Minggu, 02 Oktober 2016

Cinta Sang Larasati (6)

Mereka selalu memiliki hari itu, kebersamaan di senin malam. Saat matahari mulai beranjak pergi dari singgasananya, dan sang bulan menekan tombol nyala sehingga parasnya dapat menerangi dua orang yang sedang menikmati makan malam di warung tenda. Lara, akan segera berangkat untuk menempuh pendidikannya di negeri paman Sam. Entah dengan alasan apa dia memutuskan itu. Tapi Aria Sena, seorang pria supportif yang senantiasa mendukung Lara perempuan yang sangat dicintainya itu. Sehingga beberapa bulan sebelum kepergiannya, mereka menghabiskan waktu yang mereka miliki sebaik mungkin, Senin malam.

Baca Cerita Sebelumnya : Cinta Sang Larasati (5)

Warung tenda itu akan dipenuhi oleh pasangan muda - mudi, serta beberapa kumpulan anak muda yang memilih untuk nongkrong di warung tenda murah meriah, ketimbang bar dengan minuman dingin yang harganya bisa membayar 4 piring makanan mereka di warung tenda tersebut. Warung tenda itu, kemudian menjadi tempat paling manis yang kelak diingat Aria saat Lara sudah meninggalkan Indonesia. Dan Aria hanya punya 4 Hari Senin.

Senin Malam, Minggu Pertama

Aria ingat betul, malam itu Lara mengenakan celana jeans, kaos hitam dan sepatu converse putih. Rambut panjangnya dikuncir kuda. Lara yang tidak pernah malu menunjukan rasa laparnya, langsung menarik kursi plastik berwarna biru dan duduk diatasnya. Mengambil menu yang sudah kucel, yang terletak di atas meja, dan memesan makanan.

"Mbak, aku mau pesen nasi sama cumi dong. Sambelnya dipisah ya. Oh ya, Sama es teh manis!"
"Kamu bukannya lagi batuk ra?" Tanya Aria sedikit kesal mendengar pesanan Lara.
"Yup, exactly. Tapi.. kalau makan pedes.. aku cuma bisa menghilangkan pedesnya dengan..."
"Minum es. I know" Aria menyerah.

Malam itu mereka banyak ngobrol mengenai pekerjaan Aria yang selalu membuatnya bersemangat. Namun politik dan ekonomi Indonesia yang bergejolak, dan kebiadaban orang - orang pemilik kuasa yang mendominasi negeri ini sering membuatnya muak. Dan dalam ceritanya, Lara pasti akan selalu memotong dan ikut menimpali ceritanya dengan persoalan - persoalan yang kerap kali dibacanya di media cetak, untuk kemudian mereka perdebatkan. Sambil mengunyah lele berbalut sambal super pedas, Aria dengan senang hati meladeni diskusi tersebut hingga dingin semakin menusuk, dan warung tenda bersiap tutup.

Senin Malam, Minggu Kedua

"Batukku udah sembuh Loh!" Kata Lara riang pada Aria.
"Iya, karena kamu nurut.. mau mengurangi minum es, dan mau minum perasan jeruk nipis seperti saranku" Aria menambahkan penyebab kesembuhan Lara dengan bangga.
"Iya..iya.. terima kasih ya Aria Sena. You help me lot! eh, ke Warung tenda yuk! laper nih.. pengen cumi"

Kali ini Aria memesan makanan lebih banyak dari biasanya, 2 porsi. Seharian ini, dia meliput banyak berita dan lupa makan, baik sarapan maupun makan siang. Hal ini tentu membuat Lara mengamuk.

"Kenapa sih, gak pernah sayang sama badannya? Apa sih susahnya ke warteg pinggir jalan, dan makan meskipun sedikit."
"Mulai deh."
"Iya, kamu nih, jadi wartawan, bikin kaya enggak.. tapi kamu bakalan cepet mati gara - gara gak makan selama kerja."
"Tapi kan dikasih makan, kue kue setiap ada kesempatan"
"Iya, kue itu hanya akan memenuhi berapa banyak kebutuhan energimu dalam sehari? kalau dibandingankan dengan energi yang kamu keluarkan.. itu kan gak seimbang!"

Dan selanjutnya, Senin Malam minggu kedua mereka habiskan dengan ceramah Lara mengenai pentingnya makanan sebagai penunjang energi, khususnya bagi pria seperti Aria yang mobilitasnya tinggi.

Senin Malam, Minggu Ketiga

Hari itu Jakarta diguyur hujan deras, sehingga moment makan di Warung tenda akan menjadi sangat tidak nyaman. Tampias air hujan akan berjatuhan ke meja, jika beruntung.. nasi dan lauk pesanan kita akan sedikit basah karenanya. Beberapa orang yang akan makan di warung tenda, terpaksa mencari tempat lain. Karena Warung tenda menjadi penuh orang - orang yang terpaksa makan, sambil berteduh. Sedangkan si Mbak pemilik warung, tersenyuk penuh syukur pada hujan yang memberikannya hujan rejeki malam itu.

"Hari ini makan gak?" Pertanyaan Lara membuka obrolan mereka ditengah makan malam mereka.
"Makan dong, aku pagi - pagi makan ketoprak yang kebetulan ada deket pom bensin. Dan siangnya, aku ditraktir bos, makan di restoran sambil meeting." Aria menjawab pertanyaan Lara dengan tersenyum puas.
"Good, than"
"Kamu, minum es gak"
"Minum dong! kan haus.. tadi siang juga panas banget."
"Dasar badung, udah tau gampang sakit. Masih aja minum es"
"Hahahaha, eh ngomong - ngomong.. persiapan ku ke DC sudah 90% siap lho!" Sela Lara di tengah percakapan tidak penting mereka.
"Oh ya.." Aria menghentikan makannya.
"Yup! Tinggal nyari beberapa barang aja yang akan kubawa kesana. Katanya disana agak mahal kalau butuh2 beli sesuatu.. jadi kalau bisa dibawa dari sini, ya kubawa aja" Lara menjelaskan.
"Lalu yang 10% nya itu hanya soal membeli beberapa barang - barang aja?" Tanya Aria.
"he'eh" Jawab Lara sambil mengunyah.

Lalu Lara menjelaskan mengenai jadwal selama dia di Washington, kebutuhan yang akan dia mau lengkapi, Rencana - rencana yang akan dijalankannya, hal - hal yang harus dia lakukan sebelum berangkat. Aria mendengarkan dengan khidmat, dia sadar.. sebentar lagi suara ceriwis ini tidak akan lagi menghiasi malam - malam dan hari - harinya.

Senin Malam, terakhir

"Kenapa sih kita harus makan disini terus?" Tanya Aria.
"Karenaaaaa, di Washington DC mungkin aku gak akan bisa makan cumi asin lagi, atau sambel sepedes iniii donggg.." Penjelasan yang masuk akal diberikan Lara.
"Jadi, habis ini.. apakah kita akan tetap berkomunikasi?"
"hmmm.. kok nanya nya hmm.. gitu sih?" Lara bertanya sambil mengunyah.
"Ya nanya aja. Kan tinggal dijawab"
"Ya iya lahhhh, kan bisa bbm.. atau kirim email.. kalau ada rejeki bisa telfon. Atau skype.."
"Skype?"
"Iya, skype. JANGAN BILANG KAMU GAK PUNYA AKUN SKYPE! Omg, Ariaaa!" Lara tertawa.
"Ajarin cara bikin akunnya ya. Terus cara menggunakannya, sebelum kamu flight. Jadi kita bisa skype.."

***

Aria Sena terbangun karena ketukan di pintu kosannya, tubuhnya berkeringat basah kuyup. Dia terbangun, melihat jam yang menunjukan pukul 10. Dia sadar, dirinya kesiangan. Lalu dia beranjak menghampiri pintu, membukanya dan melihat tidak ada siapa - siapa. Hanya ada koran yang tergeletak di depan pintunya. Koran yang setiap pagi diantar loper koran langganannya ke depan pintu penghuni kosan yang memang sengaja berlangganan.

Di headline news koran Jakarta Pagi tertulis besar "Larasati, perempuan cantik yang bersahabat dengan sampah". Lalu Aria tersadar, mimpinya sangat panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar