Jumat, 19 Juni 2015

Another Sickness Disturb me - Living with Hepatitis C Virus

Sumber gambar : Google.com
Alih alih seharusnya menyelesaikan pekerjaan yang dateline-nya adalah Lusa. Saya malah menutup semua dokumen yang berhubungan dengan pekerjaan dan memilih untuk browsing informasi terkait Hepatitis C. Itu semua karena saya baru saja menerima beberapa hasil pemeriksaan terkait Hepatitis C. Lho lho lho.. kok Hepatitis C, ada apa lagi yu? Yap, kayanya gak cukup cuma virus HIV hidup di tubuh saya, saya juga didiagnosa memiliki Virus Hepatitis C dalam darah. Which is not a good story indeed. Selama 6 tahun lamanya, saya bercokol dengan begitu banyak sakit dan air mata. Obat obatan serta semangat dari keluarga dan teman temanlah yang menjadi suplemen penguat diri saya. Daripada saya uring uringan gak karuan (padahal barusan nangis di ketek suami), lebih baik saya bagi cerita saya dan jadi manfaat buat semua.

Pada Maret 2009, saya didiagnosa memiliki virus HIV dalam tubuh karena terinfeksi melalui hubungan seksual dengan suami saya yang dulunya adalah mantan pengguna narkoba jenis putaw. Selama 6 tahun (hingga hari ini), saya mengkonsumsi Anti Retroviral Theraphy, untuk menekan laju pertumbuhan virus HIV, agar gak bisa lagi deh tuh virus nyerang kekebalan tubuh. Obat ini memang tidak menyembuhkan, hanya menahan, obat ini juga harus diminum seumur hidup. Saat ini, saya sudah masuk kedalam pengobatan ARV Lini ke II dikarenakan dokter menyatakan kegagalan terapi. bisa dibaca ceritanya disini, dan untuk tahu lebih lengkap informasi mengenai HIV AIDS bisa masuk ke website ODHABerhaksehat.org. Sedang dalam masa menikmati pengobatan dan pemulihan kesehatan saya harus membaca hasil hasil pemeriksaan kesehatan lainnya yang berhubungan dengan kondisi Hepatitis C saya.

Di tahun yang sama, 2009, dari hasil pemeriksaan darah, dokter juga menyatakan saya memiliki virus Hepatitis C dan Cytomegalovirus (CMV). Virus Hepatitis C pada umumnya dapat tertular melalui aktifitas pertukaran darah, yang umum terjadi pada pengguna jarum suntik yang tidak steril (it could be any unsterilized injection). Namun, pada konsultasi saya dengan dokter, saya mengaku tidak pernah menggunakan narkoba jenis apapun termasuk yang disuntik. Saya juga tidak pernah mentato tubuh. Lalu dari hasil observasi dokter, dimungkinkan penularan Virus Hepatitis C dari almarhum suami saya, melalui hubungan seksual, karena bisa jadi terjadi perlukaan selaput lendir dalam vagina saya dan juga perlukaan pada alat kelamin pasangan, yang menjadi pintu penularan. Hepatitis C, bisa disembuhkan, begitu banyak orang di banyak negara yang sembuh, karena sudah ada obat yang menyembuhkan, tapi harganya sangat mahal. lain hal dengan HIV, yang obat ARV-nya disubsidi pemerintah dan dapat saya akses secara gratis, tapi obat ini tidak menyembuhkan, hanya menahan virus. yang harus diperhatikan, bahwa orang yang hidup dengan HIV belum tentu otomatis mengidap Hepatitis C begitupun sebaliknya ya. Masalah lain adalah, sejak tahun 2009 hingga kini 6 tahun kemudian, saya belum mengakses pengobatan Hepatitis C dalam bentuk apapun, karena harganya yang sangat mahal. Selain pengobatannya yang tidak murah, pemeriksaan penunjangnya pun sangat mahal.

Pagi ini, saya menerima beberapa hasil pemeriksaan yang saya dan tim di kantor saya lakukan, dalam rangka upaya menggugat paten obat hepatitis C. Pemeriksaannya sendiri telah dilaksanakan awal bulan ini, hasil pemeriksaan rencananya akan digunakan sebagai data pelengkap kami sebagai para penggugat di Persidangan. Ya, saya bersama Indonesia AIDS Coalition sedang melakukan upaya gugatan terhadap Hak Paten Obat Sofosbufir di Indonesia. Alih alih senang karena akhirnya bisa melakukan pemeriksaan yang harganya sangat mahal itu, sekarang saya malah sedih lihat hasilnya. Dari Pemeriksaan Anti HCV (untuk mengetahui kita Hepatitis C atau tidak), HCV RNA (Untuk mengetahui berapa jumlah viru HepC di tubuh kita) dan Fibroscan (sebuah teknik yang menggunakan gelombang suara untuk mengukur pengerasan hati, seperti di USG, tapi di Hati), yang total harga pemeriksaannya hampir mencapai angka 4 Juta rupiah.

hasil pemeriksaan Fibroscan dengan hasil 5,4 (jika dibawah 7 berarti Normal)

Hasil pemeriksaan Hepatitis C, Reaktif

Hasil Pemeriksaan HCV RNA, Hasil 4,83 x 10^6 sama dengan 4,8juta Copy Virus/Ml

Kembali ke Tahun 2009, saat saya mengetahui hasil hepatitis C Reaktif, dokter kala itu sama sekali tidak menyarankan pengobatan. Katanya harganya sangat mahal, dan kondisi tubuh dengan Hepatitis C tanpa pengobatan, baru akan menurun (atau sakit) setelah 25 tahun kemudian. Sedikit aneh sih dengan pernyataan tersebut. Tapi mengingat pengobatan menggunakan suntikan Pegylated Interferon dan Ribafirin yang harganya sama dengan satu buah mobil, saya jadi mengurungkan niat saya berobat, dan mencoba menyabarkan diri dan sang 'hati' semoga tetap stabil.


Di tahun 2013 kemarin Biro Pengawasan Obat dan Makanan Amerika (FDA) sudah mengeluarkan ijin edar bagi obat jenis baru bagi pengobatan Hepatitis C yaitu dari jenis Direct Acting Antiviral. Obat ini nama generiknya adalah Sofosbufir. Obat ini, berdasarkan studi klinis, menunjukan tingkat kesuksesan yang sangat tinggi guna mengobati pasien Hepatiitis C, bahkan bagi pasien yang sudah dalam tahap sirosis. Obat yang cara penggunaannya dengan ditelan oral juga terbukti memiliki tingkat efek samping yang minim bagi pasien yang mengkonsumsinya. Obat ini telah menjadi harapan baru bagi jutaan penduduk dunia dan juga 7 juta penduduk Indonesia yang terinfeksi Hepatitis C.  Sayangnya, pemilik patent obat Sofosbufir yaitu perusahaan Gilead, menetapkan harga jual obat ini untuk total periode penuh pengobatan yang memakan waktu selama 24 minggu sebesar US$ 86.000 (sekitar 1,1 Milyard rupiah dengan kurs 1US$ = 13.000). Saya, bersama Koalisi Obat Murah meminta pemerintah untuk serius dan segera untuk: pertama, mempercepat proses registrasi di BPOM karena obat ini termasuk golongan life-saving, yang kedua yaitu segera memfinalkan negosiasi harga dengan perusahaan obat yang memproduksi obat Sofosbufir ini dengan menggunakan acuan harga di Mesir, Pakistan serta India serta yang terakhir KOM meminta kepada pemerintah untuk memasukan obat Sofosbufir ini kedalam Formularium Nasional. lebih lengkap soal rencana menggugat Hak Paten Obat Sofosbufir bisa dibaca disini.

Tapi disamping semua tulisan panjang diatas, rencana rencana menggugat hak paten obat sofosbufir, hasil hasil pemeriksaan yang menyesakan dada. Saya sepertinya sudah harus mulai memikirkan pengobatan Hepatitis C (meski harganya mahal). Tapi kalau dalam keadaan seperti ini, harus dipikirkan step by step, alias bertahap. Jadi saya akan mencari dokter penyakit dalam di Bandung terlebih dahulu untuk mengkonsultasikan hasil pemeriksaan Fibroscan dan HCV RNA, disamping itu, saya akan mencari referensi tempat pemeriksaan genotype hepatitis C, untuk mengetahui jenis virus hepatitis C. Genotype Vius Hepatitis C adalah genotype 1 hingga 6. Pentingnya pemeriksaan genotpe ini untuk menentukan lama terapi dan perkiraan respon pengobatan. Genotype 1 dan 4 memerlukan waktu pengobatan hingga satu tahun dan respon pengobatan lebih rendah, sedangkan genotype 2 dan 3 memerlukan waktu pengobatan 6 bulan dan respon pengobatan tinggi (baik). tantangan selanjutnya, pemeriksaan Genotype harganya 3,4 juta rupiah. Kalau semua sudah ada hasil, baru kita pikirkan, bagaimana caranya akses pengobatan. Karena sebelum jatuh menjadi penyakit hati yang serius, seperti Sirosis Hati. Mohon doa dan semangatnya yaa supaya saya tetap dapat memelihara semangat!

3 komentar:

  1. Duh ngeri juga baca ceritanya :"
    Semangat kak, semoga perjuangannya gak sia-sia..!! Dan semoga bisa sehat kembali :)

    BalasHapus
  2. saya juga ikutan merinding baca postingannya mak :)

    BalasHapus
  3. Perjuangan yang tidak mudah.. semangat ya mba.. tangan Tuhan tidak pernah berhenti meciptakan hal-hal yang bisa kita syukuri..

    BalasHapus