Senin, 30 September 2019

Anxiety Confession (1)

Tiga hari berturut – turut beberapa kawan memberitakan tentang kematian orang – orang yang ku kenal. Satu diantaranya meninggal karena overdose, yang lain meninggal karena sakit dan yang paling menyesakkan adalah berita kematian terakhir datang dari Puput anak seorang kawan yang selama beberapa tahun terakhir ini berusaha untuk bertahan hidup dari beberapa kesakitan. Three in a row.

Lalu ada seorang bertanya padaku, “kenapa Mbak Ayu kerap memposting tentang kematian?”
“everyday people die” jawabku datar.

Ku pikir, aku akan baik – baik saja, tapi ternyata tidak.

Sekitar pukul 14.30 saat seorang kawan mengabarkan kematian Puput melalui pesan whatsapp. Kurang dari satu menit kemudian aku merasa pusing dan mual. Ada banyak suara di kepalaku yang memperdebatkan dan menyayangkan kematian anak tersebut. Apakah kemudian situasi ini juga bisa terjadi padaku di kemudian hari. Tentu aku tidak sanggup membayangkannya sekarang tapi ada banyak hal berseliweran di kepalaku sesaat setelah pesan itu kuterima.

Febby, suamiku sedang berkumpul dengan kawan – kawannya. Aku mencoba mengirimkan pesan kepadanya adar ku merasa jauh lebih baik. Kutanya sampai jam berapakah dia akan berkumpul dan apakah dia mau jika kita menonton film di bioskop. Jawabannya mengecewakan. Dia bilang soal teman – temannya belum semua berkumpul sehingga rapat belum bisa dimulai dan kemungkinan baru akan mulai setelah maghrib. Tanpa berpanjang lebar, kata OK mengakhiri pesanku.

Sakit kepalaku bertambah. Aku pikir aku belum makan, tapi rasanya tidak. Aku sudah makan.

Malika sedang tidur di kamarnya, lelah setelah pagi berlatih futsal. Biasanya di hari minggu seperti ini jika tidak ada kegiatan, maka tidur seharian menjadi pilihannya.

Aku ke dapur mengambil segelas air dan membongkar tasku. Seingatku aku baru saja membeli satu strip panadol ekstra, obat andalan saat ku sakit kepala. Kuambil satu butir, kutenggak air putih lalu aku berbaring. Biasanya tidak lama aku akan merasa baik. Kutunggu sampai 10 menit, kepalaku makin sakit dan tidak membaik. Aku memutuskan untuk bangun dan merapihkan rumah, ku mencuci baju, merapihkan setrikaan, mencuci piring, merapihkan ruang tengah dan kegiatan apapun yang dapat membuatku merasa lebih baik. Hingga satu jam, sakit kepalanya tidak kunjung membaik. Aku memutuskan untuk meminum satu butir panadol lagi. Ku coba kembali berbaring, memejamkan mata dan mengatur nafas.

Sakit kepalanya berangsur hilang, dua panadol merah menyelamatkanku. Tapi kali ini debar jantungku meningkat dan aku merasa takut. Perasaan takut dan cemas ini kerap kali muncul di waktu – waktu yang tidak kuinginkan. Baik saat sedang ada berita tidak menyenangkan seperti hari ini ataupun di momen yang bahkan tidak bisa ku prediksi. Kemarahanku memuncak saat sekitar pukul sembilan suamiku pulang ke rumah dan membawakanku segelas kopi. Begitu santai melangkah masuk ke rumah dalam kondisi sudah rapih.

I don’t fuckin need the coffe, I need you. Tapi bibir ini kelu dan aku tak bisa menyampaikan itu kepadanya. Aku lantas memutuskan untuk mengeluarkan semua alat gambarku dan membuat mandala sambil mendengarkan playlist spotifyku. Ada sebuah list lagu yang hanya berisi enam buah lagu, tapi biasa ku putar saat kondisiku sedang buruk seperti hari ini. Ku setel dengan volume tertinggi dan ku menenggalamkan diri dalam kecemasanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar