Senin, 27 Mei 2013

Waiting Time


Saya Ingin mengajukan pertanyaan ini kepada semua orang yang baca tulisan saya. Apa yang kalian lakukan jika berada di Rumah sakit dari Jam 7 pagi sampai Jam 5 sore? Hayooo.. jawabnya apa? Saya sudah bisa membayangkan jawaban-jawaban kalian. Pasti ada yang menjawab, “jenguk teman atau saudara yang sedang sakit, berangkat dari pagi kena macet lalu jam besuknya jam 12, abis besuk sekalian aja makan siang di kantin rumah sakit, gak kerasa tau tau sudah sore”. Hehe.. atau kalaupun ada beberapa teman yang memang harus pergi ke dokter karena sakit, tapi dokternya prakteknya di RS Pemerintah yang pasiennya bejibun. Macam antri sembakow deh.. selain antri dokternya juga antri obatnya yang lama diraciknya.

Dilematik memang saat saat kita sedang sakit, ke rumah sakit bukannya sehat, tapi malah tambah sakit. Namun jika teman teman mendengar cerita teman teman yang hidup dengan HIV, yang satu bulan sekali (bahkan lebih) meluangkan waktunya untuk pergi ke RS karena memang harus. Karena harus setiap bulan ambil obat Antiretroviral (ARV), juga konsultasi ke dokter tentang perkembangan kesehatan atau memang ingin sekalian bertegur sapa dengan teman teman seperjuangan di rumah sakit tempat mereka berobat. Bagaimana jika (bayangin ya) kalian ada di posisi teman –teman. Harus sebulan sekali datang ke tempat yang paling anti kalian datangi, mencium bau aroma RS yang kadang kadang bikin sakit kepala, tapi teman2 gak bisa mengelak karena itu suatu keharusan.

Ada perasaan perasaan yang kemudian tidak bisa lagi diungkapkan oleh teman teman ODHA, karena pada akhirnya. Satu bulan sekali datang ke Rumah sakit adalah hal yang menyenangkan. Karena kemudian rumah sakit menjadi rumah kedua, teman teman odha lainnya menjadi keluarga dan kemudian seperti mendapatkan suntikan energi dan semangat baru setiap kali masa waktu ambil obat tiba. Memulai kebiasaan ini memanglah tidak mudah bagi teman teman yang baru terinfeksi HIV, biasanya mereka masih dalam keadaan berkabung karena mungkin istri/suami/pasangan/anak mereka baru meninggal karena AIDS, atau kemudian mereka juga masih berusaha menerima bahwa kini mereka hidup dengan HIV.

Ahh, saya selalu tersenyum jika mengingat masa masa itu. Lalu kemudian setelah 4 atau 5 tahun, beberapa orang akan merasa ini seperti ritual berkunjung ke rumah orangtua. Bersilaturahmi dengan dokter, petugas apotik atau petugas laboratorium yang rutin mengambil darah kita untuk pemeriksaan darah rutin. Ada binar binar bahagia saat mengingat masa masa dulu sakit, namun kemudian.. tidak terasa waktu berjalan begitu cepat sehingga HIV kini menjadi bagian dari mahluk di dalam badan yang perlu kita jaga agar tidak menganggu. Berdamai. Mengobati dan memelihara kesehatan.

Terapi ARV yang kini sudah terbukti dapat menekan jumlah pertumbuhan virus HIV dalam darah. Dapat membantu perkembangan metabolisme tubuh, mengurangi jumlah infeksi. Lantas kemudian orang dengan HIV juga bisa menikah meski pasangan mereka HIV negatif (OHIDA), mereka bisa mengikuti program pencegahan HIV dari orangtua ke anak, dan kemudian memiliki keturunan yang bebas HIV. Memang tidak pernah terfikir pada saat diawal mengetahui status HIV. Namun betapa pentingnya dukungan dan kerjasama keluarga serta kerabat dan masyarakat di sekeliling, agar kemudian pemulihan kesehatan berjalan lancar.

Griya Husada RS Fatmawati; Monday,27/05/2013 – 12:47
Picture By Google.com



1 komentar:

  1. Salut Mak. Semangat terus yaa berbaginya .... :))
    Semangat Mak patut ditiru oleh siapa pun. Banyak orang yang masalahnya sedikit saja sudah merasakannya sebagai masalah terberat sedunia, mereka tidak membayangkan harus mengonsumsi obat yang pilihan tempat membelinya tak banyak di sekitar kita ....

    Selama ini saya wira-wiri di KEB tapi baru nyadar ada blog keren yang diasuh emak keren .... TFS ... sungguh ... saya benar2 suka dengan tulisan2 di sini, sangat memotivasi :')

    BalasHapus