Jumat, 24 April 2020

Cinta yang Mengubah Hidupku Part #1

Bioskop di Pamulang menjadi tempat kami pertama bertemu. Saat itu tahun 2001 dan aku masih duduk di bangku SMA kelas 1. Aku sedang menjalani pemulihan pasca operasi Fibroadenoma Mamae, tumor jinak di Payudara. Operasi yang super melelahkan, karena aku harus menjalani pemulihan total di rumah dan tidak bisa pergi kemanapun. Tapi hari itu adalah hari ketujuhku bedrest dan aku merasa jauh lebih baik. Lantas aku berinisiatif menghubungi Medina dan mengajaknya menonton di bioskop.

Aku sangat butuh udara segar. Pertemuanku dengan Medina selalu kurang lebih sama. Isinya biasanya berisi cerita keseharian anak sekolah. Medina adalah  adik kelasku sewaktu SMP, meski akhirnya aku lulus duluan kami masih rutin ngobrol melalui telfon rumah atau aku main ke rumahnya.

Bioskop hari itu tidak begitu ramai. Sepertinya karena filmnya juga gak ada yang terlalu bagus. Keheningan bioskop kemudian pecah saat seorang laki – laki masuk ke dalam. Celana jeans biru yang nyaris luntur, kaos berwarna merah, dan jaket besar berwarna hijau tentara. Mata sipitnya tertutup kaca mata hitam, rambutnya keriting dan kulitnya putih. Ada keringat dan rasa lelah menempel di wajahnya.

Yang aku tahu selanjutnya Medina memanggilnya “Abang!!”

Laki laki itu menoleh, tersenyum dan melangkahkan kakinya menuju tempat kami duduk. Tempat duduk melingkar dengan bahan bludru warna merah dan tanaman plastik di dalam lingkarannya. Laki laki itu masih tersenyum. Aku rasanya ingin memutar waktu dan kembali di masa itu, aku ingin melihat seperti apa wajahku saat itu saat melihat wajahnya.

Dia mengulurkan tangannya kepada Medina, menanyakan kabarnya dan ngobrol soal beberapa hal terkait dengan aktifitas pecinta alam. Lalu Medina memperkenalkan laki laki itu padaku. “Abet.” Dia menyebutkan namanya sambil tersenyum. Suaranya masih terngiang di dalam mata, telinga dan kepalaku sampai hari ini.

Entah kebodohan apa yang ada di benakku saat itu. Hal pertama yang menjadi pembuka pembicaraan kami adalah pertanyaan kenapa dia membawa tas yang begitu besar dan apa saja isinya. Alih alih menjawab, dia malah membukanya dan mengeluarkan isinya satu persatu. Ada sebuah sweater merah (OMG dia kan sudah pakai jaket), sebuah organizer untuk mencatat nomer telfon, janji temu dan catatan kaki, sebuah file organizer yang lebih besar untuk mencatat pelajaran di kampus dan tempat lesnya, alat tulis di sebuah tempat pensil, dan sebuah pouch berisi pembersih muka, odol sikat gigi, obat tetes mata dan parfum. Dalam kurang lebih 10 menit, laki laki ini sudah menceritakan 5 persen kehidupannya dari sebuah tas.

Obrolan singkat yang begitu dalam tersebut pecah saat sebuah suara panggilan pintu teater telah dibuka. Abet bergegas bangkit dan membeli tiket setelah sebelumnya bertanya kepada kami, nomer duduk bangku. Dia ikut nonton. Gila batinku. Orang ini sangat spontan sekali. Seingatku dia masuk ke bioskop ini hanya karena di luar sangat panas dan membutuhkan kesejukan. Sekarang dia sudah duduk di sampingku di dalam bioskop.

Abet mengantarkanku pulang, dan mengoceh sepanjang perjalanan. Kami berdua seperti terkoneksi satu sama lain. Aku bisa meramal akan ada 1001 cerita yang dapat kami bahas dalam satu malam dan menurutku itu sangat gila.

Di depan pagar rumah, sempat – sempatnya dia menanyakan nomer telfonku. Saat itu aku belum memiliki telepon genggam. Jadi kuberikan saja nomer telepon papa dan nomer telfon rumahku. Dia lalu menuliskan nomer telfon rumahnya dan nomer hp nya di selembar kertas dalam organizer mini nya. Dia mengucapkan terimakasih atas hari yang menyenangkan, lalu pergi meninggalkanku yang berdiri tersenyum dari balik pagar memandangi laki laki dengan motor Jupiter silver yang pergi.

Satu hari yang gila. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. 

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar