Minggu, 23 September 2018

Tujuh belas Bulan Kemudian

Membuat sebuah tulisan mengenai sebuah kisah yang menyedihkan tanpa sedikitpun menitikan air mata adalah hal yang cukup menantang. Ditambah lagi tahun ini adalah tahun terburuk menulis bagi saya. Bayangkan sampai bulan ke sembilan di tahun 2018, baru 18 tulisan di blog. Jadi menulis hal hal menyedihkan selalu menjadi awal mula yang baik bagi saya. Tulisan yang kalian baca hari ini adalah tentang bagaimana saya berdamai dengan diri saya sendiri saat menghadapi post-partum depression.

Sebagaimana yang pernah saya tulis di sini, saya kehilangan putra saya setelah 40 jam dilahirkan melalui operasi cesar. Bayi berbobot tiga kilogram itu meninggal dunia karena paru - paru yang tidak mampu berkembang dengan baik. Singkat cerita, saya, suami dan anak perempuan kami harus berdama dengan kondisi kehilangan tersebut. Rasanya luar biasa gokil sih. Karena kami kan gak mempersiapkan hal tersebut sama sekali. Yang kami persiapkan yaitu kedatangan anggota baru di keluarga.

Apa yang terjadi dengan Malika?
Sebagai seorang kakak yang sudah menjadi anak tunggal selama sepuluh tahun, saya rasa ekspektasinya luara biasa besar. Dia berharap akan memiliki seorang adik yang bisa jadi temannya, baik teman belajar, olahraga, cerita dan lain sebagainya. Namun setelah sang adik meninggalkan kami semua, Malika tidak menunjukan tanda - tanda depresi seperti ibunya. Dia benar - benar menjadi dirinya sendiri. Malika yang dewasa dalam berfikir dan selalu menunjukan kepada kami bahwa kami tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Meskipun pada satu kesempatan saya tahu dia juga bersedih. Dia pernah menangis dalam pelukan wali kelasnya yang kemudian menceritakan kembali saat saya berkunjung ke sekolah. Dia benar - benar tidak  menunjukannya kepada kami, sedikitpun rasa sedihnya. Yang terjadi malah, dia berusaha untuk mengisi kekosongan hati ibunya. Dia berusaha untuk menolong merapihakn rumah, menanyakan bagaimana perasaan saya dan apa yang saya butuhkan hari itu.

Bagaimana dengan Febby?
Seperti kebanyakan laki - laki yang sejak kecil percaya mereka tidak boleh mengekspresikan kesedihan, suami saya pun seperti itu. Dia sungguh terlihat tegar, tidaka pernah membicarakan perasaanya, kesedihannya. Dia bahkan tidak mau mencoba menganggu jika saya terlihat dalam kondisi yang sangat buruk. Febby kembali ke aktifitasnya segera setelah semua terasa baik baik. Dia kembali bekerja yang secara langsung mengajak saya juga untuk tidaka terus berlarut dalam kesedihan. Hal baiknya dia selalu memberikan saya ruang untuk bersedih. Kamar menjadi ruang aman bagi saya untuk menangis dan marah. Biasanya dia benar - benar tidak akan menganggu. Meskipun  juga tidak memberikan solusi, tapi malam hari sebelum tidur sesekali dia suka bertanya apakah saya baik - baik saja, kenapa saya belum tidur, apa yang saya pikirkan. Febby juga tidak banyak menuntut saya untuk segera sembuh dari semua kesedihan ini. Tapi di satu titik saya sadar, dia juga sedih, kehilangan, kecewa marah dan semua rasa tidak nyaman sepeninggal orang yang kita sayang. Dia hanya tidak membicarakannya.

Bagaimana dengan saya?
Hmm, hari ini sudah tujuh belas bulan saya bertahan. Masih hidup, membatalkan niat untuk enggak mau melanjutkan hidup (ya, saya pernah mau menyelesaikan semuanya dengan ahh sudahlah). Masih berusaha untuk bangun setiap pagi dengan senyum dan upaya melanjutkan hidup. Melihat Malika dan Febby, mengingat mama dan papa serta orang - orang yang gak nyerah membantu saya dengan segala kegilaan setelah anak kedua saya meninggal. Hari ini rasanya jauh lebih baik. Saya sudah bisa bangun dan bekerja dengan senyum. Saya sudah bisa merasakan kembali semangat - semangat yang sempat hancur lebur dan pergi seiring dengan dimakamkannya Miguel di dalam liang lahatnya. Kini saya sedang membangun kembali tembok pertahanan saya yang jebol. Satu hal yang saya sadari hari ini. Saya bersyukur, bahwa kehilangan yang (sebenernya) sudah menjadi makanan sehari - hari saya ini menguatkan saya. Setiap kehilangan memang membuat ruang kosong baru dalam hati saya. Namun satu kehilangan juga menyalakan lampu setelah ruang kosong itu tercipta. Bahwa saya selalu diingatkan untuk tetap berjuang meskipun suatu hari nanti saya akan mati dan pergi.


Selamat istirahat ya teman. terimakasih sudah membaca tulisan saya hari ini. Sebuah catatan sebagai upaya terus menyembuhkan diri sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar