Jumat, 08 Mei 2020

Cinta yang Mengubah Hidupku #9

Opie biasa aku memanggilnya. Anak bontot di keluarganya, dia keturunan Jawa Batak. Orangnya sangat sederhana meski penuh misteri dan tidak banyak bicara jika baru berkenalan. Kami akhirnya menjadi lebih dekat saat bulan Ramadan datang. Saat akhirnya sama sama menjadi petugas piket penerimaan zakat di masjid atau sama sama tadarusan setelah taraweh selesai. Entah keputusanku menjadi remaja masjid murni karena keyakinanku atau keyakinanku yang lain. Keyakinan ingin dekat dengan laki laki ini.

“Besok nonton yuk?” suatu hari saat piket menjaga penerimaan zakat dia mengajukan pertanyaan ini kepadaku. Jantungku rasanya mau keluar dan berwudhu saking terkejutnya. Tapi beruntung itu tidak terjadi, aku berusaha mengatur nafasku dan tetap tenang untuk menjawab pertanyaan penting itu.

“Nonton di bioskop? Emang ada film apa?” aku kembali mengajukan pertanyaan padanya.
“Harry Potter and the Chamber of secret. Lu suka Herpot kan?” Duh film yang ku suka.
“Suka! Kita nonton sama anak – anak yang lain?” Tentu aku berusaha tidak mau Ge-er.
“Enggak, sama  elu aja.” Jawabnya singkat.
“Hmm… Oke. Jam berapa?”

Baca cerita sebelumnnya di sini

Selanjutnya kami kemudian sudah membicarakan tentang rencana menonton esok hari. Semangat ini kemudian membuatku nyaris tidak bisa tidur, karena percakapan kami tadi kemudian berlanjut pada pesan singkat di handphone. Dia sempat mengucapkan selamat tidur meskipun kami masih menggunakan elu gue saat ngobrol.

Harry Potter and the Chamber of secret bukan film terakhirku bersamanya, ada lebih banyak nonton bareng bukan hanya di bioskop. Tapi juga di rumahku. Kami sering menyewa film di tempat penyewaan film bajakan dan menontonnya di rumah. Aku suka menghabiskan waktu bersamanya, meski hanya menonton film bersama tidak lebih dari itu. Pada suatu kesempatan, Opie memegang pipiku saat sedang serius memandangi layar bioskop. Konsentrasiku buyar saat dengan perlahan wajahnya kemudian berada di hadapan wajahku dan mencium bibirku dengan lembut.

Aku diam tidak menolak.

Dia melepas ciumannya, menatapku lalu kembali menciumku masih dengan lembut kali ini lebih lama. Aku rasanya ingin menangis. Menangis bahagia karena dia tidak banyak berkata – kata namun hari itu seperti sebuah deklarasi bahwa ada ikatan di antara kami. Aku bahkan hampir lupa bahwa beberapa bulan yang lalu hatiku baru tersakiti.

Opie kemudian mengisi hari hariku selanjutnya. Dia rutin mengirimiku pesan setiap saat sekedar mengingatkan untuk makan, istirahat atau tersenyum. Dia kini memanggilku Honey. Aku tidak pernah punya panggilan sayang dari seseorang sebelumnya. Dia yang pertama dan berhasil membawaku merasakan manisnya madu seperti langsung dari sarangnya. Bersama Opie aku menjadi orang yang sangat positif, tidak ada kekhawatiran semua terasa sederhana dan penuh cinta.

Saat kami dekat Opie sudah lulus sekolah menengah, dia yang bersekolah di STM mendapat kesempatan untuk magang di sebuah bengkel. Selain fokus pada otomotif, Opie juga anak band. Seorang gitaris berambut gondrong tapi wajahnya manis, sama sekali tidak sangar. Sebetulnya dia adalah teman kakakku dan kedekatan kami sempat membuat kakakku kesal tapi dia tidak bisa berbuat apa apa karena Opie selalu sopan. Misalnya saat akan mengajakku nonton atau pergi dengannya.

Hubungan kami berjalan sangat manis dan baik baik saja, tidak terasa beberapa bulan telah berlalu dan dia tidak meninggalkanku. Sampai suatu hari saat memasuki liburan kenaikan sekolah aku dan beberapa kawan memutuskan untuk berenang di salah satu kolam renang umum di dekat rumah kami. Aku yang rumahnya lebih dekat sampai lebih dulu, teman – temanku belum tiba. Saat aku menunggu di lobby, aku melihat sosok yang tidak asing berjalan melewatiku bersama dua orang anak laki laki.

Aku tahu betul laki laki ini, bau harum parfum yang menempel di jaket corduroy hitamnya saat melewatiku. Aku juga mengenali dua anak laki laki yang adalah keponakannya. Abet, kenapa aku harus berjumpa lagi dengan laki laki sialan ini?

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar