Rabu, 12 Juli 2023

Selamat Datang di Bidaracina!

Dengan alasan bertahan hidup, hari ini aku memutuskan untuk kembali menjadi penumpang Transjakarta.

Setelah seharian berada di ruangan ber-AC dengan beberapa orang, waktu kerjaku hari ini akhirnya berakhir. Aku sedikit bingung karena hanya memegang uang tunai sebesar dua puluh ribu rupiah pemberian suamiku kemarin. Uang di rekening masih ada untuk mengisi saldo ojek online namun rasanya aku ingin menguatkan tekadku untuk berhemat selama berada di Jakarta. Lalu aku melihat kartu penyimpanan uang elektronik yang sudah dengan sadar kugantungkan di landyard. Oke, kita naik Transjakarta!

Posisiku sore tadi ada di Jl Kudus, sekitar satu kilometer dari halte Transjakarta Dukuh atas. Aku berjalan kaki dengan langkah santai sembari mengagumi pakaian kerja orang-orang yang juga lalu lalang di area Dukuh Atas. "gw jadi anak Jakarta lagi!" batinku sembari terkekeh. Yang padahal, aku sudah jadi anak Jakarta kurang lebih 2,5 tahun lamanya semenjak terpilih menjadi Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia.

Langkahku terhenti di atas jembatan yang menghubungkan antara pedestrian dengan halte Dukuh Atas, aku memandangi patung Jendral Sudirman yang tegak berdiri dalam pose hormat. Aku yakin bahkan Jendral Sudirmanpun menaruh hormat kepada seluruh pekerja di Jakarta yang gigih bertarung melalui semua kemacetan, penuhnya bus, kereta dan moda transportasi lainnya; dan semua itu dilakukan mereka dengan alasan yang sama denganku, bertahan hidup.

Sabtu, 09 Januari 2021

Rest In Peace Tina

Saya tidak pernah lupa saat Tina pertama kali mengetuk pintu rumah kami di Bukit Pamulang Indah 12 tahun lalu. Rambutnya panjang, tubuhnya tinggi kurus. Dia datang sendiri, dengan sebuah mobil kijang kotak jaman dulu berwarna biru kalau saya tidak salah ingat. Saya memandang Tina dengan tatapan setengah tidak percaya, dan itu wajar. Karena siapa yang bisa kupercaya saat itu, informasi mengenai HIV dan AIDS yang kumiliiki, nol besar.

Malam hari sebelum pertemuanku dengannya, Abet baru mendapatkan diagnose HIV di RS Puri Cinere. Sayangnya dia tidak bisa mendapatkan perawatan di sana karena di th 2009 tidak banyak rumah sakit yang memahami penanganan pasien HIV. Kami pulang paksa, dan aku bingung setengah mati. Tapi kemudian Tina datang.

Dia mengaku bahwa dirinya adalah junkie, persis seperti Abet. Pakai putauw, disuntikkan dan kecanduan. Meskipun begitu, Tina tidak pernah memakai putauw bersama Abet. Dia tau Abet, junkie dari Blok F. Tina kalau tidak salah anak Blok C. Selain mengakui dirinya adalah Junkie, dia juga mengaku bahwa dirinya terinfeksi HIV. Sama seperti Abet dan saya. Tatapan tidak percayaku padanya runtuh mendengar pengakuannya. Posisi dudukku berubah dan aku mendengarkan nasihatnya.

Kamis, 31 Desember 2020

Refleksi Akhir Tahun 2020

Hidup dengan HIV tentunya tidak pernah menjadi pilihan setiap orang. Beberapa orang terinfeksi karena memiliki aktifitas seksual yang tidak aman, beberapa lainnya menggunakan narkoba suntik secara bergantian tapi ada banyak juga yang tidak tahu bahwa dirinya berada dalam lingkaran resiko; yakni para ibu rumah tangga yang tertular dari pasangannya. Kesemuanya memiliki bayang – bayang yang sama, setelah dokter menyampaikan diagnosa HIV kepada mereka. Itu adalah stigma dan diskriminasi.

Ketakutan itu nyata, karena stigma dan diskriminasi secara tidak sadar telah menjadi bagian dari diri masyarakat Indonesia. Anggapan bahwa HIV adalah vonis kematian, bahwa orang yang terinfeksi HIV adalah aib bagi keluarga dan masyarakatnya, serta seseorang yang terinfeksi HIV tidak lagi layak mendapatkan hak yang sama untuk hidup karena ia menular dan berbahaya.

Tanpa kita sadari, stigma inilah yang kemudian membunuh orang dengan HIV secara perlahan; bukan virusnya. Stigma membuat kami takut untuk datang ke layanan kesehatan, takut untuk menjadi diri sendiri, takut untuk pulih dan mengkonsumsi Anti Retroviral secara teratur. Karena apalah artinya sehat saat kami tidak bisa kembali menjadi bagian dari masyarakat. Stigma dan diskriminasi sangat nyata dan lebih berbahaya dari pada virus HIV itu sendiri. HIV memang membuat kekebalan tubuh kami melemah dan menjadi rentan akan segala jenis penyakit. Namun Stigma diskriminasi memiskinkan kami, membuat kami tidak mampu dan kehilangan kehidupan.