Selasa, 28 April 2020

Cinta yang Mengubah Hidupku Part #4

Aku tidak ingat kapan orang tua ku pernah benar – benar mengajariku tentang menjaga diri. Yang ku dengar hanya amarah setiap kali mereka mendapatiku melakukan kesalahan. Alih alih menyampaikan hal yang bisa membuatku menjaga diri, aku malah makin brutal dengan rasa penasaranku.

Cinta pertamaku bukan Abet. Aku ingat beberapa nama yang kemudian mengisi pikiran dan hari hariku di masa remaja. Perasaan berbunga bunga yang nyaris membuatku keringat dingin dan sakit perut setiap kali bertegur sapa atau berada bersama orang tersebut di satu momen yang sama.

Ciuman pertamaku bukan Abet. Aku ingat laki laki yang usianya jauh lebih tua dariku, menciumku saat kami tengah menonton film Harry Potter and the philosopher stone. Aku tidak menolak dan memberontak sama sekali. I really enjoy my first kiss with that man.

Tapi dengan Abet, he was my first sexual desire. Dia memberikanku pengalaman yang sudah kumulai sejak di bangku sekolah dasar. Menyukai seseorang dan mendapat ciuman pertama. Dia menggenapinya dengan rasa indah dari sebuah sentuhan dan rasa aman dalam sebuah pelukan. Dan ya aku menikmatinya dengan sangat sadar.

Hari itu rupanya rumahku kosong tidak ada orang. Kami tidak punya pembantu rumah tangga karena aku dan kakakku sudah besar, we can help ourself. Mama bekerja di Jakarta dan Papa bekerja di luar kota. Aku tidak tahu kenapa kakakku selalu pulang lebih lambat. Kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah saja. Kami menonton televisi di ruang tengah sambil tertawa karena adegan sinetron komedi yang lucu.

Baca cerita sebelumnya di sini

Aku ingat menyandarkan diri pada tubuhnya, tangannya melingkar memeluk. Sesekali aku merasakan tarikan nafas panjang dan kecupan di rambut dan dahi kananku. Udara panas yang mengaliri tengkuk menyihirku untuk berbalik badan dan mencium bibirnya yang penuh. Dia menerima ciumanku dengan lembut. Tidak tergesa gesa. Kedua mata kami tertutup. Kami bahkan dapat merasakan aroma nafas yang rasanya bertukar.

Ciuman lembut dan pelukan hangat lambat lambat kemudian memacu adrenalin kami yang tanpa sadar membuat kami bangkit dari ruang televisi. Tubuh kami berdua kini telah rebah di sebuah kasur kecil yang terbungkus seprai winnie the pooh warna biru. Nafas kami kini saling memburu seperti rusa yang dikejar – kejar induk harimau yang harus pulang membawa makan untuk sang anak. Kami kelaparan dan kehausan akan tubuh masing masing.

Kedua tangan kami kini diperintah oleh sang otak tanpa suara. Membuka baju dan celana yang melekat ditubuh sampai semuanya tanggal. Kulit di tubuh kami kini beradu tanpa pembatas. Hangat dan erat. Bibirnya kini mencumbu seluruh bagian tubuhku, aku mengerang dalam kenikmatan. Dunia berhenti berputar selama beberapa detik hingga akhirnya aku merasakan sesuatu yang keras menerobos banteng pertahananku. Yang kurasakan selanjutnya tubuhnya mengayun di atas tubuhku, keluar dan masuk.

Putaran bumi kini kembali terasa dan berputar sangat kencang seperti kincir yang tertiup angin. Aku menahan ayunan tubuhnya, kedua tanganku memegang bahunya. Erat.

“Gila lo! Ini masuk?” Begitu kataku dengan nada keras.
“Ya udah di dalam? Mau gimana?” begitu jawabnya.

Lalu duniaku hilang tanpa kesadaran. Tubuhku diam membeku pasrah sampai sampai yang tersisa hanya tetesan keringat di tubuh kami yang terbaring kelelahan.

Malam harinya, aku sempat berada di dalam kamar mandi cukup lama. Perlahan aku memasukan kedua jari ke dalam liang vagina yang siang tadi telah menemukan tuannya. Air mataku menetes.

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar