Rabu, 10 Mei 2017

Hari ke 14 (Proses) Menyembuhkan Hati

Sumber : Pexels.com
Dalam kehidupan, saya telah bertemu dengan begitu banyak kematian. Rasanya mereka begitu dekat, begitu hangat, dan siap hadir kapan saja, Karena seiring dengan bertambahnya usia, saya semakin menyadari bahwa salah satu hal yang nyata dari sebuah kehidupan selain cinta adalah kematian. Kemanapun kita melangkah, sebahagia apapun hidup kita, kematian nyata adanya. Pada saat saya duduk di bangku kelas 5 SD, Eyang Uti (ibu dari mama) meninggal dunia; menginjak usia SMA, Bapak (ayah dari papa) meninggal dunia; Saat saya tengah hamil Malika tiga kematian dalam jarang yang berdekatan hadir.. Ibu (ibu dari Papa), Akung (Ayah dari Mama) dan Mas Adi kakak saya. Semuanya  pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada saya. Semua orang menangis histeris melepas kepergian mereka. Saya pun menangis, namun saat itu saya masih bertanya - tanya mengenai makna kematian.

Sampai di tahun 2009, Abet (ayah Malika, suami pertama saya) meninggal. Dunia saya serasa runtuh, saat orang yang menyangga hati dan kehidupan saya saat itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Membutuhkan waktu 2 tahun untuk memulihkan hati serta pikiran. Setiap sudut, benda, moment, apapun yang saya lihat dan rasakan membuat saya menangis dan merasa bahwa kehidupan tidaklah adil. Lantas bagaimana dengan Malika putri kami. Saat ayahnya meninggal, dia baru saja berulangtahun yang ke 2. Dia tidak mengerti apapun mengenai kematian. Bahkan dalam 2 tahun masa grief recovery saya, dia tidak pernah bertanya apapun mengenai kematian. Yang diingatnya hanyalah semua kenangan - kenangan manis yang membahagiakan bersama sang ayah.

Hingga 8 tahun sudah kepergian Abet, saya sudah berdamai dengan kepergiannya, saya ikhlas. Begitupun Malika yang lambat laun memahami bahwa ada sebuah moment bernama kematian yang pasti hadir dalam kehidupan. Tak jarang dia mengungkap rindu kepada sang ayah, saya hanya bisa tersenyum dan memintanya membacakan doa, karena hanyalah doa yang menjadi jembatan penghubung antara kita yang masih hidup dengan mereka yang telah tiada. Rasanya semua begitu mudah dijalani ya, ikhlas dan menerima. Tidak sampai saya kembali berhadapan dengan sang Kematian yang menjemput bayi gembul saya, Sir Miguel Arkananta 14 hari lalu. 

Menjadi seseorang yang pernah diruntuhkan dunia-nya, dan kembali merasakan hal yang sama 8 tahun kemudian membuat saya menjadi sesosok yang kembali terombang ambing dan kehilangan kepercayaan pada hidup, benarkah adil hidup ini. Setelah sembilan bulan bertumbuh bersama sang jabang bayi, merasakan 90 hari pertama dengan mual dan muntah yang maha dahsyat, menimangnya kemanapun saya melangkah pagi siang dan malam. Dan setelah lahir, mendapat kesempatan untuk melihat matanya terbuka saja tidak, dapat merasakan jantungnya berdegup pun tidak, apalagi merasakan genggaman jari jemarinya saat kuselipkan telunjukku.

Ini hari ke 14 kepergian Miguel. Insyaallah saya sudah mengikhlaskan semuanya. Namun saya masih tidak sanggup untuk bertemu orang lain dan harus menjawab seribu pertanyaan dari mereka. "wah sudah lahiran, mana bayinya, laki laki atau perempuan?" atau "kok bisa meninggal mbak, padahal gemuk sekali?" atau pertanyaan apapun yang kemudian membuat saya kembali merasa bersalah. Saya mungkin akan menjawab semuanya dengan tenang, tapi semua rasa bersalah itu akan kembali menghantui dan membuat saya tidak berani memejamkan mata di malam hari, atau membukanya saat pagi datang.

Maka saya memutuskan untuk berhenti sejenak, tidak melakukan apapun, menangis sepuasnya saat rindu, serta tidak memaksakan diri saya sendiri untuk cepat - cepat Move On. Saya berbicara dengan beberapa kawan, mendapatkan masukan serta membaca beberapa artikel mengenai Post partum Grief. Bahwa saya berhak untuk marah, menangis, mencari jawaban.. bukan karena saya tidak bisa mengikhlaskan Miguel, tapi ini adalah momen saya untuk melepaskan semua beban yang saya tidak sanggup pikul sendirian. Saya ingin menangis sekeras-kerasnya, sampai saya capek dan akhirnya bisa tertidur (karena tidur menjadi barang langka untuk saya, khususnya di malam hari). Maafkan mungkin tulisan saya beberapa saat kedepan akan penuh dengan kesedihan, dan kehampaan. Namun inilah saya dengan apa yang ada. Jika kalian melihat saya adalah sosok yang kuat dan dapat menghalau segala bentuk badai yang menerpa kehidupan, berarti kalian belum begitu mengenal saya.

Hi Miguel, 
Please pardon me that I cannot move on that fast
I'm still sad, and feel empty every time I remember your face
I know you feel happy now, no more suffer and you can breath easily
Hope I  can healing all this feeling soon.. 
Because we have that 38 weeks beautiful day together, and no one can replace that memory

I love you and I always do Sir Miguel Arkananta, Alfatihah

3 komentar:

  1. https://reconceivingloss.com

    Coba baca-baca website itu mba, support untuk ibu-ibu yang harus kehilangan buah hatinya.

    Semoga bisa membantu meringankan perasaan.

    BalasHapus
  2. dunia ini dengan kehidupannya. sakit, senyum, tawa dan sedih yang begitu menderu hanyalah sandiwara. dunia ini sandiwara tempat orang menemukan jati dirinya. ada yang menemukan jalannya dengan mudah ada juga yang menempuh jalan jauh yang berliku. kita mengatakan tuhan itu tidak adil atas diri kita. namun pada saat itu luangkannlah waktu untuk memikirkan kenapa tuhan berlaku demikian pada saya? mungkinkah dia rindu akan ku dengan teguran sakit, mungkin kah ini saatnya buat saya menghambakan diri pada keharibaaanya. apakah kita akan menukar kenikmatan dunia yang palsu ini untuk akhiratnya yang kekal. apakah anda rela menderita di dunia dan selanjutnya masuk neraka selamannya? saudara ku, dengan penuh kasih Allah S.W.T menungguh tangis mu dan ibadah mu yang sungguh sungguh... disanalah kedamaian abadi insya allah kita temukan...

    BalasHapus