Senin, 10 Desember 2018

Saat tidak bisa memilih antara isu HIV atau Anak

Beberapa hari lalu saya curhat panjang lebar di instagram story. Tentu saja karena curhatnya tentang hal sedih maka tidak saya simpan. Selain curhat di story, saya juga membuat beberapa keputusan yang bagi saya sebenarnya sangat tidak menyenangkan seperti menghapus bio atau profille di instagram beserta beberapa story yang saya highlight tentang HIV. Lho, ada apa sih? Pada dasarnya ini semua soal HIV HIV dan HIV. Saya terkadang berfikir, ini sudah sembilan tahun tapi saya masih terus bersembunyi dibalik selimut ketakutan saya sendiri. But yeah.. that's the pathetic life of being HIV positive person. Even saat saya sudah punya sejuta keberanian, masih tetap saja ada hal hal yang selalu saya pertimbangkan sebelum saya mengambil sebuah tindakan.

Kejadiannya semua bermula pada saat Malika, anak saya bercerita ada teman di sekolahnya yang bertanya "Malika, mama kamu HIV ya?". Rasanya detik itu dunia saya runtuh. Tapi saya tahu, saya ga bisa langsung tenggelam dalam reruntuhan itu dan harus segera mengambil sikap. Lantas saya langsung bertanya kepada Malika apa jawabannya "Yaaa.. aku terpaksa bohong. Aku bilang umi ku tidak HIV. Aku takut kalau teman - teman di sekolahku tahu, nanti kejadiannya seperti di berita - berita yang kita lihat". 

Saya kemudian mengusut kejadiannya lebih dalam. Ternyata hal itu terjadi karena saya mencantumkan di bio bahwa saya 'A Woman Living with HIV'. Dan meskipun instagram sudah kunci, tetap saja semua orang yang cuma lihat (tidak follow) bisa membaca keterangan di bio tersebut. DAMN! I fuckin hate the fact kalau saya gaptek banget. Sedih. Kemudian Malika menawarkan tiga opsi solusi. Yup, Malika yang menawarkan solusi. Solusi pertama adalah, dia meminta saya untuk mengganti tulisan di bio saya tersebut dengan kata - kata yang lebih soft dan gak ekstrim membuka status HIV. Kedua, solusinya adalah ngeblock semua teman di instagramnya (this one is not help really, I still dont know how many should I block). Solusi ketiga, tidak memention atau mentag akun instagram saya melalui akun instagramnya.

Ketiga opsi yang diberikan sangat logis tapi membuat saya sedih. It makes me feel like im a worst mother because I feel that she is now insecure, she's not feeling safe. Tapi kemudian yang terjadi malah dia berusaha menenangkan saya dan bilang bahwa hal ini harus dia lakukan supaya saya bisa tetap melakukan hal yang harus saya lakukan (mengkampanyekan HIV AIDS) tanpa harus menganggu kehidupannya di sekolah.

Thats all stories about my 11 years old daughter who are living with her HIV positive mother.

Sekeras -kerasnya saya bicara tentang betapa pentingya edukasi HIV, ternyata ada banyak hal yang masih harus saya jaga. Salah satunya adalah lingkaran HIV ini belum bisa masuk ke area kehidupan Malika. Kenapa? Ya karena negara ini belum punya sistem perlindungan pada kami yang hidup dengan HIV ataupun anggota keluarga kami yang akan terdampak langsung. Jikalau terjadi sesuatu dengan mereka, negara rasanya gak mau capek untuk memberikan edukasis kepada sekolah atau pihak orangtua lainnya tentang HIV gak mudah menular lho bapak ibu, anda masih bisa hidup berdampingan dengan mereka.

No. The stigma and discrimination about the person, the virus, and the situation is so bad. very bad.

Tentunya suatu hari kelak saya berharap bahwa kami bisa hidup apa adanya dengan persoalan HIV yang merupakan bagian dari keluarga ini selama bertahun - tahun. Tapi entah upaya apa yang harus dilakukan agar dapat mewujudkan mimpi tersebut. Sad sad and super sad. Sampai tulisan ini dibuat, saya masih terus berfikir saya harus apa.

Tentu saya tidak bisa memilih, apakah saya harus meninggalkan semua kampanye yang HIV yang kerap saya galakkan, atau  anak.. ya gak mungkinlah masa saya meninggalkan anak. Udah yah. sad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar