Rabu, 09 Oktober 2019

Ruang Emosi pada Sesi Terapi Pertama

Ibu Dewinta duduk di hadapanku, ia menggunakan jilbab putih bermotif bunga. Ini pertemuan pertama kami, tapi kunjungan keduaku. Pagi itu kami membuka sesi dengan aku yang kembali bercerita tentang apa yang terjadi padaku dua tahun silam. Cerita yang tak pernah mudah, aku kembali menangis sesenggukan. Tissue yang terletak di atas meja menjadi penolong, ada kalanya aku ingin tidak terlihat selemah ini. Menangisi hidupku atau kematian anakku, it feels painfull. Tapi tidak, aku ingin berhenti dari rasa sakit ini.

Kini di hadapanku berdiri sebuah bangunan, tidak kokoh tapi juga bukan rumah tua. Ah ini rumah kedua orangtuaku. Rumah ini meninggalkan banyak kenangan manis dan pahit, tempatku tumbuh menjadi diriku yang sekarang. Tempat di mana aku jatuh cinta pertama kali pada Abet, Malika tumbuh besar dan menikmati masa kanak – kanaknya, tempat di mana aku menjadi diriku sendiri.

Perlahan aku masuk ke dalamnya, kali ini rumah itu berubah. Bagian dalamnya kosong melompong. Lalu aku memejamkan mata dan membayangkan sebuah ruang. Tanganku yang sering gemetar di kala rasa marah tiba membuka pintunya perlahan. Ruang itu besar sekali, luasnya tidak dapat dihitung karena serupa ruang angkasa. Ruang itu berwarna hitam pekat namun tidak ada bintang jika kubilang seperti angkasa. Hitamnya ruangan tersebut membuatnya tidak bertepi. Aku mulai berkeliling, awalnya ku berjalan pelan… lalu aku mulai mengangkat kedua tanganku yang gemetar dan berlari mencari tepi tepi dari ruangan ini. Dadaku penuh sesak dan sakit untuk bernafas, mukaku memerah marah, kedua mataku mulai mengeluarkan bulir air mata yang kemudian perlahan jatuh ke ruang hitam tak bertepi tersebut. Lantas aku berteriak dengan kencang, teriakan yang tidak bergema namun hilang sesaat setelah keluar dari rongga dadaku.

Aku marah karena dua tahun silam ada orang – orang yang dengan sengaja melakukan pengabaian terhadapku. Menolak prinsip serta apa yang kuyakini tentang menjadi manusia. Bahwa aku juga memiliki hak yang sama untuk menjadi perempuan mengandung seperti perempuan lainnya bukan hanya dilihat sebagai perempuan yang terinfeksi HIV yang akan memberikan lebih banyak kerugian. 

Aku marah, Karena mereka tidak memberikan perawatan dan tindakan yang benar padaku. Proses anastesi yang ngawur membuat dokter yang menyayatku memberikan pengalaman paling menakutkan. Tiga sayatan tanpa anastesi.

Kini banyak tumpukan es dan sebuah linggis tergeletak di dasar ruang, dengan tangan gemetar dan kemarahan yang membuncah aku mengambil linggis tersebut dan mulai menghancurkan satu per satu esnya. Suhu di ruang hitam menjadi lebih dingin setiap aku menghancurkan es tersebut, namun kulitku semakin terbiasa. Setiap tumpukan es tersebut sudah hampir habis mereka yang telah hancur kembali mengeras dan kembali kuhancurkan. Begitu terus sampai aku terjatuh kelelahan.

Aku merebahkan tubuhku, menangis kencang dan merasa lega. Lalu aku bangkit dan berjalan ke arah pintu, saat tubuhku berbalik ruang itu telah kosong tidak ada bongkahan bongkahan es yang berantakan dan hancur tadi. Ruang ini kembali menjadi ruang hitam tak bertepi. Aku membuka pintunya perlahan, keluar dari ruang menutup pintu dan menguncinya. Aku letakkan kunci tersebut dalam kantung celanaku agar tidak ada satu orangpun yang dapat masuk ke dalam.

Kini yang tersisa adalah kesedihan yang melelahkan.

Aku melangkah masuk ke dalam bangunan yang serupa rumah ibuku ini dan menemukan sebuah ruang dengan sebuah pintu dan jendela memanjang ke bawah. Aku membuka pintunya dan membuka mata. Ruang ini jauh lebih kecil dari ruang sebelumnya, warna temboknya peach, ada sebuah kipas angin di sudut ruangan dan sebuah kasur single dengan dipan. Sebuah bantal dan guling yang dibalut cover pink bermotif winnie the pooh dengan seprai yang senada.

Aku membaringkan tubuhku di atas kasur tersebut, meringkuk memeluk guling dan perlahan aku menangis. Aku menangisi hidupku, anakku dan kematiannya, aku menangisi kesakitan dan kesendirianku menghadapi ini. Air mataku tumpah dari kedua mata dan membuat hidungku mampet susah bernafas. Lantas aku membalikan tubuhku dan menghadap ke langit langit ruang peach tersebut. Aku mengambil nafas panjang dan menghembuskannya, berkali kali sampai aku bisa bernafas dengan teratur pelan dan lebih tenang.

Lalu aku duduk, hembusan angin dari kipas di pojok ruangan mengeringkan air mata yang tersisa di ujung ujung mata dan pipi. Aku berdiri dan berjalan menuju pintu, ku langkahkan kaki meninggalkan ruang yang ternyata adalah kamarku semasa SMA. Aku tutup pintunya aku kunci dan kuletakan kuncinya di bagian atas kusen pintu. Aku dapat lebih sering ke ruangan ini, jadi aku tak perlu membawa kuncinya kemanapun.

Tubuhku kini lebih ringan, tidak lagi sesak aku tidak lagi marah dan menangis. Hanya rasa lelah yang tersisa yang membuatku masuk ke ruangan terakhir. Kubuka pintu dan kini aku berhadapan dengan ruang berwarna kuning cerah dengan cermin besar di salah satu dindingnya. Di salah satu sudut aku melihat sebuah meja besar dengan rak berisi peralatan gambarku. Kini di meja tersebut membentang selembar kertas hitam besar. Tanpa aba aba aku mulai menggambar. Mandala telah menjadi bagian dari kehidupanku tiga tahun terakhir, dia selalu menjadi penyelamat di moment yang bisa kualihkan. Setiap goresannya membentuk pattern yang tersusun serupa alam semesta. Warnanya silver dengan semua bentuk pattern yang meluncur dari goresan tanganku, begitu indah dan menenangkan. Kini sebuah mandala besar berukuran 1 x 1 meter tergeletak di meja. 

Aku tersenyum dan kembali melangkahkan kaki menuju pintu, mengucapkan selamat tinggal pada ruang gambar yang selalu ku idam idamkan dan kini berada tepat di hadapanku. Aku keluar dari ruangan tersebut, menutup pintunya dan menguncinya. Kugantungkan saja kuncinya, karena ruang ini bahkan tak perlu ku kunci agar aku bisa bebas masuk kapan saja.

Ada tiga ruang di rumah ini. Aku akan kembali esok atau lusa.
Lalu aku keluar dan memandang lama bagian depan rumah yang sudah cukup lama kutinggalkan dan tidak kukunjungi kembali. Apa kabar mama dan papa? Ah ya, kami sudah tidak lama berkomunikasi. Mungkin nanti saat aku sudah sembuh, aku akan pulang.

Sayup sayup aku mendengar kembali suara seorang perempuan, ah ya Ibu Dewinta. “ya betul begitu.. pelan pelan saja atur kembali nafasnya. Jika mba Ayu sudah siap pelan pelan mba Ayu bisa kembali ke ruangan ini. Pelan pelan saja… jika sudah siap mba Ayu bisa membuka mata. Selamat datang kembali di sini mbak."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar