Sabtu, 09 Mei 2020

Cinta yang Mengubah Hidupku #10

Aku menekan tombol di handphoneku dengan kesal karena tiga temanku tidak kunjung datang padahal rumah mereka juga tidak terlalu jauh. Tapi kemudian aku bertanya Tanya pada diriku sendiri apa sesungguhnya yang membuatku kesal. Apakah keterlambatan teman – temanku? Atau sesungguhnya kemunculan batang hidung Abet di hadapanku barusan? Aku kemudian berusaha meyakinkan diriku bahwa dia bukan gangguan. Masa lalu sudah berlalu tidak perlu diungkit lagi. Aku harus tetap tenang karena sekarang aku ada di dalam kondisi yang lebih baik dan tentunya bahagia. Tapi, ah sialan aku gak bisa berhenti memikirkannya.

Kolam renang ini kebetulan memang baru selesai dibangun tahun lalu. Letaknya sangat dekat dengan komplek perumahanku dan karena tidak banyak kolam renang dengan desain yang bagus, maka kini masyarakat sekitar menjadi tempat ini menjadi salah satu destinasi. Tapi dari semua kolam renang yang ada di kota tempat kami tinggal, kenapa dia harus memilih kolam yang sama. Memang sih kola mini sangat asri, ada banyak pohon kelapa dan pondokan tempat konsumen duduk dibuat seperti sedang berada di pinggir pantai. Tempatnya sangat asri dan membuat kita nyaman bahkan sekalipun kita tidak berenang hanya duduk duduk saja.

Aku memutuskan untuk masuk ke dalam, membayar di kasir… memesan segelas cokelat hangat dan mencari tempat yang nyaman sebelum kolam renang ini penuh. Di area duduk sekeliling kolam aku sama sekali tidak melihatnya ataupun kedua keponakannya. Duduk di mana mereka tanyaku dalam hati? Apa aku sedang berhalusinasi? Lalu aku memilih duduk di bagian atas sehingga bisa melihat keseluruhan area kolam renang.

“Maaaff yaaaaa.. lamaa hahaha..” Tiga temanku datang ke kolam renang sambil cekikikan.
“Gak dimaafin. Kalian keterlaluan ninggalin gue sendirian!” jawabku ketus.
“Ihh kenapa sih? Kan baru telat lima belas menit aja udah ngambek.”
“Siapa suruh datang cepat cepat. Kan lu tahu kalau kita emang suka ngaret!”

Aku yang masih cemberut seperti dikendalikan oleh sesuatu yang tak terlihat langsung merubah mimic wajah saat aku melihatnya keluar dari  ruang ganti pakaian bersama dua bocah laki laki kecil itu.

Baca Cerita sebelumnya di sini

“Astagaa, itu ternyata yang bikin elu uring-uringan dari tadi?”
“Diem lu pada semuanya. Awas ya ada yang komentar!”
“Eh ganti baju yuk, gw gerah nih pengen renang!” lalu ketiga kawanku meletakan tas mereka dan meninggalkanku menuju kamar ganti karena Abet dan kedua ponakannya memilih tempat duduk persis di pondokan sebelah. Entah angin apa yang membuatku kelu dan dingin tidak bisa bergerak. Bukannya menyusul ketiga temanku untuk mengganti baju renang, aku malah sok sibuk memainkan handphoneku.

“Tama, jagain adiknya ya. Turun duluan sana, dipake pelampungnya ya! Nanti om nyusul!”

Suara itu terdengar begitu hangat kembali di telingaku dan rasanya kini suara itu makin mendekat. “Hai, ketemu di sini kita? Kok gak ikut teman temannya ganti baju renang?”. Gila memang manusia ini, kenapa dia bisa menyapaku dengan sesantai ini. Yang lebih gilanya, kini dadaku berdegup sangat kencang dan aku merasakan darah mengalir deras di sekujur tubuhku. Rasanya wajahku terbakar dan memerah.

Sementara dari kejauhan nampak teman temanku sambil tetap cekikikan berjalan ke arah pondok dengan wajah penuh kemenangan.

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar