Selasa, 09 Agustus 2016

Cinta Sang Larasati (2)

Sore itu Dewa asmara sedang dirundung pilu karena merasa gagal melakukan tugasnya, dia berfikir keras bagaimana caranya agar Lara bahagia. Dia mengutak atik panahnya, sepertinya ada yang salah dengan panah itu. Sepertinya sudah waktunya Dewa mengganti panahnya yang sudah berusia 2500 tahun, nampaknya panah tersebut sudah mulai uzur dan kurang lentur sehingga tidak bekerja secara maksimal. Di tengah - tengah pengamatannya terhadap perangkat pemersatu cinta-nya, Dewa mendengar suara Lara dari kejauhan. Suara itu terdengar risau, namun ada nada kebahagiaan di dalamnya.

Sang Dewa Asmara bergegas meletakan panahnya, dan mengintip dari balik awan lalu berusaha mencari tahu dari mana asal suara Lara. Tepat seperti dugaannya, Lara sedang menelfon seseorang. Siapakah gerangan yang Lara hubungi? Dewa sangat penasaran. Mengapa terlihat kening mengkerut, matanya melihat ke segala arah tidak menentu dan ada bulir keringat di pelipisnya. Siapa gerangan yang membuat Lara terlihat aneh.

Dengan kekuatan supernya, Dewa Asmara memasang alat pencuri dengar super. Alat tersebut mampu mendengarkan suara sekecil apapun dari jarak terjauh. Dengan tidak sopan karena tidak seizin Lara, Dewa menyimak dengan seksama percakapan Lara dengan seorang pria. SEORANG PRIA!! Dewa bergegas kembali mengambil Panahnya dan menuju tempat Lara.

***

"Halo.." terdengar suara nya Aria, tegas dan lantang

Lara terlihat gugup

"Halo, dengan Aria Majalah Lingkungan Kita?" Lara berusaha tenang, walau getar suaranya tidak dapat ia sembunyikan.

"Iya betul, dengan siapa saya bicara?" Aria masih tetap tenang.

"Saya Lara"

"Lara? LARASATI?" Nada suara Aria berubah dalam hitungan detik, senyumnya mengembang dari ujung saluran telfonnya.

Lara menarik nafas dan berfikir, Aria masih mengenalinya. Lalu dia harus bersikap bagaimana.

"Iya, Larasati. Kamu gimana kabarnya? Lagi sibuk gak? Saya mau ada perlu nih sama kamu, dan kerjaanmu?" Saking gugupnya, Lara memberondong Aria dengan begitu banyak pertanyaan.

"Weits..weits.. weits.. satu-satu dong jeng. Kabarku baik, Baik sekali! sibuk atau tidak? Hmm, lumayan sibuk, banyak sekali liputan kebakaran hutan. Ada perlu apa nih? Kok mendadak banget ya. By the way, kamu dapat nomer telfonku dari mana?" Sesungguhnya Aria senang sekali dan semangat menjawab semua tanya Lara.

"Saya dapat dari tim kerja saya di organisasi. Kami rencananya mau bikin event, dan mau mengundang kamu dan media tempatmu bekerja untuk meliput kegiatan kami. Mau kah?" Lara pikir, ini sudah saatnya to the point, sudah saatnya menghilangkan rasa gugupnya.

"Wah, event apa? Tentu mau sekali dong.. pasti berhubungan dengan sampah ya. Seperti bertemu oase di tengah gersangnya berita kebakaran hutan. Kapan acaranya?" Pernyataan Aria tersirat dirinya menyanggupi undangan Lara.

Percakapan berlanjut dengan penjelasan Lara tentang kegiatannya, dan sebuah janji temu di kedai kopi keesokan harinya. Dewa Asmara yang dari kejauhan siap membidik keduanya, sontak menepuk jidat. Dia teringat, bahwa panah cinta tidak akan bekerja saat kedua objek berada di tempat yang berbeda. Meskipun terkoneksi dengan kabel telefon. Lalu, Dewa menulis dalam Jurnal Perjodohannya, hari tanggal dan jam dimana Lara serta Aria akan bertemu. Dewa Asmara yakin tugasnya kali ini akan berhasil, karena getar asmara diantara keduanya terasa kuat dari suara yang didengarnya.


***

Lara gugup setengah mati. Sejak malam dia sudah menyiapkan pakaian yang akan digunakannya hari ini. Tapi sayangnya, koleksi pakaian yang di lemarinya hanya 2 macam, yaitu celana jeans dan kaos berwarna hitam. Dia memutuskan untuk menambah aksen kalung sebagai warna tambahan, agar terlihat bahwa ada sedikit warna dalam dirinya hari ini. Koleksi sepatunya pun hanya terdiri dari deretan sneakers dan sepatu kets yang warnanya itu itu saja. Dia juga sibuk memandangi wajahnya di cermin, bukan untuk membubuhkan make up atau melentikan bulu mata. Tapi melihat bayang dirinya sendiri yang terpantul. Dia yakinkan dirinya, bahwa hari ini akan baik baik saja.


***

Aria malah nampak lebih tenang, namun bersemangat. Tidak ada persiapan khusus saat akan menemui Lara hari itu. Dia menggunakan celana yang biasa, kemeja yang biasa, sepatu yang biasa, kacamata dan ID card pers nya. Dia hanya perlu menyediakan waktu untuk Lara, perempuan yang pernah menjadi bagian cerita hidupnya.


***

Dari atas langit, di balik gumpalan awan biru dan sorotan matahari, Dewa Asmara tengah melakukan pemanasan. Dia lari di tempat, kemudian meletakan kedua tangan di pinggang dan menggoyangkan pinggangnya ke kanan dan ke kiri sebanyak delapan kali, kemudian dia meluruskan kedua tangannya kedepan dan menariknya kesamping berkali kali. Pemanasan ini sangat penting bagi Sang Dewa, karena tugas memanahnya sangat spesial, tidak boleh sampai gagal. Dia ingin melihat Lara bahagia.


***

Aria sudah tiba di Warung Kopi Asik terlebih dahulu, dia tidak ingin terlambat dan mengecewakan Lara. Sambil menunggu kopi hitam tanpa gula pesanannya, dia melihat seorang perempuan membuka pintu dan masuk kedalam. Aria melambaikan tangan kearah perempuan itu.

"Lara! disini!" Tidak berteriak, tapi Aria memanggilnya kencang.

Lara tersenyum, jantungnya berdegup tidak karuan. Dia berhati hati berjalan menghampiri Aria, langkahnya tenang, Lara tidak mau jatuh tersandung karena terlalu bersemangat.

"Haiiiiii, Ariaaa! Apa kabarrr? Udah lama banget kita gak ketemu yaa..?" Lara tidak sungkan menujukan semangatnya, sambil memberikan tangannya kepada Aria.

Dengan tidak kalah semangat, Aria bangun dari duduknya, membuka kedua tangannya dan menghampiri tubuh Lara. Dengan percaya diri, dia memeluk Lara.

Muka lara merah padam, jantungnya serasa jatuh kelantai. Dia gugup setengah mati.

"Kabar gue baik! Kamu tuh kayak orang asing aja deh, ngajak salaman gitu" Suara Aria terdengar tenang sambil melepas pelukannya.

Lalu mereka berdua duduk, dan memulai perbincangan mereka. Lara menjelaskan maksud telfonnya kemarin, meneceritakan tentang aktifitasnya di pengolahan sampah. Aria yang tidak pernah berubah sejak pertama kali mereka kenal, senantiasa menjadi pendengar yang baik bagi Lara. Sambil sesekali menimpali ceritanya dengan pengalamannya meliput berbagai macam persoalan lingkungan di seluruh pelosok nusantara. Energi keduanya begitu hangat, pancaran senyum dan tawa yang terpancar setiap kali mereka saling bercerita mengundang senyum dan semangat Dewa Asmara yang sejak tadi bersembunyi di balik meja kasir.

"Ini adalah waktu yang tepat. Dengan menggunakan Panah super double one shot ini, Cinta mereka pasti akan abadi selama-lamanya." 

Lalu Sang Dewa Asmara, menarik panahnya. Matanya memicing seperti menentukan target sasaran yang berada tidak jauh di depannya. Sampai sebuah dering telfon mengagetkannya.

"Halo Sayang. Iya.... Aku lagi di Warung Kopi Asik nih. ketemu sama Lara, temanku. Boleh.. boleh.. nanti aku jemput kamu selesai aku liputan nanti ya." 

Panah sang Dewa Asmara terlepas dari tangannya, menghunus tepat di jantung kedua mahluk yang sejak tadi menjadi target sasarannya. Semua sesuai dengan rencananya. Bahkan Dewa sangat terkejut, Panahnya tepat sasaran. Namun, dia melakukan kesalahan besar. Dia melanggar kode etik dunia Asmara. Sesungguhnya dia tidak bisa memanah dua orang yang satu diantaranya memiliki kekasih. Dan Aria Sena, baru saja mematikan telepon dari sang kekasih sebelum kemudian melanjutkan obrolannya dengan Lara.

BERSAMBUNG... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar