Kamis, 02 Maret 2017

Mencari Pasangan Yang Mau Menerima Status HIV Kita

source : pexels.com
Salah satu kekhawatiran terbesar seseorang yang terinfeksi HIV adalah mencari pasangan. DIsaat kebanyakan orang mengkhawatirkan status social, pendidikan, harta, relasi dan banyak hal lain. Kami yang terinfeksi HIV lebih khawatir tentang persoalan penerimaan status kesehatan. Kebanyakan, termasuk saya, pasti worry banget ditolak atau ditinggal Karena status HIV.. tapi kayaknya ada juga sih yang cuek – cuek aja, mungkin dia gak segalaw saya yang haus akan jodoh (apaan sih, Hahahahaha).

Dulu saat baru mengetahui bahwa saya terinfeksi HIV, saya memutuskan untuk tidak terlalu focus dengan urusan percintaan. Eh, emang dasar ya manusia.. “Aku tak apaaa.. tanpa cinta..” nyatanya, diperhatiin dikit sama orang lain, langsung baper (kebawa perasaan). Saya mulai menjalin hubungan dengan 3 orang pria di 3 tahun awal saya mengetahui status HIV. And guess what, saya memilih untuk berhubungan dengan mereka yang hidup dengan HIV saja. Main aman bahasanya mah, saya gak perlu khawatir dengan adanya penolakan, saya juga gak perlu mengajari mereka apa itu HIV AIDS dan lain sebagainya Karena mereka pun menjalani hidup yang sama dengan saya.

Kesamaan status kesehatan dan nasib sebagai kelompok yang masih saja dipinggirkan, tidak menjamin kelanggengan hubungan (tsahhhhelaaahhhh Bahasa gue). Sama aja lah dengan pasangan – pasangan lain yang pasti ada ketidakcocokan, sehingga kedua belah pihak memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Saya, selalu menjadi orang pertama yang mengakhiri setiap hubungan yang saya jalani. Alasannya bermacam – macam, ada yang tidak cocok, ada yang selalu melakukan kekerasan dalam masa pacarana, ada juga yang tertangkap basah oleh saya masih menggunakan narkoba. Dari semua alasan tersebut, tujuan utama saya kembali menjalin hubungan adalah ingin memiliki kawan yang bisa menjadi tempat berbagi, dan tentunya bisa menyayangi Malika, putri saya. Tapi dengan factor – factor ketidakcocokan yang saya temui, saya jadi berfikir panjang saat ingin kembali memulai suatu hubungan.

Saat kondisi kehidupan sudah jauh lebih baik, baik dari sisi kesehatan, financial dan penerimaan diri akan situasi HIV. Saya memutuskan untuk membuka diri dan berkawan dengan lebih banyak teman yang tidak ada dalam circle HIV. Mereka tidak terinfeksi HIV, mereka tidak memiliki latar belakang pengguna narkoba, kebanyakan sangat awam dengan HIV. Dari sana, saya selalu berusaha menjadi diri saya sendiri. Saya tidak menutup – nutupi bahwa saya terinfeksi HIV, they know me.. they know my story. Awal yang baik dari sebuah hubungan adalah tentunya pertemanan yang baik tanpa adanya embel – embel. Dan pada akhirnya, saya mencoba berhubungan dengan beberapa pria yang tidak terinfeksi dan nyaman – nyaman saja memiliki kekasih seorang yang terinfeksi HIV. Tapi cinta memang tidak bisa selalu dipaksakan, saya yang picky dan sangat perfectsionist ini pada akhirnya mengkandaskan semua hubungan – hubungan tersebut, Karena alasan ketidakcocokan.

Sampai akhirnya saya memutuskan untuk menyerah, capek banget menjalin hubungan yang tidak kunjung menemukan kecocokan. Saat itu saya memutuskan untuk tidak berhubungan dengan siapapun, dan tidak membuat perencanaan – perencanaan apapun kedepannya terkait masalah percintaan. Tapi kita manusia Cuma bisa berencana, dan Tuhan jua lah yang menentukan. Saya kemudian dipertemukan dengan Febby dalam sebuah momen kerja, dimana kami harus sering berkomunikasi. Saking dekatnya, kami jadi banyak ngobrol dan bertukar pikiran soal apapun, bukan Cuma soal pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kami berdua. Febby kebetulan seorang wiraswasta yang menekuni industry kreatif di Kota Bandung, kota kelahirannya; padahal sebenernya dia orang Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Komunikasi yang  intens akhirnya membuat kami dekat, dan memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius.

Eits, hubungan kita berdua ga mulus mulus amat lho. Khususnya Karena Febby bukan ODHA (sudah di tes HIV, hasilnya negative sampai sekarang.. hehehe), dia tidak berasal dari lingkungan aktifisme HIV, sehingga ada beberapa cara pandang serta prinsip yang tentu nya jauh berbeda. Butuh waktu sekitar 1 tahun bagi kami untuk saling mengenal, dan bagi saya yang terpenting adalah bagaimana mendekatkan Febby dengan Malika serta membuat Febby memahami persoalan HIV tidak hanya cangkangnya saja, tapi sampai kedalam. Beruntungnya Febby adalah tipikal orang yang berpikiran terbuka, mau belajar dan mampu menerima perbedaan. Sehingga, proses saling mengenal tadi meskipun tidak mulus.. berjalan dengan baik sampai akhirnya kami berdua memutuskan untuk menikah.

Tantangan yang cukup berat lainnya adalah menyampaikan fakta – fakta mengenai persoalan HIV, bahwa sesungguhnya hidup berdampingan atau menjadi pasangan seorang yang terinfeksi HIV itu gak sulit. Hanya harus tahu, batasan dan aturan mainnya. Saya kemudian memberikan blue print mengenai apa yang biasa saya lakukan setiap bulannya ke dokter, mengenai konsultasi rutin, kemudian ritual minum ARV seumur hidup, lalu rutinitas pemeriksaan darah yang harganya gak murah sehingga saya harus rajin menabung, kemudian kondisi kekebalan tubuh yang lebih lemah sehingga masih ada peluang terkena infeksi dan penyakit lain dari dalam dan luar tubuh sampai ke bagian penting jika mau menikah dan memiliki keturunan.

Sampai hari ini saya gak pernah nanya apakah dia pusing dengan itu semua, (kayaknya sih iya, hahahaha) tapi so far.. meskipun suka rada bingung dan kaget, alhamdulilah Febby mampu menerima dan menjalani kehidupan barunya bersama seorang perempuan yang terinfeksi HIV hingga tahun ke 3 pernikahan. Komunikasi kami berjalan normal dan baik sama halnya dengan pasangan lainnya, meski Febby cenderung lebih pendiam dan tidak banyak bicara -sebanyak saya-.

Sampai di titik ini saya merasa bahwa menjadi seorang yang terinfeksi HIV tentunya memiliki tantangan yang cukup berat dalam hal mencari pasangan. It takes 5 years for me to find the right one. Tentunya dengan bumbu berupa cobaan cobaan kecil yang kita sadari atau tidak. Kunci utama dari semua adalah berfikir jernih, dan mengetahui skala prioritas bagi hidup. Sehingga kalau pas kita putus cinta, kandas harapan menjalin hubungan dengan seseorang tidak lantas membuat kita putus asa dan jatuh sakit. Kita harus tahu bahwa hal yang paling penting dalam hidup ini adalah diri kita sendiri, baru kita memikirkan kebahagiaan orang lain. Harusnya, saat kita yang sudah bahagia saat sendiri tanpa pasangan… kemudian mendapat pasangan, akan menjadi lebih bahagia. Kunci yang tidak kalah penting lainnya adalah kejujuran. Kalau sejak awal kita sudah tidak jujur dengan pasangan kita, ahh mau dibawa kemana hubungan kitaa.. (tsahhh.. ada lagunya lho). Dan jika sejak awal ternyata pasangan gak bisa menerima status kesehatan kita, jangan khawatir, jangan takut dan jangan bimbang.. Masih banyak sekali orang yang bisa mencintai dan menyayangi kita sekaligus menerima kondisi kesehatan kita.

Wis, curhatanya udah yak. Jangan galau – galau lah, edan nanti! Hahaha..

Jaga kesehatan terus, enjoy my blog! LOVEEE!!

2 komentar:

  1. Selamat yo mbak... kisahnya manis hehehe,,,
    Bakalan jd pembaca setia tulisan mbak e ini..

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus