Kamis, 23 Mei 2013

Yes.. She's one of my fellas

sumber : pexels.com
Ini adalah tulisan saya pada tanggal 3 Februari 2011. pada saat saya masih bekerja sebagai petugas lapangan yang mendampingi teman teman yang hidup dengan HIV di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Pada saat itu saya berusaha untuk selalu mendokumentasikan hasil kerja dalam sebuah tulisan. cerita saya mungkin biasa saja, namun cukup membekas di hati. monggo dibaca :)

Rekan: Hallo, yu.. Apa kabar? Saya Mau me-refer dampingan. 
Dia sudah bersedia untuk dibantu akses dan diberikan konseling.

Saya: Baik Mas, ok kalo gitu kita Janjian aja di Rumah sakit ya.

Rekan: Thank you yah! Dia sudah tahu status sejak 2007 
dan baru kembali berobat sekarang. Mohon bantuannya ya Yu!

Saya: Siapp! Sampe ketemu ya!

Lalu saya menutup telfon dan segera berangkat menuju rumah sakit rujukan di Jakarta Selatan. Sesampainya disana saya bertemu dengan rekan saya sesama petugas lapangan, hanya saja kami berbeda lembaga. Lembaga-nya bergerak di penjangkauan untuk beberapa factor resiko khusus seperti untuk HRM (High Risk Man/Laki-laki beresiko tinggi), Waria, gay, WPS (Wanita Pekerja Seks). Sedangkan lembaga tempat saya bekerja, hanya mendampingi teman-teman yang sudah terinfeksi HIV apapun factor resikonya termasuk IDU (Injection Drug User/Pengguna Jarum sunti) dan pasangannya, juga anak-anak yang terinfeksi HIV.

Saat kami bertemu, rupanya rekan saya ini sedang bersama pacar si klien. Sedangkan si klien sendiri sedang ke laboratorium untuk tes konfirmasi HIV. Sambil menunggu kedatangannya, saya berbincang – bincang dengan rekan saya dan pacar klien saya. Si pacar bercerita, bahwa si Ane (bukan nama sebenarnya) dulu pernah punya pacar dan mereka sering berhubungan seks. Tanpa menyadari status pacarnya yang dulu, seiring berjalannya waktu Ane dan pacarnya pun putus. Selang berapa lama dari putusnya hubungan mereka, Ane mendengar kabar bahwa sang pacar adalah ODHA (Orang dengan HIV Positif). Karena panik, Ane-pun langsung memeriksakan diri dengan melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing). Dan hasilnya Reaktif.

Picture by Google.com

Singkat cerita di 2007, Ane menyadari bahwa diri-nya harus menjalani oengobatan intensif yaitu dengan terapi ARV (Anti Retro Viral). Tak lama kemudian si Ane yang sedari tadi dibicarakan pun datang. Dan saat kami bersalaman, saya melihat Ane yang dihadapan saya adalah teman semasa sekolah. Lemas rasanya, begitupun dia yang terlihat pucat pasi saat menyadari saya yang menjadi konselor-nya. Untuk mengurangi ketegangan, saya tidak langsung ngonrol ke pokok permasalahan. Tapi saya mencoba bertanya kabarnya, apa aktifitasnya sekarang dan lain-lain. Sampai akhirnya dia bercerita tantang status HIV-nya. Karena masih menunggu beberapa pemeriksaan laboratorium, Ane yang kebetulan sudah berkonsultasi dengan dokter menyampaikan bahwa dia harus kembali ke kantor. Dan kami pun bertukar nomor telfon.

Sangat memprihatinkan. Benar seperti apa yang pernah saya tulis di artikel saya sebelumnya. HIV bukan issu dunia, dia adalah tetangga kita. Ane yang saya temui adalah teman semasa sekolah. Bukan subjeknya yang kita bicarakan, melainkan perspektif seseorang mengenai HIV harus semakin dirubah. Bahwa sebenarnya, HIV bias ada pada siapa saja yang juga tanpa sadar memiliki perilaku berresiko. Dan peran serta dukungan keluarga terdekat serta lingkungan sekitar akan sangat berarti. Dan bila masyarakat berperan serta dengan merubah perspektif dan sudut pandangnya tentang HIV/AIDS maka harapan saya angka kematian pada ODHA akan menurun karena segera tertangani dan angka penyenarannya pun akan bisa ditekan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar