Jumat, 18 November 2016

Daftar Kecemasan Kehamilan (saya) si Ibu HIV+

Minggu ini, si Jabang bayik sudah memasuki usia kandungan 11 minggu, YEAY! Saya sangat bahagia, sekaligus deg-deg an setengah mati. Karena, makin hari, kondisi tubuh saya ini semakin ndak karuan. Lho? Gak Karuan gimana? Same problem with soooo many pregnant women in their first semester, rasa mual dan tidak nafsu makan kerap kali menghantui, bahkan kini bukan lagi menghantui.. udah jadi penghuni rumah kami. Selain itu, tiada hari tanpa muntah, dan itu membuat saya turun berat badan cukup drastis, dari awal kehamilan di BB 52 Kg, sekarang berat badan saya hanya 48 Kg. Menurut dokter, hal ini masih amaann. Yang penting, saya gak dehidrasi, masih mau makan walau cuma secuil secuil, dan ga ada tanda - tanda pelemahan di beberapa organ vital.

Hasil USG si jabang bayik pun looks sooo Normal, saya sangat Happy melihat dia di layar alat ultrasonografi. Alhamdulilah kedua kaki dan kedua tangannya lengkap sempurna, bergerak lincah saat alat usg menempel di perut saya. Rasanya sangat mengharukan, meskipun hanya bisa memandangi si jabang bayi dari monitor saja. Kebahagiaan dan kegelisahan menahan rasa mual setiap harinya kini bergabung menjadi satu, ditambah ada satu rasa cemas yang mendadak hadir di tengah - tengah semua perasaan itu. Meski ada orang yang bilang, santai aja jangan dipikirin.. pasti ada jalannya. Atau ada juga yang bilang, semua bakalan baik - baik aja yu.. relaks. But NO, saya ga bisa nyantai. Saya harus memikirkan jalan keluar dari kecemasan saya, salah satunya dengan membuat daftar kecemasan di blog saya ini. Jadi tulisan saya tidak bermaksud akan membuat orang = orang yang membaca jadi ikut cemas, tapiiii.. Mudah - mudahan setelah tahu apa saja yang saya cemaskan, saya tahu bagaimana cara mencari jalan keluarnya.

1. Sudahkah saya ditangani oleh dokter yang Tepat? Apakah ada dokter kandungan lain yang bisa menangani perempuan HIV+ seperti saya? 

Sampai  hari ini, saya sudah 3x kontrol ke salah satu dokter yang merupakan spesialis Fetomaternal. Kali pertama menemui beliau ada di RS di daerah Arcamanik, lalu 2 kali kunjungan selanjutnya saya berkonsultasi pada beliau di RS tempat rujukan HIV saya. Pilihan berkonsultasi pada beliau adalah, karena 3 orang dokter tim HIV merujuk saya untuk bertemu beliau, karena beliau adalah tim dokter di pokja HIV RS tersebut. Sehingga idealnya, beliau sudah sangat memahami situasi HIV saya ini. Nah, Dari 3x pertemuan tersebut, ada rasa tidak puas yang mengganjal di hati.

Tanpa mengurangi segala rasa hormat pada sang dokter, saya merasa gak cocok karena memang karakter dokter yang kurang komunikatif. Hanya satu arah bicara, sedikit bicara bahkan tidak menyampaikan tips tips dan informasi seputar kehamilan. Terakhir kali kontrol, USG hanya dilakukan sebentar sekali.. seperti tidak memberi kesempatan pada sang ibu untuk melihat sang jabang bayik lebih lama. Kemudian, beliau juga tidak menyampaikan berapa panjang dan ukuran si bayi saat ini. Saat saya tanya, baru beliau menyampaikan informasi tersebut. Saya gak bisa membayangkan kalau saya adalah orang yang pasif dan pendiam.

Jadi kami sekarang sedang mencari beberapa alternatif dokter yang tentunya dapat membantu saya sebagai ibu yang mengidap virus HIV. Sementara sudah ada 2 nama, mudah2an minggu besok, kami bisa mulai menyambangi dokter - dokter tersebut. Saya selalu percaya, komunikasi dokter dan pasien adalah salah satu kunci keberhasilan berjalannya perawatan pasien selama sakit atau seperti saya ini yang sedang hamil.
2. Dimanakah RS akan menjadi tempat saya melahirkan nanti? Apakah ada RS lain, yang meskipun bukan RS rujukan, tapi dikenal sebagai RS Bersalin.. mampu membantu proses melahirkan saya?
Sebenernya, rumah sakit rujukan khusus HIV di Bandung tidak hanya di satu RS saja. Ada banyak pilihan yang tentunya juga sama baiknya. Sudah 2x ini saya ke poli special kandungan di RS rujukan HIV saya saat ini, dengan alasan karena rumah sakit ini merupakan tempat saya mengakses ARV dan tempat rujukan saya mengkonsultasikan persoalan HIV. Tapi.. Poli khusus HIV dan ppoli kandungannya jauh berbeda pelayanannya. Kalau di Klinik HIV nya, tentunya semua layanan tersedia dengan sangat baik, all in one saya menyebutnya. Semua bisa kita akses disana tanpa harus mondar mandir.

Tapi di Poli kandungannya, saya merasa kurang puas. Mungkin karena pada saat kehamilan pertama saya konsultasi dengan bidan yang atmosfirnya sangat nyaman bagi ibu hamil ya. Saya tidak puas, saat ingin mencetak hasil usg di dua kali kunjungan, namun kertas untuk cetaknya tidak tersedia dalam mesin usg tersebut. Padahal saya akan membayar, bukan minta cuma - cuma. Seperti tidak siap. Lalu suster yang mendampingi dokter juga tidak terus mendampingi di dalam ruangan, dia bergantian sambil mengurus penerimaan pasien di luar ruang periksa.

Selain alasan - alasan yang (mungkin dianggap beberapa orang) sepele, saya juga merasa tidak sreg jika harus melahirkan disini. Sehingga, jika minggu depan kami berhasil menemui dokter lain, kita coba komunikasikan peluang melahirkan di rs lain dengan kondisi seperti saya.

3. Bagaimana kesiapan tim dokter menangani proses kelahiran saya (yang HIV+)?
Ini juga yang menjadi tanda tanya terbesar saya. Selama 5 tahun berada di Jakarta dan mengetahui proses pelayanan kebidanan di RSUP Fatmawati, saya agak sedikit gamang dengan proses pelayanan kebidanan di RS di Bandung. Saya tidak tahu menahu dan belum mendapat begitu banyak masukan dari mereka yang HIV, dan pernah melahirkan di Bandung. Ada ribuan cabang - cabang pertanyaan yang ada di bawah pertanyaan nomer 3 ini.

- Apakah tim dokternya akan memperlakukan saya layaknya pasien yang akan melahirkan lainnya
- Apakah tim dokternya akan memperlakukan bayi saya tanpa stigma dan diskriminasi
- Apakah tim dokternya mengijinkan saya untuk memberikan ASI kepada bayi saya? (tentunya dengan syarat dan ketentuan sesuai dengan kondisi kesehatan saya nantinya)
- Apakah bayi saya, setelah lahir nanti akan diberikan profilaksis tepat waktu, karena mungkin saya ga bisa lihat setiap saat?
- Apakah box bayi bisa diletakan di dekat ibu, supaya kami bisa mengurus si bayi.. memberikan profilaksisnya, menyusui setiap waktu?
- dan masih banyaaakkkk sekali pertanyaan di kepala dan hati saya..

4. Kapan saya harus mulai berkomunikasi dengan dokter anak, untuk persiapan penanganan bayi pasca dilahirkan (terkait Profilaksis ARV dan pilihan saya menyusui) ?
Kalau poin nomer 4, sebetulnya saya sudah mendapat jawabannya. Saya berencana untuk berkomunikasi langsung dengan dokter anak yang biasa menangani persoalan HIV. Saya akan bertanya tentang possibility menyusui, pemberian provilaksis, dan bagaimana jika saya melahirkan di RS yang tidak menyediakan ARV.. bagaimana saya dapat mengakses ARV profilaksis pada si bayi. Nah soal yang ini akan saya update segera.. malam ini kami berencana bertemu dengan sang dokter. Wish us luck ya!

5. Apakah kami akan menggunakan BPJS atau akan membayar dengan biaya pribadi, berapa jumlahnya? Apakah kami sudah siap?
Kalau pertanyaan nomer 5, memang masih menjadi sedikit kebimbangan (yang seharusnya tidak lagi menjadi bimbang). Tentunya pilihan pembayaran Rumah Sakit, akan kami ketahui segera kalau sudah benar - benar mantap memilih dokter dan RS pilihan untuk melaksanakan persalinan ya. Jadi, mungkin setelah mendapat semua jawaban dari kerisauan2 saya di beberapa nomer diatas, kami (saya dan suami) akan membicarakan lebih detail tentang persoalan ini.

Nah, rasanya lega sekali sudah menuliskan kecemasan - kecemasan ini. Karena kemudian saya bisa memetakan, apa yang prioritas harus saya dan suami lakukan saat ini. Semoga kedepannya kami mendapatkan keputusan yang baik, dokter yang memuaskan dan rumah sakit yang bisa membantu proses penanganan kehamilan ibu HIV seperti saya ini. Terima kasih ya yang sudah setia baca blog saya, semoga ga bikin kalian semua ikut pusing dan cemas. Karena saya baik - baik saja, cuma pusing dikit.

Keep reading my blog, and Love ya!

1 komentar: