Sabtu, 16 Juni 2018

Perubahan Tradisi Ramadan dan Hari Raya

Sudah waktunya menghilangkan kemeriahan dalam hari raya. Bukan berarti tidak bersyukur, namun buat apa berlapar-lapar puasa, namun semua hawa nafsu yang dilatih kembali menjadi liar saat bulan berpuasa itu berakhir. Tahun ini menjadi salah satu tahun terbaik saya untuk belajar kembali makna keikhlasan. Dan biasanya, puasa menjadi momentum bagi setiap orang untuk melatih dirinya agar menjadi pribadi yang lebih dapat mengontrol hawa nafsu. Tapi kali ini rasanya benar - benar berbeda.

Berbeda karena saya dengan keluarga kecil saya pada akhirnya dapat perlahan - lahan mempraktekan makna puasa. Setelah saya ingat - ingat semua ritual hari raya yang diterapkan ibu saya sejak kecil, malah perlahan saya tinggalkan. Dan kemudian kami memilih jalan sendiri. Kebiasaan apa sajakah itu? Ini dimulai dari menu makan sahur dan berbuka puasa, shalat teraweh dan tadarusan, berzakat dan bersedekah, hingga persiapan hari raya seperti baju baru, tradisi mudik dan makanan hidangan hari raya. oiya, sebelum diterusin bacanya.. harap diingat cerita ini merupakan opini pribadi saya tanpa bermaksud untuk menyinggung pihak manapun ataupun menjadi upaya untuk riya atau menyombongkan diri. Enjoy aja yak, jangan serius - serius.

1. Menu makan sahur dan berbuka puasa
Selama tumbuh dan besar dalam rumah ibu dan bapak, saya selalu terbiasa dengan beragam persiapan yang luar biasa. My mom is a perfectsionist, serius dan terkonsep untuk urusan rumah tangga. Hingga kadang, saya ngerasa ibu saya selalu ingin terlihat sempurna di mata kami anak - anaknya. Seperti kebiasaan minum susu saat sahur, makanan dengan menu lebih dari satu macam baik saat sahur dan berbuka. Serta hidangan berbuka puasa yang hampir tidak pernah sama setiap harinya. Keren banget deh doi. Hal itu kemudian mengajarkan saya menjadi seseorang yang sedikit mirip dengan dirinya.

Setelah menjalani pernikahan pertama, kebiasaan tersebut kemudian hilang. Saya tinggal bersama dua belas orang dalam satu rumah. Yup, dua belas orang itu kurang lebih ada lima kepala keluarga. Di tempat itu saya tidak bisa melakukan apa yang dilakukan oleh mama. Saya harus sering legowo untuk tidak bermewah - mewah. Karena ada banyak kepala yang mungkin tidak bisa menikmati apa yang saya makan. Kami lebih memilih udunan (patungan) kepada ibu mertua saya dan untuk selanjutnya mempercayakan kepadanya, menu apa yang akan kami nikmati esok hari.

Kebiasaan itu kembali berubah setelah suami pertama meninggal, kembali ke rumah mama dan akhirnya menikah lagi pada tahun 2014. Bandung menjadi rumah bagi saya dan Malika. Untuk pertama kalinya setelah sebelas tahun menjalani kehidupan berumah tangga (dengan dua orang pria), saya memiliki rumah saya sendiri. Walaupun sebenarnya ini bukan rumah saya, ini adalah rumah keluarga yang kami pelihara dan rawat. Tapi saya punya keleluasaan mengatur semuanya. Termasuk akhirnya selama empat tahun terakhir tinggal di Bandung, bulan puasa menjadi sangat menyenangkan. Saya bisa mempraktikan apa yang dilakukan oleh ibu saya seperti membuatkan susu hangat setiap sahur untuk Malika. Namun di lain sisi, saya gak bisa masak serba ada seperti beliau. Karena kami bertiga punya selera yang berbeda dan porsi makan yang tidak banyak. Sehingga setiap kali akan berbuka puasa, kami akan beli makanan kesukaan kami masing - masing ditambah teh panas manis untuk kemudian dilanjutkan dengan panganan yang (lagi - lagi) tidak beragam menunya. Biasanya saya hanya masak 1 macam menu saja. Alasannya simple, kami gak makan banyak dan supaya gak mubazir. 

2. Shalat Teraweh dan Tadarusan
Perubahan mengenai ritual ibadah menjadi salah satu yang paling signifikan. Kalau berada di rumah mama, saya bisa setiap hari pergi teraweh ke mesjid, atau tadarusan setiap malam atau sehabis subuh. Di Bandung saya hampir tidak bisa melakukan itu. (Ah alesan aja lu! - mungkin ada yang membatin seperti itu ya!). Yup saya hampir tidak pernah shalat teraweh di Masjid, penyebabnya adalah letak mesjid (yang nyaman untuk shalat) cukup jauh dari rumah kami. Sehingga harus menggunakan motor/mobil untuk menuju lokasi solat. Selain daripada itu, khutbah solat teraweh sudah tidak lagi menyejukan lagi. Tidak lagi memberikan semangat atau menambah nilai - nilai yang saya anut. Isinya kebanyakan perihal kebencian atau upaya promosi politik tertentu. Lelahnya. Lalu solat dimana?

Biasanya kami solat di rumah saja. Kan tidak dilarang oleh Islam. Biasanya kami melaksanakan solat menjelang malam, selepas isya setelah semua aktifitas selesai dilakukan. Dan kemudian langsung istirahat. Untuk tadarus, intensitasnya yang biasanya bisa saya lakukan setiap saat dan setiap waktu, kini hanya bisa dilakukan setelah waktu subuh. You wanna know why? Karena saat ini saya sangat mudah kelelahan. Subuh adalah waktu yang paling nyaman untuk melakukan itu.  

3. Berzakat dan bersedekah
Kalau soal yang ini sebetulnya tidak ada perubahan yang signifikan. Perubahannya yang paling jelas, dulu saya dibayarin zakat oleh mama atau papa. Sekarang ini ya, saya dan suami yang membayar zakat untuk keluarga kami. Lokasi pembayaran zakat, dulu biasanya dilakukan di tempat yang sama yakni masjid dekat rumah. Tapi kini, setiap tahun biasanya kami mengganti lokasi. Jika tahun ini di masji A, maka tahun depan di masjid B, selanjutnya bisa saja di panti asuhan atau kami berikan langsung kepada orang yang kami rasa perlu. Tentu rasanya tidak hanya seperti ritual membayar zakat biasa. Karena kini kami dapat langsung berinteraksi dengan orang - orang yang secara langsung kami berikan zakat atau sedekah. 

Selain itu, karena kini kami berada di lingkungan yang berinteraksi secara langsung terus menerus. Maka selain zakat, ada upaya - upaya seperti menyenangkan orang lain dengan memberikan mereka paket lebaran. Nah untuk hal yang ini saya banyak belajar sama pak suami yang ternyata sangat peduli sama orang - orang yang setiap hari membantunya di lingkungan. Seperti tukang sampah yang biasa memberihkan sampah rumah tangga kami, tukang koran yang setiap hari mengantarkan koran serta majalah, atau tukang becak yang biasa membersihkan rumput dan daun kering di halaman rumah kami. Tidak banyak yang kami berikan, namun orang - orang itu selama empat tahun ini telah memberikan begitu banyak hal kepada keluarga kami.

4. Baju baru
Empat tahun ini kami tidak pernah membeli baju baru saat lebaran, YEAY! Bagi saya ini adalah sebuah prestasi besar karena bagi kami, baju baru bisa dibeli setiap saat setiap waktu tidak hanya pada waktu lebaran. Seberapa dibutuhkannya baju baru juga kemudian selalu dipertimbangkan oleh kami. Biasanya menjelang hari raya idul fitri, baju baru sampai alas kaki, celana atau bahkan aksesoris seperti tas, topi atau jam tangan. Semua harus baru atau bahkan kompakan dengan sanak keluarga.

Saya hampir gila membayangkan kocek yang harus kami keluarkan untuk setiap tahun membeli pakaian baru sebanyak tiga orang. Lalu kami berefleksi, apa yang mau kami tunjukan dari baju baru ini? Kami ingin menunjukan kepada siapa? Jika Tuhan sang maha pengasih dan penyayang, saya pikir Tuhan yang saya yakini tidak akan terganggu jika kami sekeluarga tetap menggunakan pakaian lama yang masih bersih dan layak untuk digunakan. Keluarga kami yang lain pun rasanya tidak ada yang memeriksa, apakah baju yang kami kenakan seharga ratusa ribu rupiah, atau dibeli di butik ternama dan dijahit oleh penjahit yang namanya sudah dikenal setiap orang. Tahun ini dan empat tahun sebelumnya, kami menggunakan semua pakaian yang kami punya. Dengan catatan, pakaiannya sudah dicuci bersih, disetrika halus, wangi, bersih dan pantas. And I really thanks to Malika for her understanding! she's the greatest girl :) 

5. Tradisi Mudik
Sudah tentu tradisi mudik baru dilakukan oleh kami setelah tinggal di Bandung. Karena sebelumnya, kami ga punya kampung halaman. Semua ada di Jakarta. Tapi, tradisi mudik ini kemudian tidak selalu kami lakukan. Karena ada dua keluarga yang harus dibahagiakan. Maka tradisi mudik akan menyesuaikan dengan kocek yang kami punya (untuk ongkos PP), serta  jadwal giliran kunjungan. Jika tahun ini saya berkunjung ke Jakarta, maka di lebaran berikutnya saya akan tetap ada di bandung, dan begitu seterusnya.

6. Shalat ied 
Dulu, mama selalu berangkat lebih awal untuk menempati tempat solat. Kami para anak - anak perempuan, akan berangkat dengan santainya ke lokasi solat. Namun sekarang, i dont have my mom near me. Jadi saya harus mempersiapkan kebutuhan anak dan suami, dan berangkat bersama sama menuju tempat solat.

7. Silaturahmi
Ritual silaturahmi yang sejujurnya saya tidak begitu menyukai dengan perubahannya. Yang pertama adalah silaturahmi dengan lingkungan sekitar. SAYA GAK PUNYA TETANGGA :( Hiks sungguh menyedihkan tinggal di pinggir jalan raya. Orang - orang yang kemudian menjadi tenpat silaturahmi adalah jamaah solat yang duduk di sekitar kami. Sedangkan saat di rumah ibu saya, kami biasanya berkeliling bermaaf - maafan dan bersilaturahmi dengan tetangga kami. Satu persatu dari tahun ke tahun, kami saling melihat perubahan dan kebaikan yang terus kami pelihara tersebut.

Yang kedua adalah silaturahmi dengan keluarga. Selama menikah dengan suami, silaturahmi dengan keluarga bukanlah sesuatu yang sakral. Hanya bersalaman tangan dan cipika cipiki sembari mengucap "mohon maaf lahir batin ya". Sedangkan bersama keluarga ayah di Jakarta, momen silaturahmi hari raya sangat sakral. Sejak kecil, kami duduk bersimpuh memohon maaf kepada ayah, ibu, sanak saudara. Tidak jarang air mata mengalir deras karena kami begitu menyadari pentingnya momen ini. Dan hal ini saya sudah tidak bisa dapatkan jika ternyata mendapatkan kesempatan berlebaran di bandung.

Nah itu dia tujuh perubahan besar dalam Tradisi Ramadan dan Hari Raya versi saya. Versi kamu apa? ada yang sama atau ada yang lebih menarik dari hidup saya yang biasa biasa saja ini. Hahaha. Anyway, mohon maaf lahir batin yah gengs! Maapin kalau saya mulai agak malas ngeblog Wkwkwkw. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar