Kamis, 26 Mei 2016

Haruskah Saya Bilang Kalau Saya HIV+?

Hidup dengan HIV bukanlah hal mudah, tentu saya berharap suatu hari akan menjadi mudah, maksudnya bukan lagi suatu masalah jika kita terinfeksi HIV dan hidup di tengah masyarakat. Lho memangnya saat ini sulit yu? Well, lets say.. for me now is not

Hidup saya lebih dari apa yang saya harapkan dahulu pada saat terinfeksi HIV. Tapi jika ditanya seberapa sulitkah menjadi seseorang yang hidup dengan HIV di Indonesia, menurut saya, yap. Kalau saya tanya kamu, bagaimana jika orang terdekatmu ternyata terinfeksi HIV. Orang terdekat bisa jadi pasangan, orangtua, anak, saudara sepupu, karyawan di kantor mu, boss mu, or even your best friend. mungkin gak kita bisa menerima mereka saat dengan terus terang they tell you they HIV+? Nahhh.. hayoooo jawabnya apa yaa.. 

Dan yang juga  gak kalah penting, perlu gak kita kasih tau ke kantor tempat kita kerja, kampus tempat kita kuliah atau rumah sakit tempat kita berobat untuk hal diluar HIV. Kira-kira bagaimana ya respon mereka kalau ternyata kita bilang ke mereka kalau kita HIV+. Apakah akan ada penolakan, atau jutru kita akan diterima dengan baik. nah, Hari ini saya akan membahas "Haruskah Saya bilang kalau saya HIV+?".

Tujuh tahun yang lalu saat terinfeksi HIV, saya sama sekali gak berfikir tentang apa yang harus saya lakukan jika ada penolakan dari masyarakat. Meskipun  saya mengetahui bahwa stigma dan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV atau ODHA, masih sangat kuat di Indonesia. Jujur, saya takut kalau ada orang yag tahu bahwa saya terinfeksi HIV, tapi (mungkin) karena saya orang yang cuek, jadi saya cenderung gak peduli sih sama omongan orang lain. Tapi juga, saya kemudian berefleksi bahwa saya hidup di dunia ini gak sendirian lho, ada bapak-ibu saya, anak saya, tetangga saya, adik-kakak saya, yang juga mungkin akan menerima dampak dari kondisi HIV saya ini. Sehingga selama tujuh tahun saya berproses dan beradaptasi bukan cuma urusan kesehatan tapi lebih luas lagi tentang penerimaan diri dan sekitar.

Orang Tua dan keluarga | Apakah mereka harus tahu? Menurut saya Ya. Karena kalau saya jadi orangtua, saya akan sangat sedih, menyesal dan marah, jika saya tidak tahu bahwa anak saya sakit dan membutuhkan bantuan, atau paling tidak support serta kasih sayang dari mereka yang telah melahirkan dan membesarkan kita. TAPI, sayangnya tidak semua orangtua, berfikir sama seperti saya. Tidak semua orang beruntung, memiliki orangtua yang mampu mengerti dan memahami situasi sulit ini. Saya pribadi akhirnya memutuskan untuk menyampaikan secara terang-terangan kepada bapak-ibu, bapak-ibu mertua serta kakak-adik dan keluarga besar mengenai kondisi saya. 

Mengapa saya memutuskan untuk bilang sama mereka? Because, I urgently need their help and support. Saat itu kondisi suami saya koma, saya gak punya uang, saya sedih dan harus mengurus anak. So I dont have any choices, dan merekalah orang-orang yang (alhamdulilah) berdiri paling tegak dan tegar saat semua persoalan di tujuh tahun yang lalu itu muncul. Tapi, situasi ini seperti yang saya bilang tadi, bisa jadi berbeda pada orang lain. Sehingga, jika kita merasa tidak perlu untuk menyampaikan kepada ortu atau anggota keluarga lainnya karena faktor-faktor khusus, mangga aja. Tapi pastikan, meskipun tidak ada mereka, you have another support system.

Pasangan (Suami/Isteri) atau Pacar | Apakah Mereka harus Tahu? Menurut saya YA BANGET. Kalau orangtua/keluarga mungkin masih bisa kita skip untuk gak kita info, tapi tidak untuk pasangan baik yang sudah menikah ataupun yang masih pacaran. Kenapa? Karena buat saya, suami/isteri adalah orang yang akan hidup sama kita, they will sleep with us, we will have an intimate relationship and ofcourse a sexual intercourse. Kalau pasangan kita ga tahu, atau sengaja kita gak kasih tahu, kita sama aja kayak Rangga, JA HAT. Resikonya tentu pasangan kita bisa terinfeksi HIV, kalau isteri kita gak tahu, bisa saja kita menularkan isteri dan anak kita. Emangnya mau, Pasanganmu terinfeksi HIV karena kebodohan kita ini. HUH, aku sih gak ya. Kalo Saya sih pasti akan bilang kalau saya ini ODHA.

Ini berlaku juga buat pacar (baik yang mau dinikahin ataupun belum jelas kedepannya). Karena sebuah hubungan yangbaik tentunya dilandaskan Kejujuran. Kalau dari awal aja kita udah bokis alias bohong, buat apa cinta ini kita pertahankan. Jadi buat teman-teman ODHA, please be fair and honest to your partner. And hey, Partner.. having a relationship with people living with HIV is fine. menikah atau pacaran dengan ODHA itu gak masalah kok, asal kita tahu bahwa kita harus melakukan hubungan seks menggunakan kondom. Gak ada penularan lain melalui kontak sosial. Gak ada bedanya menikahi ODHA ataupun mereka yang tidak hidup dengan HIV. Pengalaman saya, saat pernikahan kedua ini, dari jaman pacaran saya bilang sama calon suami saya saat itu bahwa saya ODHA. Dan Alhamdulilah, pasangan saya yang bukan ODHA, bisa menerima dengan baik, hingga akhirnya sekarang sudah mencapai usia kedua pernikahan. The thing is kami gunakan masa pacaran untuk saling memberi informasi tentang HIV, bagaimana penularan dan pencegahan, bagaimana pengobatan dan lain sebagainya.

Teman, Sahabat, dan Kerabat Dekat | Apakah Mereka harus Tahu? Menurut saya, gak harus. Kalau yang ini tentunya dikembalikan lagi kepada teman-teman semua ya, apakah kita mau, mampu dan mungkin untuk menyampaikan soal HIV kita kepada mereka. Kalau saya sih termasuk orang yang terbuka. Tapi caranya bukan dengan cerita blak-blak-an bahwa kita ODHA. 

Orang akan cenderung takut, dan bingung mau ngapain, harus bersikap seperti apa dan kekhawatiran penolakan dari lingkungan sekitar tentu pasti muncul. Cara yang lebih baik adalah dengan diskusi santai, agar teman kita juga dapat memahaminya dengan benar bahwa berteman dengan ODHA bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kalau saya biasanya pake blog untuk bercerita, nati link dari tulisan-tulisan saya kan akan di share di semua social media. teman-teman di sekitar otomatis akan membaca, dan pelan-pelan mereka akan memahami situasi si Ayu. Biasanya sih cara ini berhasil, tanpa harus berkata banyak, tulisan menyampaikan lebih banyak dari apa yang mulut saya mampu untuk ucapkan (Tsaahhhelaahh).

Masyarakat dan Lingkungan Sekitar | Apakah Mereka harus Tahu? Menurut saya tergantung situasinya. Karena kelompok ini yang biasanya paling sadis berdampak pada kami yang terinfeksi HIV. Saya jabarkan kelompok masyarakat dan lingkungan sekitar itu , it could be.. mmmm, tetangga, lalu orangtua murid di sekolah anak kita, teman arisan, teman sekolah, teman-temannya suami, teman-temannya bapak dan ibu kita, dan banyak lagi yang lainnya. So we should be very carefull with this kind of groups. lho kok gitu, memangnya mereka gigit ya? 

Gini, saya kasih contoh kasus, anak yang dikeluarkan dari sekolahnya, hanya karena orangtuanya  diketahui ODHA. buat saya sih itu sadis banget, apa coba salah si anak sampai dia kehilangan hak nya untuk belajar. Itu cuma salah satu contoh. Mau contoh lain? Ada sekolompok anak di Solo, yang diasuh oleh Sebuah organisasi HIV. Tapi ditolak warga-nya, dianggap berbahaya. Ngenes kan.. sebel banget deh kalau tahu da banya orang-orang yang gak mau baca dan belajar kalau HIV ga nular dengan mudah kok. Dan parahnya lagi yang jadi korban itu anak-anak. 

Jadi pendekatan buat kelompok ini harus rada lebih alus, dan menyesuaikan dengan kondisi di kelompoknya. Kita bisa menggunakan cara-cara seperti sosialisasi HIV di kelompok masyarakat, supaya mereka aware, jika ada warganya yang memang ternyata terinfeksi HIV, ya ga seharusnya dijauhi. Kayak saya, sampai hari ini gak mungkin lah bilang ke orangtua murid di sekolah anak saya, meskipun peluang untuk mereka tahu setelah baca tulisan ini ada juga. Tapi saya sangat berhati-hati soal itu. Termasuk kepada kelompok lain yang saya sebutkan diatas. Hal ini semata-mata saya lakukan untuk menjaga supaya lingkungan tetap kondusif. 

Perusahaan Tempat Kita Bekerja | Apakah Mereka harus Tahu? Menurut saya tergantung situasinya. Ada banyak kasus penolakan karyawan yang diketahui dia adalah ODHA. kenapa saya bilang banyak, karena saya mendapat banyak sekali cerita langsung dari yang bersangkutan. Sayapun pernah mengalaminya. Hal ini terjadi biasanya karena perusahaan tempat kita bekerja belum aware dengan informasi HIV AIDS, sehingga saat kita diketahui hidup dengan HIV, keputusan mereka adalah merumahkan karyawannya. 

Padahal mah, banyak ODHA yang bisa tetap produktif tanpa menghilangkan tanggung jawabnya dalam menjaga kesehatan. Hidup dengan HIV itu gak membatasi kita untuk bekerja, sehingga semestinya pemerintah memiliki intervensi khusus bagi perusahaan yang melakukan diskriminasi dengan merumahkan karyawan yang hidup dengan HIV. TAPI, teman-teman jangan khawatir, kalau kita gak cerita kita ODHA, gak bakalan ketahuan sih.. lha wong kita kan juga sama kayak manusia lain, PLUS kita minum obat supaya sehat terus lho. oopps.. 

Klinik atau Rumah Sakit Tempat Kita Berobat/Dirawat | Apakah Mereka harus Tahu? Menurut saya Ya. Karena ini akan berhubungan erat dengan kondisi kesehatan kita nantinya. Klinik/Rumah sakit yang saya maksud disini adalah diluar perawatan HIV, seperti pergi ke klinik gigi, atau seperti yang sedang saya jalanin, bolak balik ke dokter bedah tumor, atau cek pap smear. Pertama jika kita sakit, dokter yang memeriksa harus tahu bahwa kita memiliki kekebalan tubuh yang rendah, kita mengkonsumsi obat apa saja, kita punya riwayat penyakit apa saja. Sehingga dokternya bisa memahami dan melakukan tindakan dengan tepat. Salah satu klinik gigi favorit saya yang nerima dan ramah banget sama ODHA adalah klinik Difa Oral Health Care di Kemang. meski saya belum balik-balik lagi kesana untuk periksa gigi (karena belum punya duit, heheheh.. ampunnn), but believe me they are awesome! cobain deh, alih-alih dapat stigma diskriminasi, di klinik Difa ini kalian dapat SENYUM RAMAH dan pelayanan profesional.

Naaahhhh gimanaaa, semoga tercerahkan ya. Intinya, semua keputusan ada di tangan kita. tapi terkadang ada situasi-situasi yang harus kita pahami gak semudah itu untuk kita paksa untuk berubah, atau mampu menerima perbedaan. Semoga kita yang hidup dengan HIV bisa dengan bijak dan cerdas membicarakan mengenai status dan kondisi HIV-nya, dan teman-teman yang membaca tulisan ini juga harusnya mau lebih banyak belajar untuk memahami bahwa persoalan HIV itu bisa kita atasi bersama-sama kok. gak perlu pake kekerasan, benci-bencian, saling menghujat antar kelompok. We can do it smoothly and smart. Stay healthy, stay happy and stop stigma discrimination among people living with HIV ya! Love you all :) 

3 komentar:

  1. Ayu adalah segelintir orang yang berterus terang soal statusnya yang positif HIV. Berterus terang atau menerima kondisi mereka seperti yang Ayu alami sekarang mungkin kayaknya sesuatu hal yang baru dan terasa aneh. Mungkin edukasinya yang kurang ya. But anyway, semoga semakin banyak orang-orang seperti Ayu dan sahabat/keluarga di sekeliling Ayu. Keep inspiring ya, Ayu. Proud of you and know you :)

    BalasHapus
  2. Mbak ayu. Tulisanmu menginspirasi banyak orang. Semoga selalu sehat mbak.

    Tetaplah memberi inspirasi

    BalasHapus
  3. aku terbiasa punya banyak temen dari macem2 golongan.. gay, lesbian, transgender, tapi belum ada yg ngaku lgs apa mereka mengidap HIV ato ga.. tapi kalopun ada yg nantinya mengaku terus terang, percaya deh, aku ga akan menolak ato menjauhi mereka :). kadang, kita harus sesekali menempatkan diri di sepatu si penderita.. emgnya mau kita dijauhin org kalo sedang sakit seperti itu? kalo ga mau, ya jangan menjauhi temen yg butuh pertolongan dan support kita :)

    BalasHapus