Selasa, 05 Mei 2020

Waria, Sang Srikandi Penuh Welas Asih

Saya masih mengenakan rok putih merah kala itu, seingatku sekitar tahun 1997. Kami sedang berjalan menuju rumah kawanku yang terletak di salah satu komplek di tengah kota Pamulang. Untuk menuju ke sana kami harus naik angkot lalu kemudian turun di perempatan jalan dan berjalan melewati deretan pertokoan lalu sampai di rumah kawanku. Siang itu terik dan panas, sayup sayup terdengar suara seseorang menyanyikan lagu dangdut diiringi musik dengan sound system seadanya. Tubuh penyanyi itu tinggi besar, betisnya kekar dan ada bulu bulu halus. Sosok itu menggunakan baju ketat dan seksi, yang saat itu sangat trend digunakan karena digunakan oleh Mariam di film Si Manis Jembatan Ancol. Ada selendang warna merah yang disampirkan di antara kedua bahunya. Sepertinya dia menggunakan rambut palsu panjang. Dandanannya menor dan suaranya sedikit sumbang. 

Bersama kelima orang temanku, kami diam termangu. Menatap sosok tinggi besar yang melenggak lenggok di depan salah satu ruko. Dari satu ruko ke ruko lainnya. Ada yang mengusirnya, ada yang memberikannya uang koin ada juga uang lima ratus rupiah bergambar monyet. Sosok yang sungguh menarik kataku dalam hati. Sejujurnya aku mengagumi cara orang ini mencari rejeki, dia sungguh berani dan menghibur. Namun kekagumanku padanya buyar saat salah seorang teman laki lakiku dengan usil dan lantang berteriak.

"Bencoongggg... bencoongggg.." yang seperti aba aba membuat teman lainnya ikut berteriak yang sama. Saya pun sebagai anak kecil yang bersolidaritas pada kelompoknya ikut mengucapkan kata itu tanpa memahami maknanya. Sosok itu berhenti bernyanyi dan kemudian meneriakan kami kembali. "Bocahhhhh kurang ajar lu pada!" Begitu katanya. Tapi kami tetap meneriakan kata itu. Lalu dia nampak geram dan mencopot kedua sepatu hak tinggi merahnya  dan melemparnya kepada kami. Adegan selanjutnya yang saya ingat, kami berkejar kejaran cukup jauh sampai akhirnya bisa bersembunyi di salah satu tempat les. Sosok itu mungkin juga kelelahan dan memutuskan untuk pergi. 

***

Dua puluh tiga tahun yang lalu, Saya telah melakukan perbuatan yang memalukan. Saya telah ikut-ikutan menghina dan meledek salah seorang waria yang tengah mencari nafkah di bawah terik mentari Pamulang saat itu. Apa kabar waria itu? Apakah dia masih mengamen di jalanan? Apakah masih hidup atau sudah meninggal. tentu aku tidak tahu.

Saya tidak pernah menyangka, kehidupanku di masa yang akan datang malah dipertemukan dengan para waria dalam lingkaran aktifisme HIV. Ini menjadi pukulan telak bagiku, setelah kejadian dua puluh tiga tahun lalu dan mungkin hal hal tidak menyenangkan lainnya yang pernah aku lakukan secara tidak sadar pada mereka. 

Rasanya kemudian berbeda. Apa yang dibicarakan dan disampaikan kebanyakan orang tentang mereka. Semuanya terasa salah saat satu persatu saya mengenal waria di lingkaran kerja kerja saya. Mereka, yang hidup dalam kesusahan bukan hanya segi ekonomi tapi terlebih lagi tidak adanya pengakuan masyarakat akan keberadaan mereka. Seringkali mereka dicap buruk sehingga tak jarang diperlakukan dengan tidak sopan seperti yang saya lakukan pada seseorang dua puluh tiga tahun lalu. Nyatanya, mereka adalah orang orang paling kuat yang pernah saya temui.

Beberapa hari lalu ada seorang muda yang merasa dirinya paling mulia, melakukan tindakan hina dengan menipu beberapa waria di Bandung. Berkedok memberi sembako, kardus yang diterima para waria nyatanya berisi sampah dan batu bata. Semua dilakukan orang itu demi sebuah konten untuk Youtube channelnya. Saya sudah tidak mau menyebut namanya, hanya akan membuat orang tersebut semakin terkenal. Penghinaan yang dilakukannya tidak lantas membuat para waria gentar. Sebaliknya malah, di tengah pandemik covid yang telah menahan kita semua selama lima puluh hari ini membuat masyarakat menjadi peduli. Bantuan dan dukungan baik hukum maupun psikologis mengalir deras.

Tapi, itu semua bukan kali pertama para waria mendapat nasib tidak baik. Sejak mereka memutuskan untuk memilih kehidupannya dan identitas serta ekspresinya tentu sebagian besar keluarga tidak menerima mereka. Ada memang yang diterima dengan baik oleh keluarga, namun tidak banyak yang akhirnya pergi dari rumah dan merantau mengadu nasib. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sulitnya mencari nafkah tentu dirasakan oleh teman teman waria di Indonesia. Sebuah negara yang hanya percaya dan memberi kewenangan pada laki laki dan perempuan saja untuk mendapat hak hidup. Tidak ada waria dalam kamus orang Indonesia. Tapi apa mereka kalah? Tidak. Mereka mencari uang dengan mengamen, membuka salon, menjadi juru masak, membuka jahitan dan banyak lagi. Solidaritas kelompok waria menjadi semakin kuat dengan simpul simpul di setiap daerah, mereka saling menjaga dengan adanya keberadaan orang - orang yang lebih tua dan lebih lama menjadi waria. 

Saling melindungi menjadi prinsip utama mereka karena tidak jarang juga, para waria mendapatkan tindakan kekerasan. Baik secara fisik, verbal, seksual bahkan sampai ada pembunuhan pembunuhan keji pada kelompok waria. Orang orang keji itu melakukannya dengan sengaja. Pedih mendengar nama Mira atau waria lainnya yang kini telah pergi hanya karena kebencian yang tak berdasar pada mereka.

Sepindahnya kami ke Bandung, saya kemudian diperkenalkan dengan Srikandi Pasundan. Kelompok Waria yang diinisiasi oleh beberapa orang sejak lama. Saling menjaga dan memberi dukungan adalah nafas dari para Srikandi tersebut. Saya kemudian mengenal Mami Riri, teh Luhvi, teh Berbie, teh Farah dan begitu banyak nama lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Orang orang yang tidak bisa dipandang rendah karena mereka selalu memperlakukan orang lain dengan begitu baik dan terhormat.

Hidup saya mungkin tidak ada apa apanya dibandingkan dengan perjalanan hidup mereka. Meski setiap perjalanan memiliki arti dan tidak bisa disandingkan, namun saya terus belajar dari mereka. Waria yang ceria dan selalu membangun gelak tawa di tengah tengah kita. Waria yang penuh semangat dan kekuatan, yang senantiasa memberi dukungan pada sesama manusia. Waria yang tulus dan tidak berpura pura, menjadi dirinya sendiri adalah separuh dari nyawa dan hidupnya.

Dan setelah kejadian penghinaan kepada kelompok waria tempo hari. Saya kembali melihat lagi bukti bahwa kebaikan itu ada. Indonesia masih punya orang orang baik yg dengan segala kemampuannya tetap berusaha membantu sesama manusia. Membela waria dan berdiri paling lantang untuk membantu mereka. Dan salah satu teman berkata bahwa akhirnya dia melihat bagaimana Tuhan gak pernah bingung di sisi siapa Dia harus berpihak.

Sehat dan kuat selalu, Teteh wariaku :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar