Sabtu, 10 Oktober 2015

Perjalanan Ke Beijing, Cina [bagian 4]

Ada apa sih kok saya ke Beijing? Banyak yang tanya sewaktu saya mulai rajin posting di Path atau instagram saya. Baik posting form aplikasi visa dan lainnya. Jadi perjalanan kali ini tidak begitu berbeda dengan perjalanan - perjalanan sebelumnya yang mana adalah bertema kerja.

Well, harus diakui saya memang butuh liburan sebenarnya. Ketimbang nebeng berlibur di saat bekerja. Beijing, China merupakan negara ke 6 yang saya datangi untuk bekerja dalam ranah penanggulangan HIV AIDS di Indonesia. Perjalanan yang kali ini membawa saya ke Beijing adalah untuk menghadiri pertemuan yang bertajuk "The 10th Asia Pacific United Nations Prevention of Parents-to-Child Transmission on HIV and Siphylis Task Force meeting". 

Pertemuan ini dihadiri oleh delegasi negara-negara di Asia pasific, dan fokus membicarakan strategi Pencegahan HIV AIDS dari orangtua ke anak. Saya yang kebetulan juga menjadi bagian dari organisasi yang bernama Ikatan Perempuan Positif Indonesia, mewakili komunitas perempuan yang hidup dengan HIV AIDS. I feel lucky anyway.. kenapa? karena ini pertama kalinya komunitas di libatkan kedalam task force meeting yang umunya dihadiri oleh pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan dan jajarannya.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Perjalanan Ke Beijing, Cina [bagian 3]

Yuuhuuuu.. alhamdulilah saya tiba di Incheon International Airport Seoul dengan selamat. Wah, ada di Korea nihh *kemudian berjoget ala ala SNSD* (yang bahkan saya tidak tahu lagunya). Transit di bandara ini tidak begitu lama, hanya satu jam. Saya bisa buang air kecil, cuci muka dan membeli beberapa snack untuk dikunyah selama masa menunggu. 

Biasanya, masa transit sering saya gunakan untuk berkeliling bandara dan melihat tempat perbelanjaan (yang biasanya saya gak pernah belanja karena harganya yang bombastis). Eit, tapi hati-hati ya. Jangan sampai kita keasikan berkeliling sampai tersesat atau (yang terburuk) sampai tertinggal pesawat. Karena tidak semua bandara memiliki kebijakan memberikan pengumuman penerbangan, contohnya Thailand yang sudah memproklamirkan dirinya sebagai silent airport. Nah, serem kan kalau kita nyasar atau (amit-amit) tertinggal pesawat karena asik jalan-jalan.

Perjalanan Ke Beijing, Cina [bagian 2]

Jakarta memang biang dari segala biang kemacetan. Saya tidak bisa memungkiri itu. Selama lebih dari 20 tahun saya beraktifitas di ibukota, rasanya kami sudah cukup akrab dan saling mengenal satu sama lain. Namun, ada satu hal yang tidak bisa saya tingalkan dari Jakarta, yakni pusat segala aktifitas. 

Mulai dari kantor organisasi, kemudian beberapa relasi yang cukup penting terletak di Jakarta. Hingga untuk menempuh perjalanan udara ke negara lain, kita harus memilih destinasi keberangkatan dari Bandara Internasional Soekarno Hatta yang terletak tidak jauh dari ibukota. Sehingga saya, yang berdomisili di Bandung seringkali merasa kerepotan dengan jarak tempuh Bandung – Bandara – negara tujuan. Sedih sih sebenarnya. Karena setiap kali request flight dari Bandung, jawabannya hanya dua. Kalau tidak ada, ya penerbangannya akan melalui banyak transit. Alhasil saya seringkali cenederung pasrah menerima nasib, bahwa Jakarta selalu menawarkan lebih banyak keuntungan, termasuk bandara internasionalnya.

Jumat, 02 Oktober 2015

Perjalanan Ke Beijing, Cina [bagian 1]

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina..
Entah kapan persisnya pepatah tersebut singgah di telingaku. Yang pasti semasaku kecil. Mungkin bapak dan ibu guru di sekolah yang menyampaikan melalui pelajaran Bahasa Indonesia-nya. Atau bisa juga ayah dan ibu-ku dalam nasihat serta petuah mereka. Namun siapapun yang mengirimkan pepatah itu sampai menggetarkan gendang telingaku. Prosesnya berhasil, Saraf auditori mengirim sinyal ke otak bahwa ada bunyi yang mengandung pesan. Dan kekuatan Tuhan bekerja pada saat itu.

hah? Beijing? Kapan..? aku terkejut karena mendapat kabar harus menggantikan rekan di organisasiku untuk menghadiri sebuah pertemuan di Beijing Cina. Pertemuan tersebut sangat strategis bagi organisasi kami, karena selain dapat belajar dari situasi negara lain. Saya juga dapat mengambil momentum, duduk bersama dengan delegasi dari negara sendiri. Bertatap muka langsung dan berdiskusi lebih dalam dengan bapak dan ibu dari kementrian kesehatan. Pertemuannya akan diadakan satu bulan setelah aku menerima kabar tersebut. Wah lumayan mepet nih, batinku dalam hati. Harus segera mengurus ini dan itu terkait keberangkatan. Lalu aku seperti terbawa kembali ke pepatah masa kecilku. ‘yak, aku akan ke Cina’

Film 'Everest' - Kisah Memilukan Dari Sebuah Perjalanan pendakian

Sumber : Wikipedia.com
Gunung Everest merupakan Puncak tertinggi dari 7 gunung tertinggi di dunia. Terletak di Nepal, namun puncaknya berada di perbatasan antara Nepal dan Tibet. Dengan ketinggian mencapai 8,848M diatas permukaan laut. Gunung Everest dikenal dengan cuacanya yang sangat ekstrim. Pada ketinggian 8.000 Meter merupakan zona kematian dimana udara sangat tipis, sehingga para pendaki membutuhkan oksigen tambahan. Tanpa persiapan yang matang, dan prosedur keselamatan yang tepat tidak ada pendaki yang sanggup mencapai puncaknya.

Everest’ adalah film yang diadaptasi dari kejadian nyata yang sangat dikenal dengan "The 1996 Mount Everestdisaster". Dimana pada 10–11 Mei 1996, 8 orang terjebak dalam badai ekstrim saat akan kembali setelah mencapai puncak everest. Beberapa akhirnya meninggal saat mencapai puncak dan beberapa lagi meninggal saat akan kembali ke camp 4.