Selasa, 17 Desember 2019

The Excitement of Day 1 | My Spiritual Journey (Part 4)


30 November adalah hari yang saya tunggu selama enam bulan terakhir. Namun segala perencanaan dan semangat yang saya bangun termasuk upaya mengumpulkan uang dengan menjual karya pupus sudah karena kemudian saya mendapat kabar dari Olva bahwa pesawat yang akan kami naiki dari Bandung menuju Singapore sudah dipastikan akan delay. Pesawat yang harusnya berangkat pukul delapan, kemudian mundur menjadi pukul 12.35 yang berarti di Singapore sudah satu jam lebih. Saya membayangkan kami akan tiba di sana pukul 15.35, melewati area imigrasi..naik MRT dan berjalan menuju stadion. But yeah, I have to accept the thing that I cannot change.

Maka saya berniat hari itu jangan sampai jadi mubazir hanya karena saya dikendalikan oleh rasa sedih. I am sad because of the change, tapi saya ga ingin rasa syukur saya juga hilang. So yeah.. I decide to ikhlas. I let go of the things that will make me crazy.

Sabtu, 14 Desember 2019

A Fellow Libra Who Saved My Life | My Spiritual Journey (Part 3)


Saya hampir ga bisa mengingat bagaimana ceritanya tiba – tiba Olva akhirnya ikut dalam perjalanan spiritual ini. Saya berusaha melacak percakapan kami baik melalui DM instagram maupun whatsapp. Tapi yang saya temukan hanya sebuah kata “YUKKK” dari Olva di tanggal 1 Juni 2019, yang berlanjut kepada semua persiapan menuju The Joshua Tree Tour nya U2 di Singapore.

Saya mengenal Olva pada sebuah acara bernama Lingkaran Ibu beberapa waktu lalu, tahun ini atau tahun kemarin saya lupa. Ah saya ini sungguh pelupa… Hahaha. Di sanalah saya mengetahui bahwa Olva adalah nafas dan nadi dari produk oil local bernama Botanina. Dari sana juga saya akhirnya mengetahui bahwa perempuan hebat ini punya segudang aktifitas yang keren. Kami lumayan sering berbalas emoticon melalui DM dan saling berkomentar atas segala jenis postingan yang berseliweran di timeline. Huhuhu life in a digital era yah.. berkawan di social media.

Jumat, 13 Desember 2019

Menjual Karya Demi Menonton U2 | My Spiritual Journey (Part 2)


Dalam kondisiku yang belum 100% pulih, aku mendapat kabar tentang kedatangan U2 ke Asia. Singapore menjadi Negara pertama dan itu berarti mereka tidak jauh. Mimpi itu kemudian kembali terngiang dalam kepalaku yang dua tahun ke belakang ini isinya hanya soal rasa sakit. Kira – kira berapa ya biaya yang harus kusiapkan untuk bisa menonton? Hal pertama yang terbesit dalam pikiran adalah aku tidak boleh menyusahkan orang lain untuk membuat diriku sendiri bahagia. itu termasuk tidak meminta uang pada Febby, suamiku. Setelah berhitung cepat, sepertinya aku membutuhkan sekitar sepuluh juta rupiah untuk bisa menonton konser, membeli tiket pesawat pulang-pergi, membayar penginapan, membeli merchandise serta biaya hidupku selama di Singapore. Fiuh, uang yang tidak sedikit. Mengingat aku yang saat ini tidak punya pekerjaan tetap. Hidup kami bergantung pada usaha kopi dan warung di rumah dan juga usaha konveksi kaos milik suami.

Lalu, dari kejauhan aku melihat tumpukan alat gambar di meja. “Apa aku jual saja karya Mandalaku?” ide itu kemudian muncul. “Tapi apakah ada yang mau membeli karya yang bahkan aku tak tahu kenapa tetap aku geluti ini?” keraguan yang kemudian muncul. Namun karena derap jantungku semakin kencang karena antusiasme berita kedatangan U2 ke Asia ini, aku kemudian menyusun rencana.

Selasa, 03 Desember 2019

u2 Joshua Tree Tour 2019 | My Spiritual Journey (Part 1)

Sayup sayup hentakan drum terdengar setelah tidak lama lampu stadion dipadamkan. Larry Mullen Junior telah memulai intro Sunday Bloody Sunday.

Damn. I cannot see anything.


Tubuhku terhimpit oleh lautan manusia yang sama bersemangatnya untuk melihat keempat pria asal Irlandia tersebut secara langsung, hidup di depan mata. Mungkin beberapa dari mereka sama seperti aku, konser pertama. Tapi aku yakin, untuk yang lain bisa jadi ini sudah menjadi konsernya yang ke tujuh, delapan.. atau bahkan belasan bahkan puluhan. Lucky them.


Saat bono mulai bernyanyi, suaranya terdengar membahana. Lantang dan sungguh dekat.
"... but tonight, we can be as one!"

Minggu, 27 Oktober 2019

Tempat Paling Aman di Muka Bumi


Warung ini tidak berbeda dengan warung lainnya yang berjejer di pelataran parkiran area pintu masuk taman nasional gunung gede pangrango. Cat kusennya berwarna biru dengan deretan display minuman, mie instant serta nasi dan lauk pauk yang bisa kita santap dengan lezat.

Perjalanan pertamaku ke Gunung Gede berakhir dengan persinggahan di warung tersebut, tapi siapa sangka bahwa dalam babak selanjutnya kehidupanku.. Abet dan saya memilih untuk juga setia singgah ke warung sederhana tersebut setiap kali kami merasa penat. Bukan hanya karena makanan – makanan super lezat dan aroma tempe goreng yang baru matang diangkat dari minyak panas… tapi karena ada sesuatu dari warung sederhana tersebut yang membuat kami merasa aman.

Pagi ini, dalam pejaman mataku aku membayangkan kembali berada di warung tersebut. Bedanya, tidak ada siapapun kecuali diriku sendiri di dalamnya. Tidak ada Abet, tidak ada sepasang suami istri yang akan bertanya hendak makan apa kami hari itu, juga tidak ada pendaki yang hilir mudik bersiap naik atau beristirahat setelah turun gunung.

Sabtu, 26 Oktober 2019

Mengucapkan Selamat Tinggal Pada Miguel

Bayi yang kulitnya mulai berubah warna ungu itu dibalut kain bedong berwarna biru. Kainnya kami beli di sebuah toko grosir peralatan bayi dua bulan sebelum kelahirannya. Miguel, nama bayi itu. Sang ayah ingin punya anak laki – laki dengan nama Amerika Latin sebuah cita – cita yang menarik. Miguel adalah harapan yang dinanti kini terbaring dalam tidur panjangnya di kasurku. Anak manis ini menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah empat puluh jam berjuang untuk bernafas dengan bantuan alat.

Dalam sesi terapiku kali ini, aku akan mengucapkan selamat tinggal padanya.

Setelah dua tahun aku selalu menangisi bayang wajah mungilnya yang hanya bisa kupandangi beberapa jam saja, kini aku siap mengucapkan selamat jalan kepadanya.

Jumat, 11 Oktober 2019

Menemui Pohon Mangga Sang Penopang Hidup

Sebuah pohon manga besar kini berdiri di hadapanku. Aku ingat betul pohon ini, pohon manga di rumah ibu (panggilan untuk nenek) di Cipulir. Pohon ini biasa kami naiki, ya… aku, kakak,sepupu – sepupu dan bahkan anak anak kampung di sekitar komplek. 

Tapi kali ini pohon ini hanya berdiri sendiri tidak ada seorang anakpun menaiki dahannya yang begitu landai. Satu satunya anak yang berada di sekitar pohon adalah gadis kecil berusia 6 tahun menggunakan dress, topi floppy straw dengan pita mengelilinginya dan sepatu pantofel dengan kaus kaki renda. Semua yang menempel di tubuhnya berwarna pink dan gadis kecil itu adalah aku.

Rabu, 09 Oktober 2019

Ruang Emosi pada Sesi Terapi Pertama

Ibu Dewinta duduk di hadapanku, ia menggunakan jilbab putih bermotif bunga. Ini pertemuan pertama kami, tapi kunjungan keduaku. Pagi itu kami membuka sesi dengan aku yang kembali bercerita tentang apa yang terjadi padaku dua tahun silam. Cerita yang tak pernah mudah, aku kembali menangis sesenggukan. Tissue yang terletak di atas meja menjadi penolong, ada kalanya aku ingin tidak terlihat selemah ini. Menangisi hidupku atau kematian anakku, it feels painfull. Tapi tidak, aku ingin berhenti dari rasa sakit ini.

Kini di hadapanku berdiri sebuah bangunan, tidak kokoh tapi juga bukan rumah tua. Ah ini rumah kedua orangtuaku. Rumah ini meninggalkan banyak kenangan manis dan pahit, tempatku tumbuh menjadi diriku yang sekarang. Tempat di mana aku jatuh cinta pertama kali pada Abet, Malika tumbuh besar dan menikmati masa kanak – kanaknya, tempat di mana aku menjadi diriku sendiri.

Rabu, 02 Oktober 2019

Joker Life isn't a Joke, You're Life too

I know since a long time ago Joker is never a joke. Ada sesuatu dari pria dengan riasan badut tersebut, cerita yang tak pernah diketahui oleh para penonton. Orang – orang hanya melihat Batman sang pahlawan dengan sejuta privilege dan gelimang harta. Keduanya menjalani kehidupan dan terluka dengan cara yang berbeda.

Each of us have “Joker” inside. Yang tidak mengetahui cerita kehidupan yang sesungguhnya, yang diabaikan oleh keluarga dan lingkungan sosial, yang diolok – olek karena cara berpakaiannya, sepatu yang terlalu besar, rambut yang terlihat aneh dan awut – awutan. Setiap Joker dari diri kita kadang ingin berteriak dan menerkam semua yang selalu menyudutkannya tapi rasanya terlalu sulit. Saat kemudian kita merasa semua terlalu terpuruk, kita tidak pernah benar – benar punya sesorang yang dapat mendengarkan cerita kita. Lantas kita menciptakan sosok sosok yang tidak terlihat untuk melengkapi kekosongan tersebut. Seorang kekasih, ibu, sahabat dan penonton yang memberikan kita tepuk tangan meriah meskipun nyatanya itu semua tidak pernah ada.

Kita lantas bisa memilih untuk menenggelamkan diri dalam sisi Joker dalam sisi kehidupan kita yang lain atau bangkit dan mencari pertolongan. Its not easy, sure. Dan ketidakberuntungan Joker membuatnya tenggelam dalam lubang kemarahan yang tak berujung. But we can do the opposite of what Joker did to himself and to others. We can try to find a help.

Senin, 30 September 2019

Anxiety Confession (1)

Tiga hari berturut – turut beberapa kawan memberitakan tentang kematian orang – orang yang ku kenal. Satu diantaranya meninggal karena overdose, yang lain meninggal karena sakit dan yang paling menyesakkan adalah berita kematian terakhir datang dari Puput anak seorang kawan yang selama beberapa tahun terakhir ini berusaha untuk bertahan hidup dari beberapa kesakitan. Three in a row.

Lalu ada seorang bertanya padaku, “kenapa Mbak Ayu kerap memposting tentang kematian?”
“everyday people die” jawabku datar.

Ku pikir, aku akan baik – baik saja, tapi ternyata tidak.

Sekitar pukul 14.30 saat seorang kawan mengabarkan kematian Puput melalui pesan whatsapp. Kurang dari satu menit kemudian aku merasa pusing dan mual. Ada banyak suara di kepalaku yang memperdebatkan dan menyayangkan kematian anak tersebut. Apakah kemudian situasi ini juga bisa terjadi padaku di kemudian hari. Tentu aku tidak sanggup membayangkannya sekarang tapi ada banyak hal berseliweran di kepalaku sesaat setelah pesan itu kuterima.

Selasa, 23 Juli 2019

Sepuluh Tahun Menyembuhkan Diri

“Saya perempuan baik – baik, tapi kenapa Tuhan masih kasih saya HIV”

Beberapa minggu ke belakang, kalimat diatas kerap berseliweran di kotak pesan instagram saya. Dari begitu banyak curhatan dan konsultasi terkait HIV, ada beberapa orang yang memilih untuk diam pada kemarahannya hingga menahun. It hurt me at the beginning, saya sempat mempertanyakan kenapa sih anda semarah ini? Sampai saya ingat, saya pun pernah melalui fase yang sama.

Kalau saya bisa ibaratkan, terinfeksi HIV seperti mendengar kabar anggota keluarga meninggal. We feel like we already die. Duka nya sangat mendalam sehingga membuat kita kehilangan akal sehat atau bahkan diri sendiri. Yes, we lost ourself in that situation.

Banyak sekali ODHA yang bertahun – tahun marah pada keluarga, pasangan dan bahkan Tuhan karena mendapatkan situasi HIV ini. Tentu kita semua tidak mengharapkan ini terjadi pada diri kita. Jadi dalam tulisan ini saya mau mengajak teman – teman yang terinfeksi HIV atau anggota keluarga yang memiliki kerabat yang terinfeksi HIV untuk pulih secara bertahap.

Rabu, 17 Juli 2019

Seks Edu, Berikan Sekarang atau Menyesal?

Ingatan saya siang tadi melesat kuat saat melihat adegan dalam film dua garis biru, tentunya adegan tersebut tidak secara gamblang dipertontonkan di film ini. 

Potongan ingatan tentang bagaimana saya sebagai anak SMA yang dilanda kasmaran akhirnya memutuskan untuk membiarkan penis kekasih yang telah tegang memasuki liang vagina. Saya membiarkan dengan sadar, atas nama cinta sebagai sepasang muda mudi yang dilanda asmara. Bedanya, saya tidak sampai hamil. Sang Kekasih rasanya sudah lebih paham tentang bagaimana agar tidak membuat sang pacarnya ini hamil. 

Yup, paragraph diatas pasti kalian pikir jorok dan ga pantas.. tapi tahukah kalian bahwa ini benar – benar terjadi dalam kehidupan saya. Dan demi menceritakan sebuah fakta serta membagikan sebuah pelajaran bermakna, gak perlu lah saya sensor kata penis dan vagina karena memang itulah namanya.

Dua Garis Biru habis – habisan menguras emosi dan air mata saya. Membuat saya marah, sedih, malu, menyesal, berfikir dan belajar. Sebagai seorang ibu dan seorang anak perempuan yang dulunya sering dibilang nakal oleh orang tua sendiri. Film ini menggambarkan kenyataan bahwa Indonesia darurat krisis edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi. Kebanyakan dari kita menolak untuk membicarakannya karena alasan takut kalau anak – anak kita malah akan berperilaku macam – macam atau menjadi tidak bertanggung jawab.

Rabu, 29 Mei 2019

The Feminist Princess Jasmine in Aladdin Movie

Siapa yang tidak tergugah hatinya setelah menonton Film Aladdin Remake? Pasti banyak sekali penonton yang seusia saya atau lebih yang menjawab IYA! Eh itu jika kalian sudah nonton yaaa. Tahun 1992 saat film ini pertama kali ditayangkan dalam versi kartun, saya ingat betul menontonnya dengan ibu di bioskop Pamulang yang kini telah rata dengan tanah. Namun setelah menontonnya kembali dalam versi hidup kemarin dengan Malika, yang tentunya dengan tokoh dan karakter yang kuat, hati saya membuncah. Setiap adegannya membuat saya menyeringai lebar, apalagi saat Aladdin atau Ginnie mulai bernyanyi.

Well, buat yang sama sekali belum menonton film ini berkisah tentang sebuah negeri Agrabah yang dipimpin oleh seorang sultan yang memiliki seorang putri. Sultan sudah semakin tua dan merasa bahwa putrinya harus segera menikah dengan pangeran yang mana secara otomatis dia akan menggantikannya menjadi sultan. Putri Jasmine sebagai sosok yang mandiri merasa bahwa solusi menikah bukanlah ide yang tepat, maka dia kerap menolak lamaran yang datang dari banyak pangeran yang datang ke Agrabah.

Selasa, 22 Januari 2019

Its Okay To Be The Lonely Clown

Dalam sebuah kesempatan berharga, saya dan teman - teman Kokomang diundang oleh Sundea untuk dapat menghadiri pertunjukan musikal bertajuk The Lonely Clown yang diselenggarakan oleh Bandung Philarmonic, The Red Nose foundation yang diadakan di Bandung Independent School. Karena lokasinya cukup jauh dan di daerah rawan kemacetan, maka saya, Yessy dan Malika berangkat lebih awal. Kekhawatiran saya soal acara yang diadakan sore akan selalu terhalang hujan deras terbukti, it is rain. Tapi hujan, jauh dan macet gak bikin kami patah arang. Kami tiba di BIS tepat waktu dan bertemu dengan teman lainnya yang sudah janjian di sana juga, ada Kiki, Andrea beserta mamanya.

Pertunjukan ini dibuka dengan nada nada yang mengalun dari Bandung Philarmonic. Its very nice to hear a beautiful sound after such a long time. Lalu kemudian, munculah tokoh - tokoh dalam pertunjukan ini, ada Clubithia, Balkie, Ring a ding dan red notes. Keempatnya adalah badut badut yang dibekali dengan alat alat yang menjadi kemampuan dan bakatnya masing - masing. Sayangnya red notes tidak sepakat bahwa benda yang dimilikinya mampu memberikannya kemampuan atau bakat tertentu. Hanya sebuah stick panjang, tak ada guna. Selain itu, red notes adalah satu - satunya badut yang tidak berhidung merah. Hidungnya biru. Satu - satunya warna merah yang menempel di tubuhnya adalah lambang nada di bagian dada. He is a different clown

Kamis, 10 Januari 2019

Catatan di Ruang Kreatif Part 2

Jika dalam tiga ratus enam puluh lima hari lamanya kita selalu diberi cobaan demi cobaan, maka paling tidak ada secuil rasa syukur yang hadir di tengah tengah masa masa paling sulit tersebut. Hal itu yang kemudian saya rasakan setelah membuat tulisan uneg - uneg Catatan di Ruang Kreatif Bandung. Lebih dari 3.000 orang yang membaca tulisan tersebut setelah saya posting di tanggal dua, dan makin banyak spekulasi bermunculan tentang nama tempat atau bahkan menduga - duga siapa orang orang yang berada di belakangnya. Atau mungkin banyak juga yang mempertanyakan saya. Ah kalau saya mah bukan siapa - siapa. You can easily track who am I by read all my blog and follow my social media account. Tapi percayalah, tulisan tulisan saya ga pernah bermuatan buruk dan bertujuan untuk menjatuhkan pihak pihak tertentu. Karena kalau bicara jatuh menjatuhkan, tiga puluh empat orang yang setahun kemarin membangun ruang tersebut sudah berhasil dijatuhkan dan dibersihkan.

Waduh paragraf pertama nampaknya saya cukup emosi hahaha. Kalemin dulu ahh hahaha, padahal saya lebih mau membahas greatful things yang saya dapat selama saya berada di ruang kreatif tersebut. Supaya seimbang memberikan perspektif bahwa sesungguhnya tidak ada yang salah sama sekali dengan ruang nya.

Menikmati Sensasi Art di De Braga by Artotel


Dulu waktu masih berKTP Tangerang Selatan, saya selalu picky setiap kali mau ke Bandung. Saya pengen nginep di tempat yang begini dan begitu. Dan mindset bahwa kalau ke Bandung harus menginap di daerah atas yang dingin dan sejuk ternyata salah besar. Karena ternyata saya baru sadar setelah tinggal di Bandung, bagian paling menyenangkan dari kota ini adalah sejarah kota yang sangat kaya. Bahwa Bandung adalah salah satu kota yang menjadi destinasi plesirannya bangsa Belanda saat mereka menjajah kita dahulu. Dan pusat kota Bandung merupakan bagian paling penting dimana di sana terdapat Kantor pemerintah (Balaikota), pusat pertemuan masyarakat (alun – alun), pusat ekonomi (Bank Indonesia) dan tempat ibadah (Mesjid di alun alun dan gereja katedral).

Semua pusat heritage kota nyatanya terletak di tengah – tengah dan Jl Braga menjadi salah satu jalan utama yang menjadi jantung yang senantiasa berdenyut menghidupkan kemeriahan kota. And I love the fact that I live near that place now. Braga selalu memiliki daya magis yang luar biasa setiap saya melaluinya.

Selasa, 08 Januari 2019

Keluarga Cemara dan Patriarki di Indonesia


Kaki keseleo adalah oleh oleh yang saya dapat seusai menonton film Keluarga Cemara bersama teman – teman CS Writers club. Saking semangatnya mendapat kesempatan nobar ini, saya sampai niat untuk membawa tripod untuk berfoto. Saya tidak ingin ada yang tertinggal dan tidak ada dalam frame. Seusai berfoto di dalam bioskop yang mana ternyata seisi studio sudah tinggal kami, maka semua bergegas pergi dan saya yang terburu – buru, membawa tripod sambil melihat hasil foto terjatuh di tangga turun. Beberapa detik saya sempat tidak bisa bergerak karena shock dan kesakitan. Lucunya ini persis dengan kondisi Abah yang juga terjatuh saat sedang bekerja di proyek. Jatuhnya abah lebih sadis, meskipun saya gak yakin apakah kaki abah patah atau hanya keseleo seperti saya.

Rasanya energy dan chemistry film ini begitu meresap sampai sampai adegan jatuh saya sandingkan. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh teman – teman termasuk saya saat di beberapa adegan kami naluriah meneteskan air mata atau tertawa akibat tingkah polah Ara yang sangat polos. Film keluarga Cemara layak direkomendasikan untuk di tonton bersama keluarga.

Kamis, 03 Januari 2019

I'm Gratefull still Alive!

Sepuluh tahun yang silam saya dihadapkan pada situasi yang tidak pernah saya duga. Terinfeksi HIV, suami meninggal, menjadi orangtua tunggal, mencari nafkah dan harus belajar menghadapi stigma dan diksriminasi. Sebuah kompilasi hidup yang sungguh menarik ya. Kalau ada yang tahu permen nano – nano, mungkin serupa itu macam rasanya. Bahkan sepertinya ada rasa pahit getir yang ga bisa saya ungkapkan sepanjang tahun 2009.

Hari ini sepuluh tahun sudah berlalu. Perjalanan panjang itu masih terus berlanjut. Saya masih diberi kesempatan oleh Gusti Allah Sang Maha Pencipta untuk bernafas lagi, meski ritme nya terus berubah. Mulai dari nafas santai penuh kenikmatan, nafas buru – buru karena dipaksa berlari mengejar sesuatu, nafas tercekat karena kebanyakan gak siap dengan setiap kejutan, sampai susah nafas karena sometimes life is hard, really fuckin hard. But this is it, 10 tahun terinfeksi HIV dan saya masih hidup.

Rabu, 02 Januari 2019

Catatan di Ruang Kreatif Bandung

Memasuki gerbang tahun 2019 saya dihadapkan pada situasi yang cukup menguras hati. Tadinya berencana untuk dituliskan di akhir tahun, tapi kok ya gak sanggup. Menunggu tenang terlebih dulu, menunggu reda, agar nantinya (semoga) isi dari tulisan ini tidak meledak – ledak. Tidak seperti air laut yang meluap kemudian merusak. Sebagai keterangan di awal, tulisan ini akan khusus berkisah tentang perjalanan saya di dalam sebuah ruang kreatif di kota Bandung. Yang mungkin untuk sebagian orang telah memahaminya, tapi demi kebaikan lebih banyak saya tidak akan menyebutkan beberapa nama.

Semuanya dimulai dari sebuah kesempatan yang diberikan oleh pemimpin terdahulu di kota ini kepada saya dan suami untuk ‘membantu’ mengembangkan konsep dan ide agar ruang kreatif ini menjadi ramai dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Saya kemudian mengelola social media milik ruang kreatif ini dan suami saya sebutlah menjadi coordinator kegiatan. Rasanya, bagi saya pribadi yang jauh dari dunia kreatif (bukan saya gak kreatif ya) merupakan sebuah kehormatan besar bisa mengisi ruang kosong. Bukan hanya mengisi, tapi diberi kesempatan untuk berinovasi.