Selasa, 28 Januari 2020

Farewel Mikey


Is it death that I have to face to feel alive?
Suatu hari Abet pernah bertanya padaku dan langsung ku respon dengan marah. “Ngaco ah” begitu kataku padanya. Tak lama kemudian dia meninggalkan kami selamanya. Dan semenjak hari itu kehidupan kami berubah, kehidupanku berubah. Langit menjadi bumi.

Ada sesuatu tentang kematian yang kemudian membuatku selalu berhenti.
Untuk menangis, mengenang, melihat kembali ke belakang, memandangi foto – foto, video serta surat yang pernah kami tulis dan bagi bersama. Kematian dalam sedetik membuatku berhenti dan mengevaluasi semuanya. Apa yang terlewat? Rasanya luar biasa, seluruh rasa tumpah saat kematian datang.

Is it death that we have to face to feel alive?
Akhirnya pertanyaan itu aku kembali tanyakan. Saat dua temanku kehilangan ayahnya pada waktu yang tidak berjauhan di awal tahun ini, saat tiga tahun lalu Miguel hanya bisa bertahan selama empat puluh jam tanpa bertemu denganku, saat sebelas tahun lalu Abet memilih pergi dan tidak bertahan, atau saat siang kemarin Mike akhirnya melepaskan semua rasa sakitnya.

Kematian kembali membuatku berhenti dan menangis.
Sebuah energy besar yang selalu membuatku kembali melihat orang – orang di sekitarku yang masih hidup tapi lama tidak kusapa. Yang masih hidup tapi sering kali kuabaikan dan kulupakan. Kematian kemarin, adalah nyawa baruku pagi ini. Aku merasakan udara yang kuhirup begitu dingin hingga menusuk. Sedikit sesak, namun aku masih bisa merasakannya. Kematian kemarin adalah amunisiku untuk melanjutkan kehidupan hari ini. Sesekali air mata masih menetes kadang juga bisa sangat deras tidak tertahankan. Tapi tidak apa. Kematian menyediakan semua ruangnya untuk kita mengolah rasa. Rasa yang seringkali tidak bisa kita tumpahkan kala kehidupan mendominasi dengan segala euforianya.

Dear Mikey Mike, would you please send my love through your hug to all the person I love in heaven. I am gonna miss you and your hug every month Mikey! Rest in Love!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar