Minggu, 24 Mei 2020

BARAYA - Baju Hari Raya

Semenjak virus ini menginfeksi tubuhku sebelas tahun terakhir, semua pakaian yg kukenakan rasanya sama saja. Semua seperti berlabel odha. Rasa dimana semua orang melihatku sebagai pesakitan, orang yang terinfeksi HIV, orang yang membawa aib kepada keluarganya. Bayang bayang buruk tersebut seperti udara yang membalut tubuhku.

Saat aku (masih) menutup auratku dengan kerudung, saat aku pergi ke diskotik dengan baju ketat, atau saat aku menjadi diri sendiri dengan kaos dan celana jeansku. Orang tetap saja melihatku dengan label yang sama.

Pakaian yang sulit kukenakan karena pelan pelan menggerogotiku dan menghancurkan pertahananku.

Virus ini kemudian bukan hanya menginfeksi sel darah putihku, namun juga menginfeksi kepercayaan diriku, cara orang memandangku bahkan mengkontaminasi semua atribut yang kukenakan.

Sampai kemudian aku memutuskan untuk bangkit dan pulih.

Aku memutuskan untuk merasa, tidak lagi penting apa yang kugunakan karena orang lain hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Seribu kali ku mencoba ku meluruskan jalan pikiran mereka yang mungkin tidak tepat, akan sia sia jika mereka tidak mau mengubahnya.

Maka 11 tahun lalu aku tidak lagi memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang pakaianku. Aku memutuskan untuk kembali ke titik nol dengan membuka kerudungku. Lalu aku membenahi niatku berpakaian, tidak untuk orang lain melainkan untuk diriku sendiri. Untuk kenyamananku dan kebaikan diriku.

Kini HIV tidak lagi menginfeksi pakaianku. Karena semua pakaian yang kukenakan adalah bagian dari diriku. Aku... masih hidup dengan HIV. Tapi HIV tidak hidup pada pakaianku. Pakaianku kini berbentuk semangat, percaya diri, keikhlasan, kebaikan dan keyakinan bahwa virus ini tidak sedikitpun menghilankan nilaiku sebagai manusia. Apapun warnanya, merknya, berapapun harganya aku bangga menggunakan pakaian pakaianku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar