapa Abah harus memikul semua beban sendirian. Sedangkan esensi dalam sebuah keluarga  adalah team work, bukan hanya oleh ayah dan ibu melainkan juga anak – anak.



Keluarga Cemara adalah potret keluarga Indonesia yang nyata. Kuatnya symbol patriarki (ayah bekerja dan ibu mengurus rumah tangga) sebenarnya membuat saya miris. Namun sepulang dari menonton film tersebut, saya menyampaikan banyak pesan pesan penting kepada anak saya Malika tentang bagaimana film itu dapat menjadi bahan introspeksi kita as a family. Bahwa saya, dia dan papinya selayaknya lebih rutin berkomunikasi tentang apapun, bahwa apapun yang menjadi urusan keluarga ini dapat dikerjakan secara bersama – sama. Tidak ada beban yang lebih berat antara satu dengan yang lain.

Hahaha maaf ya review filmnya malah jadi bicara kenapa saya benci patriarki. But it’s the fact that this movie will open everyone eyes that family shoud work together. Jadi gimana, berencana untuk nonton film ini? Yass. Jangan lupa ajak para suaminya yaaaa buibukkk. Uhuk. Eniwey, terimakasih ya Natalia dan Visinime ID untuk kesempatannya kami bisa nonton bareng buat genk keluarga tercemar, CS Writers Club. Semoga kalian semua dapat berkah melimpah dan bahagia karena kita semua senang gratisan ahey!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar