Sabtu, 30 Mei 2020

Perjalanan si Warung Kopi | Part 1

Keputusan kami membuat warung kopi bukanlah keputusan mudah dan murah. Tiga tahun lalu akhirnya kami dipercaya untuk mengemban tugas itu awalnya terasa sangat sulit dan melelahkan karena ternyata tempat kami memutuskan untuk pertama kali membuka birokrasinya amat rumit. Saya sempat menuliskan ending dari perjalanan tersebut di blog ini juga. Tulisannya dibaca sampai empat ribu orang dan membuat geger seantero kota Bandung. Karena menyadari konfliknya akan begitu besar, kami memutuskan untuk mundur teratur dan tidak memaksakan sesuatu yang rasanya bukan menjadi hak kami.

Mencari tempat adalah salah satu perihal tersulit dalam perjalanan si warung kopi. Tempat yang baik, strategis, menguntungkan dan tentunya dengan harga sewa yang tidak mahal adalah hal yang sangat tidak mungkin terjadi. Sehingga keputusan buru buru yang kami lakukan di tahun kedua membuat perjalanan si warung kopi berantakan.

Janji seorang kawan akan tempatnya yang selalu ramai dan menjanjikan membuat kami merasa diiming imingi. Memang tidak ada uang sewa namun, ada pembagian keuntungan yang juga tidak besar. Tapi sekali lagi, membangun bisnis dan usaha harus benar benar jeli dan teliti. Komunikasi dengan sang kawan sejak awal tidaklah begitu clear. Hanya berlandaskan rasa percaya, kami memulai perjalanan di tempat baru yang ternyata mengantarkan kami kepada begitu banyak batu sandungan. Janji janji sang pemilik tempat di awal tidak semua bisa direalisasikan karena kami harus berbagi tempat. Mimpi membuat segudang kegiatan selalu kandas dengan alasan ruangnya harus digunakan secara bersama jadi tidak bisa spesial untuk satu aktifitas saja.

Omset kami terjun bebas di tahun kedua perjalanan warung kopi. Kami harus menjual mesin kopi kami karena selain tidak memungkinkan menggunakan mesin besar tersebut pada lambatnya pembelian, kami juga tidak akan mampu membayar listriknya yang memiliki daya sangat besar. Warung kopi sepi, lebih sepi dari warung rokok di pinggir jalan rumah kami. Dapat dihitung dengan jari berapa kali tempat ini ramai dikunjungi pengunjung. Dan yang meramaikan selalu kawan kawan saya atau Febby.

Hingga sampai di penghujung tahun 2019, saya memaksa Febby untuk kembali bicara pada para orangtuanya perihal apakah memungkinkan kami merenovasi toko dan ruang tamu di depan rumah untuk menjadikannya warung kopi kami. Saya tidak sedikitpun ikut campur dalam pengajuan permohonan ini, karena rumah yang kami tempati adalah rumah orangtuanya. Saya hanya bagian dari team yang ikut memelihara. Semua keputusan murni menjadi milik para pemegang keputusan.

Bersambung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar