Jumat, 31 Juli 2020

Cinta Yang Mengubah Hidupku Part #22

Perjalananku bersama Abet kali ini terasa sangat sulit. Setelah fase kami berpisah dan dipertemukan kembali, persoalan tidak henti-hentinya menghantuiku dan Abet. Dan semua dimulai dari pengakuannya tentang narkoba sampai akhirnya tertangkap beberapa saat lalu. Aku pikir itu semua hanya terjadi di film – film, tapi kali ini semua terasa nyata. Sedihnya bahkan sering membuatku bermimpi buruk dan mengigau tengah malam. Aku tak mampu melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan dan tak jarang aku menyalahkan diriku sendiri karena tidak mampu membantu Abet memperbaiki kehidupannya.

Surat demi surat saling kami tulis dan kirimkan melalui tangan Uni sang kakak atau Mamanya. Surat yang tak jarang saling menceritakan tentang kemarahan, kebencian terhadap satu sama lain namun di balik itu semua ada rasa rindu yang menyebabkan kemarahan-kemarahan tersebut lahir. Surat surat darinya semakin beragam isinya karena kemudian dia memiliki lebih banyak waktu untuk menulis dan bercerita tentang kondisi di dalam penjara, meski masih berada di dalam polsek kondisinya beberapa bulan ke belakang ini juga tidak mudah. Aku tidak mampu membayangkan jika nanti dia akan dioper ke LP Cipinang.

Kamis, 30 Juli 2020

Cinta Yang Mengubah Hidupku Part #21

Terdengar sayup sayup adzan dari toa masjid, menandakan solat jumat segera dimulai. Aku sedang terbaring di kamarku yang hanya berukuran 6 x 4 meter. Sambil kupandangi langit langit, aku merasa rasanya saat ini hanya benda benda di kamarku yang mampu memahami perasaanku. Aku tau mereka ga bisa bicara, tapi kadangkala aku percaya mereka mampu merasakan setiap emosi yang aku rasakan. Apa yang sedang Abet lakukan sekarang ya? Batinku dalam hati. Apakah dia sedang solat jumat seperti laki laki lainnya yang pergi ke masjid? Atau mungkin para napi di dalam penjara itu bisa solat berjamaah di dalam bersama para sipir dan polisi yang bertugas. Entahlah.
Tidak lama berselang aku memikirkan Abet, telfon di rumahku berdering. Aku langsung lompat dari kasur dan berlari sambil berteriak “Aku aja yang terima telfonnya!!”

“Halo, Ayu?”
“Ya, Ni! Ada kabar apa dari Abet Ni? Apa Abet sudah terima surat aku?” Aku membombardir Uni, kakaknya dengan banyak pertanyaan.

“Sudah. Ini ada surat untuk Ayu. Mau diambil ke warung?”
“Iya. Aku ke sana sekarang ya Ni.”

Aku langsung menutup gagang telfon, mengganti pakaian dan berlari ke pangkalan ojek. Aku sampai lupa pamit pada kakakku, I already lose my mind. Aku meminta abang ojek untuk membawaku secepat mungkin ke warung nasi Padang milik keluarga Abet yang letaknya di tengah kota Pamulang. Setibanya di sana, aku sampai harus mengatur nafas karena tidak sampai 5 menit surat dari Abet sudah ada di tanganku.