Sabtu, 09 Juli 2016

Hari Raya Idul Fitri, Cerita Lebaran 2016

Maaf Lahir Batin dari kami!
Selamat Hari Raya Idul Fitri Teman!!
Mohon Maaf Lahir dan Batin, jika selama ini ada tulisan - tulisan saya yang gak beres, nyeleneh atau menyakiti perasaan teman sekalian yang membacanya. Sesungguhnya semua yang tulis disini jujur semua, gak ada yang dibuat - buat ataupun dikarang, tapi gak ada satupun yang punya maksud khusus untuk menyakiti atau menjatuhkan seseorang. Dimaafkan kan? Alhamdulilah. terima kasih ya! 

Tulisan kali ini akan bercerita mengenai Hari Raya Idul Fitri ala keluarga saya. Tahun ini ada yang berbeda dan sebenernya bikin sedih sih, cuma gak apa. Bukan masalah sama sekali. Ada hal - hal yang bisa selalu kita dapatkan dengan mudah, tapi ada juga hal hal yang gak bisa kita dapatkan, gak bisa raih.. dan tentunya ada alasan khusus, kenapa sampai kita gak bisa mendapatkan itu. Konon Ali Bin Abi Thalib pernah berkata " Jangan risau dengan nikmat yang belum kita miliki, tapi risaukanlah nikmat yang belum kita syukuri". Terus apa yang beda dari lebaran tahun ini? Yang beda, saya gak pulang ke Pamulang, gak ketemu sama Mama dan Papa. Walaupun diluar hari Raya Idul Fitri, kami masih intens bertemu, tapi jauh dari kedua orangtua ada rasa berbeda. Jadi apa aja yang beda ya...Yuk, Selamat menikmati tulisan hari ini ya.


sepulang shalat eid, selfie di tengah jalan :p
1. Lebaran dengan Sederhana

Sebetulnya, setiap tahun tidak pernah ada yang berbeda saat lebaran. Khususnya beberapa "kebiasaan buruk" yang di budayakan oleh kebanyakan orang sudah mulai saya tinggalkan, khususnya soal bermewah-mewah selama Ramadan dengan membeli panganan secara berlebihan dan berbaju baru di hari raya. Saya gak bilang itu buruk, namun bagi saya pola hidup konsumtif dapat mempengaruhi niat kita beribadah.

Yang awalnya kita akan "menahan hawa nafsu" eh kok malah meng-amini hawa nafsu. Jadi Ramadan tahun ini, alhamdulilah.. suami dan anak saya dapat bekerja sama dengan baik, makan seadanya dan secukupnya. Soal Baju lebaran, alhamdulilah sudah kami tinggalkan sejak 3 tahun belakangan, baju yang saya dan suami serta anak gunakan, adalah baju - baju lama yang masih layak dan sopan untuk digunakan saat bersilaturahmi dengan keluarga. Jadi bagi saya, ini adalah sebuah prestasi yang harusnya dijadikan tradisi.

solat bertiga aja, papinya di shaf laki - laki dong!
2. Shalat Ied Tanpa Malas - Malasan

Kami sekeluarga menjalankan ibadah Shalat Eid di jalan utama depan rumah kami, tepatnya di jalan veteran. Terakhir kali saya solat di jalan raya sebesar ini adalah saat kecil waktu kami masih tinggal bersama almarhum kakek dan nenek di komplek cipulir permai dan saat masih tinggal di rumah mama papa di Pamulang. Sebelum menikah, ritual solat ini bisa jadi sangat rempong.

Lho kenapa rempong, karena solat ini dilaksanakan cukup pagi jam 7, sedangkan saya punya kebiasaan buruk selesap shala subuh pukul 5 pagi, kembali tidur dan bakalan susah banget dibangunin. Maka mama biasanya jadi penolong dari segala penolong, beliau tidak akan tidur selepas solat dan pukul 6 sudah berangkat untuk menyiapkan sajadah buat 2 anak perempuannya yang masih mandi lah.. ganti baju lah.. malas malas lah. Tahun ini dan 2 tahun kemarin alhamdulilah karena ada di rumah sendiri, di bandung saya wajib sigap gak boleh mager - mager. Pukul 6.30, saya sudah berada di tempat solat dan alhamdulilah ada di shaf depan bersama Malika.

Mama, Papa, Mas dan adek nun jauh di Pamulang sana
Bersama keluarga inti dari suami di Bandung

3. Sungkeman Dengan Mama Papa

Ini yang bikin saya sedih itu lhooo.. Huhuhu. Sejak H-3, kami sudah tahu bahwa tidak mungkin untuk memaksakan pergi ke Jakarta (karena satu dan lain hal yang gak usah diceritain disini). Sehingga saat menyampaikan kepada keluarga dirumah bahwa kami gak bisa pulang kok ya tetep rasanya sedih.

Karena tentu rasanya beda, biasanya kami bersungkeman memohon maaf kepada bapak dan ibu atas segala kesalahan yang sudah saya buat selama ini (walaupun kans untuk mengulangi lagi setiap kesalahan tersebut tetap ada :p). Dan tahun ini, saya hanya memohon maaf pada suami dan anak, itu pun gak pake tradisi duduk bersimpuh dan memohon maaf, cuma salaman dan cipika cipiki. Hmm.. sedih ya.

Mas, Adek, Mama dan Papa (tanpa saya..)
Keluarga besar Mama di Bintaro (gak ada saya juga...)
4. Tidak Punya Tetangga Untuk Bersilaturahmi :(

Kalau di rumah mama papa di Pamulang, ada kebiasaan yang selalu saya nantikan selepas solat eid. Yakni bersilaturahmi dengan warga satu rukun tetangga. Jadi kami akan memenuhi gang - gang dan mengetuk tiap pintu rumah tetangga untuk bersalam - salaman, tradisi saling memberi "salam tempel" lebaran juga menjadi yang paling dinanti oleh anak - anak kecil termasuk saya saat itu. Karena kebiasaan silaturahmi dengan tetangga ini sudah turun temurun di komplek sana, maka tiap tahunnya kita bisa melihat perbedaan wajah, tinggi badan, serta perubahan lainnya dari tiap individu di tiap keluarga. Ada yang sudah menikah, membawa 1, lalu 2 dan seterusnya setiap tahun. Kita juga jadi bisa tahu, ada anggota keluarga dari tetangga kita yang sedang sakit, atau dalam keadaan kesusahan. Di Bandung, saya tinggal di tengah kota, di samping kanan dan kiri rumah kami adalah Puskesmas Tamblong, Rumah Sakit Bungsu, Toko Batik dan Toko Meubeul, dan kesemuanya sudah tentu tutup saat hari raya. Sehingga ndak ada ritual berkeliling kampung seperti dulu.

Bersama para sepupu dan keponakan dari suami
5. Jadi Tuan Rumah, Pusat Berkumpul Keluarga Besar

Salah satu perbedaan yang menonjol saat berlebaran di Bandung adalah keluarga besar suami akan datang kerumah kami di Jalan veteran. Yup, jadi tuan rumah. Jadi tempat berkumpul, dari pagi hingga sore. Sehingga ibu mertua saya akan membuat makanan dan menyiapkan panganan lainnya untuk disuguhkan kepada keluarga besar serta para tamu. Menyadari hal tersebut, saya berinisiatif untuk membantu memberikan suguhan bagi para tamu.

Dikarenakan kemampuan saya membuat "makanan dan kue kue lebaran" sangat buruk, lebih memilih membeli ketimbang membuat, maka saya manfaatkan kemampuan yang saya miliki, yakni membuat puding cokelat. Dengan kemasan plastik cup dan tutupnya, saya membuat hampir 80 cup puding cokelat untuk para tamu dan.. alhamdulilah ludess, laris manis dan mendapat pujian (ehem).. enak yah.. susu nya kerasa banget.. fla nya resepnya apa. saya pingin jawab ada di youtube kok, tapi gak jadi hahahaha. Perbedaan ini yang membuat saya cukup happy, karena biasanya.. kami sekeluarga akan datang ke beberapa rumah keluarga besar, sehingga harus menyiapkan kendaraan. Karena ayah ibu gak punya mobil, biasanya kita akan memanggil taksi atau konvoi menggunakan motor.

Bersama keluarga besar Anwar Munaf
6. No Sungkeman dengan keluarga besar (lagi) :(

Mungkin karena kami adalah keluarga Jawa maka tradisi sungkeman akan menjadi tradisi wajib yang gak boleh dihilangkan oleh anak cucunya. duh saya kok sedih yah baca kalimat pertama ini.. tiba - iba kepikiran kenapa gak sungkeman sama suami dan anak selepas solat ied :( --nah dari jaman kecil, hingga kami semua dewasa, biasanya kami berkumpul di rumah kakek nenek atau kakak tertua dari ayah saya (karena kakek dan enenk sudah meninggal).

keluarga papa merupakan keluarga besar, dia memiliki 6 orang kakak beradik yang masing - masing memiliki 3 atau 4 orang anak dan sudah memiliki anak lagi yang rata - rata punya 2 atau 3 anak juga. Kebayang kan ramenya. Nah biasanya, saat sudah kumpul, semua akan duduk bersimpuh lesehan di ruang tengah. Lalu Kakek atau kakak tertua papa, akan membuka dengan doa dan wejangan, lalu dilanjutkan dengan sungkeman berkeliling. Sungkeman akan dilakukan berdasarkan urutan yang tertua sampai yang termuda. Sungkemannya gak main - main (kecuali pas dibagian bocah - bocah cilik yah), semua bisa berlinangan air mata. Bukan air mata buaya lho, saya tidak akan pernah lupa melihat wajah ayah saya saat bersimpuh di pangkuan almarhum ibundanya.

..... sedih
dan tahun ini gak ada sungkeman.

7. Kebiasaan Saling Memberi 'salam tempel'

Ini adat dari mana dan siapa yang memulainya saya gak pernah tahu. Yang saya tahu, sejak kecil saya sangan menantikan hari raya lebaran karena akan ada uang kaget yang diterima kami anak piyik -piyik. Kalau kata ayah dan ibu saya, itu merupakan hadiah karena sudah berpuasa penuh selama 1 bulan. Maka biasanya, dulu sebelum dikasih uang saya sering ditanya "Puasanya penuh gak? ada bolong nya gak?" jika saya jawab "Penuhhhh.." maka saya akan mendapat uang. Meskipun kalau gak jawab dan cuma mesam mesem aja juga tetep akan dikasih sih. Kebiasaan mendapatkan uang lebaran ini sudah tidak terjadi pada saya sejak menikah pertama 9 tahun silam. Kebiasaan tersebut bergeser, ke Malika putri saya yang biasanya dalam 3 hari silaturahmi bisa mendapat uang yang sangat banyak. Selain itu, untu memelihara keseruan lebaran, kami juga berinisiatif untuk menyisihkan rejeki kami untuk memberi uang lebaran kepada keponakan - keponakan yang belum bekerja.

Numpang kece di ruang tamu pa wali
8. Lebaran sama Ridwan Kamil! 

Nah, yang paling kontras perbedaannya adalah yang poin terakhir ini. Semenjak tinggal di Bandung, kami sekeluarga rutin untuk menyambangi Pendopo Walikota Bandung, yang selalu membuka rumah dinasnya untuk bersilaturahmi dengan seluruh warga Bandung. Biasanya selepas solat Eid, warga bisa hadir dan datang ke Pendopo. Selain bisa bersalaman dan selfie bareng pak wali beserta istri, kita juga bisa mencicipi hidangan lebaran khas Bandung seperti Mie kocok dan Baso tahu. Alhamdulilahnya, karena suami mengenal kang emil secara personal, kami selalu mendapat kesempatan untuk ketemu beliau di backstage alias ruang tamu pendopo. Tujuan dari open house ini, memang beliau ingin bertemu langsung dengan warga dan (mungkin) kita bisa sekalian ngomong sama beliau kalau ada persoalan urgent yang harus beliau tangani, semoga mas dan mbak asistennya siap mencatat ya. 

Nah, kerasa banget kan yah bedanya lebaran di Bandung dan Jakarta. Tapi dimanapun kita berada saat hari raya, cinta dan kasih dari kedua orangtua serta kerabat dan saudara akan tetap terasa di hati. Selain itu, momen hari raya yang disebut - sebut hari kemenangan harusnya jangan disalah artikan. Momen kemenangan tentunya hanya dirasakan sebagai suka cita bagi mereka yang benar benar khusyu mengikuti tempaan dan pembelajaran selama 30 hari Ramadan. Sehingga di bulan syawal dan selanjutnya, kita siap memelihara kebaikan, ibadah, mengendalikan hawa nafsu yang sudah kita lakukan di Ramadan. Momen hari raya ini sebaiknya kita pelihara sebagai ruang silaturahmi dengan sanak keluarga, yang mungkin gak bisa kita dapat di bulan - bulan dan hari lainnya.

1 komentar:

  1. tahun ini lebaran agak sedih karena adik suamiku gak bisa datang dan batal foto bersama keluarga

    BalasHapus