Minggu, 28 Mei 2017

Kerinduan Kerinduan Yang Menyedihkan

sumber : Pexels.com
Jika kamu pernah kehilangan, pasti tahu seperti apa rasanya rindu. Misalkan ternyata harus berhubungan jarak jauh dengan pacar, atau bekennya LDR. Pasti setiap hari rasanya rindu, ingin skype call, menelfon, mengirim pesan teks, atau aktifitas apapun yang bisa mendekatkan kita dengan sang kekasih hati. Bagaimana bila ternyata kita harus berpisah dengan sang kekasih hati alias putus cinta, bagi pihak yang masih memendam cinta, kasih tersebut tidak akan hilang dan akan menimbun kerinduan. Karena kita sadar, kita bisa melakukan apapun untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengannya, namun apa daya, sudah tidak ada cinta disana yang membuat segalanya begitu hampa. Dan obat bagi mereka yang putus cinta adalah kenangan - kenangan. Karena dengan mengingat kenangan tersebut, rasanya akan jauh lebih baik. 

Dalam kasus LDR dan putus cinta, semua mempercayakan kekuatan cinta. Apapun yang terjadi, bagaimanapun jarak dan waktu memisahkan, semua akan tetap terasa begitu hangat karena cinta itu ada. Saya pernah mengalami semuanya, tentu kalian juga. Beberapa kali menjalin kasih dengan pria, LDR, putus nyambung, putus beneran. Semua rasanya lucu.. rasa rindu yang menggelitik perut dan membuat otak seperti berhenti untuk berfikir dan memiliki nalar. Semua yang dilakukan berdasarkan insting dan rasa, kadang bisa terlihat begitu gila.

Saya ingat betul saat masih pacaran dengan Abet (almarhum Ayah Malika), dimana hubungan kami kompleks. Mulai dari putus sambung, dipisahkan oleh jeruji besi, sampai akhirnya kematian memisahkan kami berdua. Semua rasanya tidak bisa saya lupakan. Dari mulai saat  kami putus sambung, rasanya saya ingin memencet tombol di telfon dan menghubungi pria itu. Tapi urung saya lakukan, karena gengsi. Karena status kami saat itu sedang putus. Saya bahkan sering diam - diam menggunakan motor, melewati rumahnya atau tempat tongkrongannya, tentunya menggunakan helm supaya samar tidak terlihat. Hanya supaya saya bisa melihatnya dari kejauhan. Lain hal lagi saat hubungan kami terpisahkan jeruji besi saat dia tertangkap tangan sehabis membeli narkoba. Tidak ada rasa gengsi kala itu, seharusnya saya bisa leluasa bertemu dengannya tapi itu tidak terjadi. Peraturan di penjara dan batasan dari pihak keluarga memberi banyak batasan bagi kami. Sehingga surat menyurat menjadi cara kami menjawab kerinduan - kerinduan tersebut.

Sampai akhirnya kerinduan itu hanya bisa dikirimkan melalui doa. Delapan tahun sudah setiap doa saya kirimkan di kala rindu menerjang, rasanya sangat aneh. Tapi kau tak bisa berbuat apapun untuk memperbaiki semua, atau membuat rindumu terasa jauh lebih baik. Selama sekian tahun membangun kekuatan untuk kembali bangkit dan tidak hancur dalam tangisan kerinduan. Sehingga pindah ke Bandung menjadi salah satu keputusan paling tepat yang saya ambil. Saya tidak harus melewati setiap tempat yang pernah kami lalui, saya tidak harus bertemu dengan orang - orang yang selalu mengingatkan saya dengan dia, saya tidak harus duduk di bangku restoran atau warung tenda tempat kami biasa makan. Bayangkan, seluruh sudut kota tersebut mengingatkan saya akan pria ini, wajahnya, lagaknya, suaranya, sikapnya, harum tubuhnya dan semua kenangan kenangan akan dirinya.

Delapan tahun waktu yang tidak sebentar untuk menjadi sosok yang kokoh dan lebih kuat saat ternyata harus kembali ke kota tempat tinggal yang saya bicarakan tadi. Maklum, ibu saya kan tinggal disana. Masa saya harus terus menangis setiap kali pulang. Delapan tahun melatih saya menjadi sosok yang tangguh dan tidak cengeng. Namun, satu bulan lalu kepergian Sir Miguel Arkananta kembali meruntuhkan semua tembok yang saya bangun dengan segala upaya dan kerja keras.

Saya harus kembali lagi belajar berdiri seperti saat saya hancur delapan tahun silam. Dan rasanya sangat tidak mudah. Setiap sudut rumah, tempat makan, pakaian yang saya kenakan bahkan bau rumah sakit mengingatkan saya akan proses kehamilan dan wajah Miguel setelah lahir. 37 Minggu, 40 Jam waktu yang tidak lama, namun juga tidak sebentar. Semua hal tentang kehamilan, bayi, persalinan, hal medis kini selalu mengganggu pikiran - pikiran saya. Membuat saya kembali menangis, membuat saya membayangkan kembali hanya ada satu jembatan yang dapat mengirimkan kerinduan saya padanya, yakni doa. Persis seperti saat Abet meninggalkan kami.

Kerinduan itu nyata indahnya, rasa yang ada senantiasa membuat kita tersenyum tak ada habisnya, dan kerap terjawab saat kita mendengar suara diujung saluran telfon, membaca balasan pesannya, atau hanya dengan memandangi gambarnya. Namun dengan Miguel sangat berbeda. Saya hanya mendengar tangisnya saat dia lahir, suaranya samar karena memang dia kekurangan oksigen saat lahir. Saya tidak pernah melihat dia bergerak secara langsung, hanya melihatnya dari layar handphone, melalui video yang diabadikan oleh sang ayah selama Miguel dirawat. Saya hanya mendapati diri saya bersama kenangan kenangan saat hamil, gerakannya di dalam perut, tendangannya, muntahan demi muntahan yang saya keluarkan dari mulut saya di trimester pertama, suara detak jantung dan gambar gambar dari layar alat ultra sonografi. 

Kerinduan itu kemudian menjadi lebih sulit, tidak seindah yang pernah saya rasakan. Setiap rindu menggambarkan perasaan bersalah yang saya limpahkan kepada diri saya. Setiap rindu membuat saya akan menangisi dan menyesali apa yang pernah saya lalui, mengapa saya tidak melakukan ini dan itu, atau seharusnya saya begini dan begitu. Selama lebih dari 30 hari pasca kepergiannya, saya belajar untuk hidup. Paling tidak, saya harus tetap hidup untuk Malika dan Febby suami saya. Meskipun dalam hidup yang saat ini saya kembali jalani, setiap tarikan nafas terasa lebih berat, setiap langkah terasa mengganjal, dan saya belum siap untuk bertemu dengan lebih banyak orang yang dulu mewarnai kehidupan saya.   

Benar apa yang Melly Goeslaw tulis dalam lirik lagunya, 
"Kata orang rindu itu indah, namun bagiku ini menyiksa.."

1 komentar: